Tag Archives: POLITIK

Quo Vadis Gerakan Mahasiswa

  1. PENDAHULUAN

Sering kita mendengar di berbagai media tentang demonstrasi mahasiswa menentang sebuah kebijakan, baik yang berhubungan langsung dengan mahasiswa maupun kebijakan yang tidak bersentuhan secara langsung. Eksistensi mahasiswa di Indonesia memang begitu terlihat sejak sejarah negeri ini mulai ada, dimulai dari pergerakan Boedi Oetomo dan Soempah Pemoeda sampai Reformasi, semuanya ada hubungan yang kuat dengan keberadaan mahasiswa. Maka sering pula disebutkan bahwa mahasiswa merupakan agent of change, karena mahasiswa selalu terlibat dalam setiap fase perubahan di negeri ini, khususnya dalam bidang politik.

Gerakan mahasiswa merupakan salah satu dari sekian banyak kelompok penekan dalam sebuah sistem politik, atau kadang disebut juga kelompok kepentingan. Melihat fenomena yang ada di Indonesia, Gerakan mahasiswa bisa dikategorikan ke dalam kelompok kepentingan anomis, yaitu kelompok kepentingan yang terbentuk secara spontan dan kebanyakan bersifat seketika.1

Keterlibatan gerakan mahasiswa dalam setiap momen perubahan tidak terlepas dari karakter khusus yang dimiliki oleh mahasiswa, yaitu sebagai golongan terpelajar dan terkesan terbatas. Meningkatnya peran mahasiswa dalam kehidupan politik dipengaruhi oleh dua faktor,2 yaitu Pertama, mahasiswa sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik dan kedua, sebagai kelompok yang paling lama duduk di bangku sekolah, mahasiswa yang sekolah sampai ke jenjang universitas telah mengalami berbagai macam sosialisasi politik. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup yang unik bagi mahasiswa, di kampus mahasiswa bersosialisasi dengan beragam agama, suku, bahasa dan pemikiran. Keempat, mahasiswa akan memasuki lapisan atas dari kekuasaan dan kelima, orientasi universitas menyebabkan meningkatnya jiwa kepemimpinan mahasiswa.

Oleh karena faktor itulah mahasiswa, atau lebih tepatnya gerakan mahasiswa, merupakan suatu kaum muda yang berfikir, dalam hal ini sering dinamakan barisan kaum intelijensia dan akhir-akhir ini merupakan pelaku utama sejarah, tentunya bersama massa rakyat.3Tahun 1998 menjadi satu catatan tersendiri dalam sejarah perubahan di Indonesia. Dilatarbelakangi krisis ekonomi yang berkepanjangan dan berlanjut menjadi krisis multi-dimensi, sebuah usaha perubahan sosial yang dimotori oleh gerakan mahasiswa yang didukung oleh kesadaran bersama dari para mahasiswa. Momen ini kemudian berkembang menjadi suatu gerakan bersama yang menuntut perubahan dibeberapa bidang, khususnya sistem pemerintahan

Gerakan mahasiswa tahun 1998 adalah salah satu faktor pendobrak bagi terciptanya kebebasan sipil politik yang tersandera selama 32 tahun lamanya. Namun setelah reformasi, tidak ada lagi satu gelembung besar gerakan mahasiswa, justru yang nampak hanya riak–riak kecil dan terpecah dengan isu–isu sektoral dan tidak sedikit pula yang masuk dalam perangkap pragmatisme politik penguasa. Fenomena ini jelas terlihat dalam potret gerakan mahasiswa saat ini yang semakin nampak eksklusif dan kurang kontekstual dengan isu–isu kerakyatan. Sering terlihat dalam aksi–aksi mahasiswa, meskipun memiliki pilihan isu yang sama namun dalam aksi tidak bisa berjalan bersama.

Melihat konteks gerakan mahasiswa di Indonesia, khususnya pasca Reformasi yang tidak masif, menimbulkan beberapa Permasalahan, yaitu : bagaimana historisitas gerakan mahasiswa di Indonesia? Serta kenapa gerakan mahasiswa setelah reformasi 1998 kurang masif dan kurang memberikan efek tekanan yang kuat terhadap pemerintahan?

  1. PARTISIPASI POLITIK GERAKAN MAHASISWA

  1. Partsipasi Politik dan Kelompok Kepentingan

Partisipasi politik dalam era politik modern merupakan masalah yang penting, sebab hal ini menyangkut konsep demokrasi itu sendiri yang harus melibatkan rakyat dalam setiap kebijakan atau suksesi. Miriam Budiardjo merumuskan partisipasi politik merupakan kegiatan seseorang atau kelompok untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan negara, dan mempengaruhi kebijakan pemerintah.4 Untuk itulah diperlukan partisipasi aktif masyarakat dalam pemerintahan, namun ada bentuk partisipasi lain, yakni melalui kelompok-kelompok, karena suara satu orang dalam Pemilu sangat kecil pengaruhnya terhadap pmerintahan.

Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah bisa menolong maupun menyulitkan rakyat, karena itu warga negara sangat memperhatikan dan berkepentingan dengan keputusan-keputusan yang diambil oleh pemerintah, maka mereka menyatakan kepentingan itu kepada badan-badan politik dan pemerintahan melalui kelompok-kelompok yang mereka bentuk bersama demi kepentingan bersama. Secara umum kelompok kepentingan merupakan organisasi yang berusaha mempengaruhi kebijakan pemerintah tanpa, pada waktu yang sama, berkehendak pada jabatan publik.5

Kelompok-kelompok kepentingan tersebut harus mempunyai suatu mekanisme dalam mempengaruhi pemerintahan, agar kepentingannya didengarkan serta dilaksanakan oleh pemegang kebijakan, maka diperlukan suatu gerakan sosial dalam usaha mewujudkannya. Ralph H. Turner dan Lewis M. Killian, seperti dikutip oleh Tom Bottomore, merumuskan gerakan sosial merupakan suatu usaha bersama untuk meningkatkan atau menentang perubahan dalam masyarakat di mana usaha tersebut memainkan peran.6 Gerakan ini lebih merupakan suatu kelompok yang mengikuti suatu pandangan sosial atau diktrin tertentu, yang menempatkan dirinya dalam perdebatan politik sehari-hari dan yang karenanya siap berperanserta di dalam kegiatan seperti demonstrasi atau riotous assemblies. Daniel S. Lev berpandangan bahwa gerakan sosial pada umumnya produk kelas menengah yang sedang tumbuh yang berupaya untuk menata kembali negara dan masyarakat sesuai dengan tujuan mereka.7

Kelompok kepentingan dalam sosiologi politik secara umum dapat dibagi menjadi empat macam,8 yaitu :

  1. Kelompok Anomis, yakni kelompok yang terbentuk di antara unsur-unsur dalam masyarakat secara spontan dan hanya seketika;

  2. Kelompok Non-Assosionil, yaitu kelompok yang terbentuk berdasarkan primordialisme kesukuan atau keluarga aristokrat;

  3. Kelompok Instutusionil, merupakan kelompok yang terbentuk bersifat formil yang biasanya berbasis di militer, birokrat dan badan legislatif dan sebagainya;

  4. Kelompok Assosionil, kelompok ini menyataka kepentingan dari kelompok khusus, seperti serikat buruh industrialis, advokat dan paguyuban etnis.

Supaya efektif dalam mencapai tujuan dan mendapatkan keinginannya, faktor kemampuan mengerahkan dukungan, tenaga, dan sumber daya yang dimiliki sangat menentukan dalam gerakan itu. Selain itu, faktor ektern seperti isu yang sedang terjadi juga merupakan faktor menentukan dalam gerakan sebuah kelompok kepentingan. Namun demikian, supaya lebih efektif, kelompok kepentingan harus mampu mencapai, atau berhubungan langsung dengan, para pembuat keputusan politik utama. Biasanya, metode yang digunakan adalah dengan cara demonstrasi, dengan atau tanpa kekerasan, dan melalui hubungan pribadi dengan para pembuat kebijakan utama di dalam pemerintahan.9

  1. Gerakan Mahasiswa

Gerakan mahasiswa selama ini belum ada yang mendefenisikannya secara rinci, namun jika ditinjau dari segi sosiologi gerakan mahasiswa merupakan sebuah perilaku kolektif yang dilakukan oleh mahasiswa. perilaku kolektif adalah tindakan-tindakan yang tidak terstruktur dan spontan dimana perilaku konvensional (lama) sudah tidak dirasakan tepat atau efektif. Lebih jauh lagi, perilaku kolektif merupakan perilaku yang (1) dilakukan oleh sejumlah orang (2) tidak bersifat rutin dan (3) merupakan tanggapan terhadap rangsangan tertentu.10 Mahasiswa merupakan orang yang sedang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Dari defenisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa gerakan mahasiswa merupakan tindakan yang tidak terstruktur dan spontan oleh mahasiswa terhadap persoalan tertentu, biasanya keadaan lama kurang atau tidak tepat dan efektif.

Neil Smelser memberikan pendekatan yang lebih komprehensif dalam munculnya perilaku kolektif. Menurutnya, ada enam syarat pra-kondisi yang harus terjadi; struktural (structural conducivenes), ketegangan struktural (structural strain), kemunculan dan penyebaran pandangan, faktor pemercepat (precipitating factors), Mobilisasi tindakan (mobilization for action), dan pelaksanaan kontrol sosial (operation of social control).11

Gerakan mahasiswa mulai dikenal luas dan besar, bersama gerakan sosial lainnya, sejak dekade 1960an. Ide gerakan ini pada kenyataannya sangat berhubungan dengan peristiwa pada masa itu, yang mana secara tiba-tiba melahirkan gerakan berskala besar yang menampakkan suatu ketidaksenangan yang mendalam dan oposisi terhadap aturan politik dan sosial yang ada.12 Ini diikuti dengan dua dasawarsa konsilidasi stable democracy di dunia Eropa Barat, dan konsilidasi stable autocracies di Eropa Timur, serta proses modernisasi dan industrialisasi gradual di negara berkembang dan baru merdeka.

  1. Perjalan Gerakan Mahasiswa Indonesia

Historisitas gerakan mahasiswa di Indonesia memang sangat unik, jika Tom Bottomore mengatakan bahwa di dunia mulai dikenalnya gerakan mahasiswa sejak era 1960an, maka Indonesia telah dimulai sejak 1900an, yakni setelah pemerintah Hindia Belanda memberlakukan politik etis bagi rakyat Indonesia. Dalam politik etis yang dipopulerkan oleh Van Deventer (kelak dikenal dengan “trias van Deventer”), itu meliputi tiga hal: edukasi (pendidikan), irigasi (pengairan) dan transmigrasi (perpindahan penduduk). Ketiga itu kalau dilihat semacam “balas jasa” kaum kolonialis atas kaum pribumi. Salah satu hasil politik ini ialah didirikannya STOVIA (School tot Opleiding voor Indlandsche Art-sen), tempat lahir organisasi nasional, yang didirikan oleh mahasiswa yakni Wahidin Sudirohusodo dan dr. Sutomo. Jika Budi Utomo coraknya masih bersifat kedaerahan sebagai gerakan kultural kaum priyayi Jawa, kemudian muncul lembaga lain seperti Jong Java, Jong Sumatera, Song Ambon, Jong Celebes dan lainnya yang bersifat kepemudaan.

Sekitar enam bulan setelah berdiri Budi Utomo,di Belanda juga berdiri lembaga Perhimpunan Indonesia (PI) dengan ketuanya seorang mahasiswa asal Sumatera Barat, Mohammad Hatta. Gerakan ini begitu gencar mempopulerkan nama “Indonesia” di negeri kincir angin itu. Perjuangan mahasiswa dan pemuda kemudian mengalami proses penyatuan. Tentunya pernyatuan gerakan ini berguna untuk memerdekan diri dari kaum penjajah Belanda. Akhirnya pada Kongres Pemuda kedua pada tanggal 28 Oktober 1928, lahirlah Sumpah Pemuda,13 yang mengikrarkan berbangsa, bertanah-air dan berbahasa Indonesia.

Pada akhir tahun 1944, berdiri organisasi bernama “Angkatan Muda” yang dalam konferensinya menghasilkan beberapa resolusi antara lain: Pertama, seluruh golongan harus dipersatukan dan disentralisasi di bawah satu pimpinan tunggal. Kedua, kemerdekaan Indonesia harus diwujudkan secepat mungkin.14 Pada tahun 1945 Jepang menyerah pada Amerika dan sekutunya. Di kalangan pergerakan timbul ketegangan apakah segera mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia atau menunggu. Akhirnya kaum muda seperti Sukarni dan Chairul Saleh serta kawan-kawannya kemudian membawa Bung Karno dan Hatta ke Rengasdengklok untuk mendesak proklamasi kemerdekaan. Akhirnya, merdekalah kita.

Pada tahun 1955 dilaksanakanlah Pemilu pertama pada kabinet Burhanuddin Harahap. Terpilihlah anggota dewan Konstituante yang bertugas membuat konstitusi. Karena konstitusi tidak jadi, lebih tepatnya dea dlock, akhirnya Bung Karno pun membubarkan Konstituante lewat Dekrit 5 Juli 1959. Turunan dari Dekrit adalah berlakulah sistem Demokrasi Terpimpin dibawah Bung Karno. Bahwa BK berkeinginan menjadi “presiden seumur hidup.” Karena kebijakan ini, akhirnya timbul perlawanan dari kaum muda mahasiswa. Terlebih dengan terjadinya peristiwa G30S PKI pada 1965. Pada tahun 1966, gerakan massa mahasiswa pun bergerak. KAMI, KAPPI dan militer bergerak bersama menumbangkan rezim Orde Lama Bung Karno. Ketika Bung Karno jatuh, kepemimpinan dilanjutkan oleh Soeharto.15

Di tahun 1974 terjadi peristiwa besar dalam dunia gerakan mahasiswa. Ketika itu mahasiswa menolak penanaman modal asing dari Jepang. Ketika seorang pembesar Jepang ke Jakarta, maka demonstrasi pun menyeruak. Terjadi pembakaran dan chaos. Pemerintah menyebut kejadian ini dengan “Malapetaka Lima Belas Januari” (Malari),16aksi ini menandai berakhirnya aliansi mahasiswa dan militer. Akibat aksi ini kemudian, lewat SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef No.0156/U/1978, terbitlah “Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK)/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK)”. Artinya bahwa mahasiswa harus kembali ke kampus, menjadikan kampus sebagai tempat belajar sebagaimana mestinya, tidak bergerak dalam ranah politik, dan membubarkan Dewan Mahasiswa (Dema).

Sebagai alternatif terhadap suasana birokratis dan apolitis wadah intra kampus, di awal-awal tahun 80-an muncul kelompok-kelompok studi yang dianggap mungkin tidak tersentuh kekuasaan refresif penguasa.17 Kelompok Studi (KS) merupakan arena untuk mengasah kemampuan kritis mereka atas persoalan sosial dan politik. KS muncul sebagai alternatif akibat ketidakmampuan organisasi mahasiswa formal di kampus untuk menyalurkan ide-ide kritis mahasiswa mengenai perubahan sosial. Era KS dimulai sejak 1982-1983, kemunculannya yang meskipun berjumlah kecil dan hanya terdapat di kota-kota tertentu mampu meramaikan kembali gerakan mahasiswa. Pemikiran-pemikiran kritis yang dikaji dalam KS antara lain karya Karl Marx, Paolo Freire, Ivan Illich, Jurgen Habermas, dan Michael Foucalt.

Krisis moneter 1997 bermula dari jatuhnya mata uang Thailand (Bath) dan kemudian menyapu seluruh Asia Tenggara. Pada bulan Juli 1997 nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika menurun dari Rp. 2400,- menjadi di atas Rp. 16.000,- yang berakibat terjadinya lonjakan pengangguran, industri gulung tikar, dan perdagangan macet. Untuk mengatasi hal tersebut, Soeharto memohon bantuan kepada negara-negara imperialis melalui IMF dengan syarat Indonesia harus mencabut subsidi terhadap barang-barang kebutuhan pokok. Akhirnya, Soeharto mengumumkan kenaikan tarif transportasi umum, hanya beberapa jam setelah sebelumnya mengumumkan kenaikan listrik dan BBM (bahan bakar minyak), sesuai dengan rekomendasi IMF untuk mengurangi subsidi bagi kedua komoditas tersebut. Ketika rupiah jatuh pada nilai Rp. 10.000,- terhadap dolar Amerika, Soeharto kembali membuat konsensus dengan IMF dengan mencabut subsidi atas BBM dan listrik. Akibatnya, harga bahan bakar naik sebesar 47% dan listrik rata-rata naik sebesar 60%.

Mahasiswa menemukan momentumnya seiring dengan krisis ekonomi yang terjadi tersebut. Dalam kurun waktu awal Februari sampai Mei 1998, secara kuantitatif dan kualitatif gerakan mahasiswa naik secara drastis, dari tuntutan yang sudah politis dan metode yang radikal.18 Pelaku gerakan pada masa ini bukan hanya organisasi-organisasi gerakan yang sudah lama bergerak sejak tahun 80an melainkan juga kalangan aktivis kampus dari organisasi-organisasi seperti Senat Mahasiswa, BEM, dan senat-senat fakultas. Para aktor dari kalangan kampus ini menyebut gerakan mereka sebagai gerakan “moral” dengan format aksi keprihatinan di kampus. Mereka juga banyak didukung oleh para staf pengajar dan pimpinan perguruan tinggi yan menjadikan gerakan mahasiswa sebagai gerakan civitas academica. Pada 20 Mei 1998 menjadi saksi sejarah. Lewat demonstrasi besar-besaran, akhirnya di pagi menjelang siang, Suharto menyatakan mundur secara legowo. Kemudian digantikan oleh BJ. Habibie yang waktu itu menjabat wapres.

  1. QUO VADIS GERAKAN MAHASISWA

Sejak runtuhnya Orde Lama, aktivis mahasiswa terbelah menjadi dua pandangan, yakni gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral atau sebuah gerakan politik.19 Pandangan pertama memandang energi politik mahasiswa seharusnya diletakkan sebagai kekuatan penggerak perubahan ketika institusi politik tidak mampu melakukan peran sesuai dengan tuntutan sektor publik. Dengan demikian, mahasiswa berada di luar institusi birokrasi dan politik, namun tetap melakukan fungsi kontrol politik, karena jika dibiarkan rakyat yang akan menderita. Pandangan kedua beranggapan bahwa mahasiswa harus menjadi pemain aktif dalam percaturan politik, dengan ini mahasiswa lebih leluasa meneruskan perjuangannya demi kepentingan rakyat banyak. Namun posisi ini berada posisi dilematis, satu sisi lebih leluasa dan mempunyai kekuatan dalam menentukan kebijakan, namun di sisi lain gerakan mahasiswa sering, atau lebih tepat ditakutkan, terjebak pada vested intererst dan terkooptasi oleh kepentingan rezim.

Dalam perkembangan selanjutnya pergerakan mahasiswa melihat bahwa isu yang satu dapat berkembang pada isu yang lain. Hal ini mungkin disebabkan oleh sifat instant yang mempengaruhi pola perilaku mahasiswa. Sifat ini tidak melihat lebih dalam mengenai masalah yang ada, dalam arti setiap masalah sebenarnya mempunyai akar permasalahan yang terlebih dahulu mendapat perhatian. Keadaan ini membuat gerakan mahasiswa tidak terfokus pada satu isu, fatal bagi gerakan karena tidak bisa masif karena terpecah pada berbagai isu, seharusnya pengawalan terhadap beberapa isu bisa dibuat suatu isu sentral agar gerakan bisa fokus dan tidak terpecah sehingga gerakan bisa optimal dan maksimal.

Penemuan pada akar permasalahan memungkinkan mahasiswa untuk menyuarakan isu yang tepat sasaran sehingga mereka konsisten dalam gerakannya. Namun, karena pada kenyataannya mahasiswa kadang tidak memiliki basis konsep yang jelas sehingga perhatian awal mudah sekali menyimpang atau lebih parah lagi mengalami perubahan yang bertolak belakang dengan isu awal. Gerakan mahasiswa di Indonesia kemudian mengalami perubahan dari sebuah gerakan moral menyuarakan masalah-masalah sosial-permasalahan yang sehari-hari dihadapi oleh masyarakat-kemudian berubah menjadi sebuah gerakan politik. Gerakan mahasiswa sebaiknya kembali menjadi gerakan yang mempunyai pandangan lebih mendalam dalam berbagai masalah sosial yang melanda bangsa ini.

Setelah reformasi 1998 banyak organisasi mahasiswa yang terkena virus oligopoli politik. Bentuk oligopoli politik menyebabkan : pertama, elit orsospol akan merasa sebagai agen tunggal dari kehendak dan dan hal-hal yang diinginkan oleh pemegang kekuasaan negara sehingga dapat bertindak sewenang-wenang dalam internal orsospolnya. Keadaan ini jika terjadi perpecahan masing-masing kelompok akan mengundang pihak luar untuk menambah kekuatannya, yang mendapat restu kekuasaan akan mengundang penguasa, demikian juga dengan yang tidak sejalan dengan penguasa akan mendapat dukungan dari fihak yang berlawanan dengan pemerintah. Kedua, keadaan ini akan mengakibatkan benturan kepentingan dalam orsospol tersebut, baik benturan sesama didukung penguasa maupun benturan antara yang didukung penguasa dengan yang didukung fihak yang berlawanan dengan penguasa. Dengan kondisi orsospol yang seperti ini akan sulit terbentuk orsospol sebagai penyalur aspirasi politik rakyat, sikap politik orsospol akan sering tidak sejalan dengan kehendak rakyat pada umumnya, hal ini mengakibatkan jurang yang semakin lebar antara rakyat dan pemerintah.20 Karena di dalam tubuh organisasi kemahasiswaan banyak terjadi perpecahan dan perebutan kekuasaan, belum lagi hal ini juga disebabkan pengkultusan kader gerakan terhadap senior yang telah menjadi pejabat, atau mungkin memang alumni organisasi itu sendiri melakukan intervensi terhadap adek-adeknya yang menjadi pengurus di gerakan mahasiswa itu sendiri.

Dalam konteks gerakan mahasiswa kekinian di Indonesia, keenam syarat prilaku kolektif harus terpenuhi kalau ingin gerakannya kembali masif, yaitu ; pertama kondisi sosial masyarakat yang mendukung aksi-aksi mahasiswa, kedua adanya kesamaan rasa tertindas oleh pemerintah, ketiga penyebaran serta gagasan dengan landasan kebenaran, hak asasi manusia dan rakyat sebagai dasar perjuangan, keempat adanya faktor pemicu, kelima adanya usaha mobilisasi aksi dengan berbagai elemen masyarakat dan terakhir adalah adanya tekanan dari negara atau bentuk kontrol sosial lainnya yang berusaha menggagalkan/menggangu proses perubahan. Gerakan mahasiswa 1908, 1928, 1945, 1966, 1974 dan 1998 keenam syarat itu telah tercukupi, sekarang keenam syarat ini relatif sulit untuk mencari momentnya, belum lagi jika dilihat bahwa pemerintahan sekarang relatif kuat karena dipilih oleh rakyat secara langsung.

Menjadi catatan juga dalam memandang gerakan mahasiswa di Indonesia sekarang, yakni arus globalisasi yang begitu kencangnya menyebabkan sikap apatis terhadap keadaan sosial, yang berimplikasi pada apatis juga terhadap kesewenang-wenangan penguasa terhadap rakyat. Mahasiswa secara umum juga mengalami perubahan sikap, Perubahan ini disebabkan oleh, apa yang disebut Giddens sebagai sesuatu yang baru,21 seperti nongkrong di cafe, jalan-jalan ke mall merupakan gaya hidup baru beberapa kalangan mahasiswa, tidak lagi membaca, diskusi dengan kristis atau sekedar bercengkrama dengan sesama mahasiswa dalam menyikapi persoalan sekitar.

  1. PENUTUP

Gerakan mahasiswa atau gerakan kaum muda yang terpelajar di Indonesia merupakan salah satu pemain penting dalam sejarah pepolitikannya, dimulai pergerakan menemukan nasionalisme 1908, deklarasi nasional 1928, proklamasi 1945, konsilidasi demokrasi 1966, Malari 1974 dan reformasi 1998. Semuanya tidak bisa dilepas dari peran gerakan mahasiswa di Indonesia.

Perlu dibedakan bahwa gerakan mahasiswa 1966 dalam meruntuhkan Orde Lama beraliansi dengan militer, khususnya Angkatan Darat, dan persekutuan ini pecah pada tahun 1974 dan gerakan mahasiswa dikebiri habis-habisan sejak tahun 1978 dengan pemberlakuan NKK/BKK. Mulai tumbuh benih-benih kritis mahasiswa terhadap penguasa sejak awal dekade 1990an, puncaknya 20 Mei 1998 reformasi dimulai dengan tanda runtuhnya rezim Soeharto.

Pasang surut gerakan mahasiswa berhubungan erat dengan mengetat dan mengendurnya sistem politik yang diambil negara. Format aktivitas yang dipilih mahasiswa bukan semata-mata pilihan bebas berdasarkan perkembangan kesadaran subyektif mahasiswa, melainkan lebih jauh lagi akibat intervensi mekarnya artikulasi kekuasaan negara. Posisi riil negara bukanlah pengayom, pengawas dan pembina, tetapi sebagai partner. Hanya saja pada kondisi sekarang, artikulasi kekuatan negara dan masyarakat begitu tidak berimbang. Negara menjadi sangat dominan.

Momentum untuk bergerak sebenarnya banyak, cuma dalam mendesain grand isue yang agak kesulitan, sebab masing-masing komponen gerakan lebih mementingkan ego sektoralnya. Pencabangan isu menyebabkan juga pencabangan gerakan dan aksi sehingga tidak terlihat masif dan kurang memberikan efek tekanan terhadap penguasa, misalkan organosasi A mengawal isu korupsi, B fokus advokasi masyarakat marginal, C sibuk mempertahankan kekuasaan di kampus dan yang lainnya malah asyik aksi solidaritas timur tengah. Seharusnya ada satu isu bersama yang diusung, melahirkan sebuah musuh bersama, maka akan ada gerakan masif, tinggal menunggu pemicu dan gerakan besar-besaran akan lahir.

Persoalan mendasar dari gerakan mahasiswa saat ini adalah sulitnya menemukan momentum. Jika kita simak secara seksama, banyak faktor yang mempengaruhi situasi ini, pertama gerakan mahasiswa harus segera menemukan jati dirinya kembali sebagai agen perubahan (agent of change) dan gerakan moral (moral movement). Kedua, harus mampu berkontekstualisasi dengan isu–isu kerakyatan, sehingga tidak lagi berjarak dengan gerakan masyarakat sipil lainnya. Ketiga, mampu membangun konsistensi sehingga tidak lagi muncul gerakan parsial dan sporadis.

Akhir kata, konsep yang jelas dalam usaha perubahan sosial adalah syarat utama dalam membangun kembali Indonesia. Perjuangan belum selesai kawan…..!

Bunda relakan darah juang kami untuk bebaskan rakyat”

DAFTAR PUSTAKA

Masoed, Mochtar dan Colin MacAndrews, Perbandingan Sistem Politik, cet. II, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1981;

Fatah, Eep Saefullah, Catatan Atas Gagalnya Politik Orde baru, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998;

Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, edisi revisi, cet. IV, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2010;

Bottomore, Tom, Sosiologi Politik, terj. Sahat Simamora, cet. II, Jakarta : Rineka Cipta, 1992;

Lev, Daniel S., Hukum dan Politik di Indonesia : Kesinambungan dan Perubahan, terj. Nirwono dan A E Priyono, Jakarta : LP3ES, 1990;

Webber, Max, Sosiologi, terj. Noorkholish, cet. II, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009;

Usman, Sunyoto, Jalan Terjal Perubahan Sosial, Yogyakarta : CIReD dan Jejak Pena, 2004;

Widjojo (edt.), Muridan S., Penakluk Rezim Orde Baru, Gerakan Mahasiswa 1998, Jakarta : Pustaka Sinar harapan, 1999;

Mardjono, Hartono, Politik Indonesia (1996-2003), Jakarta : Gema Insani Press, 1996;

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi : Dari teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, alih bahasa Nurhadi, cet ke V, Bantul : Kreasi Wacana, 2010.

http://www.syaldi.web.id

www.gitacintanyawilis.blogspot.com

 

1 Macam-macam kelompok kepentingan bisa dibagi menjadi kelompok anomis, non-asosional, institusionil dan kelompok asosionil. Lihat : Gabriel A Almond ,”Kelompok Kepntingan dan Partai Politik”, dalam Mochtar Masoed dan Colin MacAndrews, Perbandingan Sistem Politik, cet. II, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1981), hlm. 51-52.

2 Arbi Sanit, “Mahasiswa dan Angkatan Muda Indonesia : Kekuatan Politik Anomie” dalam : Ibid…, hlm. 226-229.

3 Eep Saefullah Fatah, Catatan Atas Gagalnya Politik Orde baru, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 273-274.

4 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, edisi revisi, cet. IV, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm. 367.

5 Gabriel A Almond, …log. It., hlm. 50.

6 Tom Bottomore, Sosiologi Politik, terj. Sahat Simamora, cet. II, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992), hlm. 28-29.

7 Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia : Kesinambungan dan Perubahan, terj. Nirwono dan A E Priyono, (Jakarta : LP3ES, 1990), hlm. 516.

8 Gabriel A Almond, …log. It., hlm. 51-53.

9Ibid., hlm. 53-57.

10 Max Webber, Sosiologi, terj. Noorkholish, cet. II, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 220-222.

11 http://syaldi.web.id/2008/02/gerakan-mahasiswa-indonesia-tahun-1998-sebuah-proses-perubahan-sosial, diakses terakhir pada Hari Selasa tanggal 11 Oktober 2011 pukul 12.11 WIB.

12 Tom Bottomore, Sosiologi Politik….., hlm. 34-35.

13 Sumpah Pemuda merupakan deklarasi politik mahasiswa/kaum muda Indonesia untuk menjadi sebuah negara yang merdeka. Momen ini menandakan untuk pertama kalinya anak muda Indonesia mengambil sikap dalam politik. Lihat : Arbi Sanit, Log. Cit., hlm. 225.

14 http://gitacintanyawilis.blogspot.com/2010/04/dinamika-gerakan-mahasiswa-dalam.html, diakses terakhir pada hari selasa tanggal 11 Oktober 2011 pukul 12.21 WIB.

15 Sunyoto Usman, Jalan Terjal Perubahan Sosial, (Yogyakarta : CIReD dan Jejak Pena, 2004), hlm. 119-121.

16 Dalam peristiwa Malari 9 orang meninggal dan 23 mengalami luka, sejumlah kendaraan dibakar, 700 ditahan dan 45 orang diadili. Lihat : Arbi Sanit, “Gerakan Mahasiswa 1970-1973 : Pecahnya Bulan Madu Politik”, dalam Muridan S. Widjojo (edt.), Penakluk Rezim Orde baru, Gerakan mahasiswa 1998, (Jakarta : Pustaka Sinar harapan, 1999), hlm. 54.

17 Irine H. Gayatri, “Arah Baru Perlawanan Gerakan Mahasiswa 1989,” dalam Muridan S. Widjojo, Ibid., hlm. 65.

18 Sebenarnya benih-benih reformasi dan aksi kecil-kecilan sudah mulai sejak peristiwa 27 Juli 1996, yakni penyerangan massa pendukung PDI Soerjadi terhadap kantor PDI kubu Megawati sebelum Pemilu 1997, peristiwa ini sering dikenal dengan sebutan Peristiwa Sabtu Kelabu. Lihat : Sunyoto Usman, Jalan Terjal…., hlm. 128.

19Ibid., hlm. 129.

20 Hartono Mardjono, Politik Indonesia (1996-2003), (Jakarta : Gema Insani Press, 1996), hlm. 87-88.

21 George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi : Dari teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, alih bahasa Nurhadi (Bantul : Kreasi Wacana, cet ke V, 2010), hlm. 607-611.

 

Prospek dan Tantangan Penegakan Hukum Progresif

  1. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan sebuah negara yang unik, di negara ini berdiri kokoh sistem hukum Eropa Kontinental yang diwariskan oleh Kolonial Belanda. Sebelum penjajahan belanda di Indonesia, bangsa Indonesia telah terlebih dahulu menggunakan sistem hukum chthonic yang hidup di gugusan kepulauan Nusantara.1 Terma hukum Chthonic dimaksudkan untuk menyebut hukum asli dari masyarakat Indonesia, Edward Goldsmith menggambarkan terma chthonic sebagai kehidupan yang harmoni antara manusia dan bumi. Selain sistem hukum asli, hukum Islam juga mewarnai perkembangan hukum di gugusan Nusantara, hukum ini yang berkembang serentak dengan agama Islam, disebarkan melalui jalur perdagangan dan hidup di bawah legitimasi beberapa kerajaan Islam di Indonesia.2 Al-Quran sebagai kitab suci umata Islam juga mengatur dan berisi pedoman bagi manusia dalam hidup bermasyarakat dan bernegara.3

Menapaki perjalanan panjang sebuah negara, pada tahun 1998 Indonesia memasuki orde Reformasi yang ditandai dengan jatuhnya rezim Soeharto. Periode awal reformasi Indonesia melakukan amandemen Konstitusinya yang dilakukan sampai empat kali perubahan. Perubahan ini tidak hanya melahirkan beberapa Lembaga Negara baru, namun yang paling fundamental adalah berubahnya negara hukum Indonesia yang dahulunya berorientasi pada sistem hukum civil law beralih pada sistem hukum campuran, peralihan ini dapat dilihat dalam UUD 1945 setelah perubahan yang menghilangkan kata rechstaat pada pasal 1 ayat (3). Penghilangan kata rechstaat ini berakibat pada Indonesia tidak lagi secara utuh memakai sistem hukum eropa kontinental, namun lebih beragam dan membuka peluang bagi sistem hukum lain masuk ke dalamnya.

Civil law merujuk pada sistem hukum yang diturunkan dari hukum Romawi kuno dan pertama kali diterapkan di Eropa berdasarkan jus civile Romawi, secara terminologi civil law merupakan hukum privat yang dapat di aplikasikan terhadap warga negara dan di antara warga negara, di dalam batasan negara dalam konteks domestik. Sistem hukum ini juga disebut jus quiritum,4 dan memiliki kecenderungan kodifikasi yang sama.

Code atau Undang-undang dalam sistem civil law merupakan sekumpulan klausa yang berisikan prinsip-prinsip hukum secara umum yang otoritatif, konfrehensif dan sistematis, yang dimuat dalam kitab atau bagian yang disusun secara logis sesuai dengan hukum yang diperlukan. Ciri utama dari sistem ini, selain kodifikasi hukum, adalah peraturan perundang-undangan merupakan pedoman utama dalam menegakkan hukum, hakim hanya sebatas alat penegakan hukum dan hukum harus dibuat dan disahkan oleh lembaga yang berwenang.5 Sistem hukum civil law dipengaruhi oleh Mazhab Filasafat Hukum Positivisme, menurut pandangan mazhab ini bahwa hukum diciptakan dan dibelakukan oleh orang-orang tertentu di dalam masyarakat yang mempunyai kewenangan untuk membuat hukum.6

Pemakaian positivisme hukum ini mengundang banyak permasalahan di kemudian hari, ketika masyarakat yang dinamis selalu berubah dan orang yang berwenang untuk membuat hukum tidak mempunyai kepekaan melihat perubahan yang tejadi dalam masyarakat. Hukum itu ada untuk masyarakat, begitupun tujuan dari hukum, yaitu untuk menciptakan ketertiban dan kenyamanan bagi masyarakat. Menjadi sebuah permasalahn yang besar ketika hukum yang seyogyanya melayani mayarakat tapi malah masyarakat yang dipaksa mengikuti kehendak hukum, dengan beralasan menegakakkan kepastian hukum, masyarakat dipaksa mengikuti apa yang diperintahkan undang-undang, para hakim, jaksa dan polisi menerapkan hukum secara harfiah saja dari muatan undang-undang tapi tidak mencoba untuk menginterpretasi peraturan itu dengan begitu rupa agar keadilan yang menjadi tujuan utama penegakan hukum.

Penegakan hukum secara formal dan rasional belum tentu akan mendatangkan kebahagiaan bagi masyarakat, karena pelaksanaan hukum secara formal akan menimbulkan anggapan dari para penegak hukum bahwa jika hukum telah ditegakkan sesuai undang-undang maka keadilan telah dilaksanakan. Lebih jauh lagi keadilan yang diinginkan oleh seseorang sebenarnya adalah keadilan yang substantif, bukan keadilan prosedural seperti yang tertera di dalam undang-undang saja. Hukum bukanlah persoalan rasional atau formal, tapi lebih jauh ingin menegakkan keadilan demi kebahagiaan manusia.7

Keadilan prosedural ini berawal dari tawar-menawar antara hukum dan prosedur, sering disebut sebagai historic bargain of automous law atau tawar menawar hukum otonom. Pengadilan setuju menyerahkan kebijakan keadilan substantif kepada pihak lain, sebagai gantinya pengadilan diberi kekuasaan untuk menentukan prosedurnya sendiri, yaitu syarat-syarat untk mendapatkan akses ke dan cara berpartisipasi dalam proses hukum.8 Dengan kekuasaan ini, pengadilan dapat mengajukan tuntutan bahwa siapapun yang menggugat otoritas hukum harus melakukannya dengan cara yang taat asas dengan keteraturan hukum.

Pemahaman tentang hukum yang melaksanakan keadilan hukum secara prosedural ini banyak mendapatkan kritik, kritik bermula karena anggapan bahwa hukum untuk manusia. Hukum pada dasarnya bertujuan untuk kedamaian dan tertib manusia, hukum formil hanyalah cara atau metode, substansinya hukum tetaplah demi kebahagiaan manusia. Hukum tidak saja diartikan proses peradilan semata, tapi lebih ditekankan pada keberhasilan untuk mencapai tujuan hukum, atau dengan kata lain menekankan pada efisiensi.9

Sebagai contoh, Jepang sangat terkenal dengan masyarakatnya yang anti litigasi dalam menyelesaikan permasalahan. Bentuk yang paling menonjol dalam penyelesaian pertikaian di Jepang adalah dengan sarana di luar pengadilan, perbaikan hubungan dan konsiliasi. Proses perbaikan hubungan di mana kedua pihak yang bertikai duduk berunding dan mencapai satu titik di mana mereka dapat setuju dan menciptakan hubungan yang harmonis kembali.10

Prof. Satjipto Rahardjo menggagas suatu teori hukum baru di Indonesia, yaitu teori hukum progresif, inti dari teori ini bahwa hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia.11 Gagasan hukum progresif muncul karena keprihatinan terhadap hukum Indonesia, dikatakan bahwa sistem hukum Indonesia adalah satu yang terburuk di dunia. Prof. Tjip lebih menekankan menemukan keadilan di mana saja, tidak mutlak hanya di pengadilan, karena keadilan ada di mana-mana.12 Pada intinya pemikiran hukum progresif menekankan bahwa hukum harus kembali pada filosofi dasarnya, yaitu hukum untuk manusia.13

Kritikan paling tajam terhadap legalisme hukum oleh pemikiran hukum progresif ditujukan kepada perumusan hukum dengan teks. Menurut pemikiran Prof. Tjip, tuntutan perumusan hukum ke dalam teks bisa menyebabkan hukum terjebak pada persoalan kebahasaan dan dengan demikian memasuki permainan kebahasaan. Kalau hukum itu dituntut untuk membuat rumusan-rumusan, maka pada waktu yag sama hukum sama dengan ditakdirkan untuk gagal menjalankan tugas tersebut. Dalam perspektif ini hukum sudah cacat sejak lahir, inilah tragedi hukum, masyarakat diatur oleh hukum yang cacat karena ketidakmampuannya untuk merumuskan dengan tepat hal-hal yang ada di masyarakat. Maka masyarakatpun diatur oleh hukum yang cacat sejak awal.14

Indonesia yang telah berabad-abad memakai sistem hukum positivistik, karena pengaruh kolonialisme, corak hukumnya lebih pada legal-dogmatik. Penyelesaian masalah dan keadilan hanya dapat dilakukan di pengadilan, hakim dan penegak hukum lainnya bertindak atas nama peraturan. Sedangkan pemikiran Hukum progresif yang menggagas pencarian keadilan di mana saja, di mana ada keadilan di situlah ada hukum. Lalu bagaimana dengan kepastian hukum jika sistem hukum Indonesia melaksanakan hukum progresif seperti pemikiran Prof. Satjipto Rahardjo? Kalau keadilan diterapkan di mana saja, institusi negara hanyalah sebagai penjaga malam, bukankah hal ini akan berakibat pada ketidak pastian hukum.

Di samping itu, jika secara baku hukum diartikan dengan sempit, seperti hukum adalah Undang-undang dan keadilan hanya di pengadilan, akan timbul suatu permasalahan yang paling akut dalam hukum, yaitu hukum akan cacat karena bisa jadi hukum yang ada dalam peraturan tidak bisa menjawab tantangan zaman dan dinamika yang berkembang dalam masyarakat.

Permasalahn itu perlu diselesaikan dengan dialektika intelektual, agar nantinya hukum Indonesia bisa mencapai tujuan dari hukum itu sendiri, yaitu menciptakan ketertiban dalam masyarakat dan memberikan rasa damai.

  1. POSITIVISTIK, CIVIL LAW DAN HUKUM PROGRESIF

Pada hakekatnya hukum mengandung sesuatu ide dan konsep yang abstrak, termasuk bastrak adalah ide tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial. Apabila bicara tentang hukum maka sekaligus juga bicara tentag penegakan ide dan konsep yang abstrak tersebut. Dirumuskan secara lain, penegakan hukum merupakan sesuatu untuk mewujudkan ide menjadi kenyataan.15 Penegakkan hukum bertujuan untuk menegakkan keadilan bagi rakyat, maka diaturlah cara serta mekanisme tertentu dalam mendapatkan keadilan tersebut.

Aliran teori hukum murni berpendapat, bahwa norma memberikan arahan atau ancangan pada manusia dalam bertindak. Hukum positif merupakan sebuah tatanan normatif yang mengatur sikap tindak manusia dalam cara tertentu.16 Norma adalah sebuah pernyataan mengenai apa yang seharusnya dilakukan dalam keadaan tertentu, norma yang berlaku akan tergantung dengan norma yang ada diatasnya, yaitu grundnorm.

Aliran positivisme yuridis menyatakan hukum hanya ditangkap sebagai aturan yuridis. Hukum yang sah adalah hukum yang dibuat oleh negara, jika hukum telah dibuat oleh negara maka rakyat wajib mematuhinya, jika tidak dipatuhi akan menerima sanksi. Adil atau tidak bukanlah persoalan, relevan atau tidak bukanlah urusan hukum, yang penting adalah sah atau tidaknya secara yuridis. Hukum bukanlah dasar dalam kehidupan sosial, bukan pula bersumber dari jiwa bangsa, tapi hukum itu ada karena bentuk positifnya dari yang berwenang.17 Penganut kuat aliran ini adalah John Austin.

Hans Kelsen, seperti Austin sebagai pendahulunya, mengatakan bahwa norma adalah perintah. Perintah merupakan suatu pernyataan kehendak dari seseorang yang objeknya adalah perbuatan dari seseorang lainnya.18 Perintah adalah suatu pernyataan kehendak seseorang, berbeda dengan permohonan, berbentuk suatu keharusan. Terminologi ini sangat terpengaruh dengan filsafat hukum yang bermazhab positivistik, di mana pandangan mazhab ini bahwa hukum akan valid jika dibuat oleh pihak yang berwenang. Namun demikian, teori hukum murni berbeda dengan mazhab positivistik dalam hal kemurnian hukum. Teori hukum murni menganggap hukum bebas nilai, hukum hanyalah hukum, sedagkan mazhab hukum positivistik masih memberikan ruang pada nilai, agama serta sosiologi dalam ilmu hukum.

Aliran positivistik sangat mempengaruhi keluarga hukum Eropa-Kontinental, atau yag lebih dikenal dengan sistem civil law, hingga akhirnya berpengaruh juga pada sistem hukum Indonesia. Civil law dikembangkan dari hukum-hukum yang tertuang dalam Corpus Iuris Civilis yang dikodifikasi pada masa Kaisar Iustianus. Sistem hukum ini berkembang dari Romawi, terus diikuti oleh Jerman dan selanjutnya Perancis, karena Belanda pernah menjadi jajahan Perancis pada masa Napoleon Bonaparte maka Belanda pun memakai sistem hukum ini, akibat kolonialisme Belanda di Indonesi, maka Indonesia juga penganut sistem hukum civil law.19

Ciri-ciri utama dari sistem civil law adalah hukum berbentuk peraturan-perturan yang dibuat oleh legislatif, hakim atau pengadilan hanyalah membuat keterangan terhadapt undang-undang atau sebagai corong undang-undang saja, tidak ada istilah judge made law.20 Umumnya peraturan dalam sistem hukum ini selalu dikodifikasi, tidak mengenal dualisme hukum, hukum yang berlaku adalah hukum yang dibuat oleh pemerintah. Semenjak suatu peraturan telah disahkan, maka saat itu juga hukum yang termaktub dalam peraturan tersebut dinyatakan berlaku bagi umum.21

Walaupun di Indonesia ada sistem hukum lain selain civil law, yang berlaku adalah hukum yang ditetapkan oleh pemerintah. Hukum adat yang telah hidup beribu-ribu tahun yang lalu dalam masyarakat Indonesia hanya menjadi hukum kedua setelah hukum positif nasional. Kendati demikian, sesungguhnya di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk sebenarnya hukum adat masih dipertahankan menurut kebiasaan masing-masing daerah, meskipun kemudian akan terjadi dualisme hukum, satu sisi hukum nasional diberlakukan demi kepastian hukum namun sisi lainnya hukum adat juga diberlakukan demi keharmonisan.

Hukum adat pada umumnya tidak berbentuk positif, bersifat interaksionalis dan masih kaburnya batasan das sein dan das sollennya, hukum adat juga lebih tersirat dari pada tersurat. Secara umum Unger mendefinisikan hukum adat merupakan setiap pola interaksi yang muncul berulang-ulang di antara banyak individu dan kelompok, diikuti pengakuan yang relatif eksplisit dari kelompok dan individu tersebut bahwa pola-pola interaksi demikian memunculkan ekspektasi perilaku timbal-balik yang harus dipenuhi.22

Pemikiran hukum progresif yang dicetus oleh Prof. Satjipto Rahardjo, seorang Guru Besar Emiritus Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, mencoba untuk membongkar tradisi civil law yang statis tersebut. Pemikiran hukum progresif bertolak dari fungsi hukum sebagai pelayan manusia, bukan sebaliknya. Titik tolak pemikiran hukum progresif adalah prilaku (behaviour), bukan logika semata.23 Manusia memegang peran utama dalam hukum, sejarah hukum penuh dengan jejak-jejak pergulatan manusia untuk menemukan tatanan yang ideal.24

Perubahan hukum demi tujuan utama mengatur hidup manusia mutlak diperlukan, hal ini dilakukan karena hukum yang tertulis telah mengalami kesenjangan.25 Kesenjangan ini disebabkan oleh sarana yang dilakukan oleh manusia dalam mencapai tujuan hukumnya, yaitu kekakuan hukum tertulis yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan perubahan masyarakat. Hukum tertulis yang statis ini tidak dapat melepaskan diri dari bahan-bahan yang diaturnya, sedangkan bahan-bahan yang diaturnya selalu berubah dan ini dari hukum tertulis tersebut tetap dan tidak berubah, maka kesenjangan itupun terjadi. Sehingga terdapat suatu ketimpangan yang mencolok antara hukum di satu pihak dan masyarakat di lain pihak mengenai perbuatan yang seharusnya dilakukan.

Intisari dari pemikiran hukum progresif yaitu hukum merupakan suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia.26 Hal yang paling penting didapatkan dari hukum adalah bagaiana tujuan-tujuan hukum itu dapat tercapai, hukum hanyalah sebatas sarana untuk mendapatkan keadilan. Penegakan hukum, menurut teori ini, bukanlah menjalankan hukum sebagaimana mestinya, akan tetapi lebih pada cara sosiologis sebagai bentuk alternatif untuk mencapai tujuan hukum yang berbentuk keadilan dengan pertimbangan efisiensi.27

Dikatakan bahwa profesional hukum yang menguasai bisnis lawyering dibuat tertidur nyenyak dengan posisi pikiran hukum dominan. Prof. Tjip mengusulkan suatu pendekatan dan metodologi lain selain dari hukum yang dominan dalam mendapatkan keadilan, karena pikiran dominan ini dianggap telah gagal menyembuhkan krisis hukum yang dialami Indonesia. Krisis hukum yang dimaksud adalah kehilangan pamor hukum sebagai pemberi keadilan yang disebabkan hukum tidak lagi menata dan mengendalikan proses ekonomi, sosial, politik dan sebagainya, tapi lebih sebagai alat kepentingan dan kekuasaan. Kerja hukum tidak lagi otentik.

Hukum progresif berpandangan bahwa hukum ada kaitannya dengan perubahan sosial, maka hukum mempunyai dua tujuan, yaitu hukum sebagai sarana pengendalian sosial dan sebagai sarana social engineering.28 Sebagai pengendali sosial, hukum bertugas untuk mempertahankan suatu tertib atau pola yang telah ada. Sedangkan fungsinya sebagai social engineering, hukum digunakan sebagai alat untuk melakukan perubahan dalam masyarakat, fungsi ini lebih dinamis dibandingkan dengan fungsi sebelumnya.

  1. PROBLEMATIKA PENEGAKAN HUKUM

Apapun faham, teori ataupun mazhabnya, hukum ditegakkan tetaplah mempunyai tujuan yang mulia, yaitu demi ketertiban serta kedamaian manusia untuk mendapatkan keadilan yang substantif. Penegakkan hukum memanglah menjadi persoalan klasik sejak manusia diciptakan, entah itu prosedurnya maupun bentuknya.

Penegakan hukum positif di Indonesia dimulai secara resmi sejak diberlakukannya Op Heid Beleid der Regering van Nederlands-Indie pada tahun 1854, yaitu satu setengah abad yang lalu.29 Supremasi hukum merupakan titik tolak penegakan hukum positiv, maka hukum adalah di atas segala-galanya.

Berdadarkan cirinya yang dibuat oleh legislatif, maka hukum positif merupakan produk politik, karena lagislatif lahir dari proses politik. Sebagai produk politik, maka hukum amat kental dengan kepentingan, rasanya pandangan equality before the law akan sulit diterapkan, sebab logika politik adalah harus ada yang berkuasa dan ada yang dikuasai. Akibatnya hukum akan memandang status sosial subjek hukum, penegakakan hukumpun akan mengalami diskriminasi terhadap manusia itu sendiri.30

Para penguasa di sisi yang mengatur dan diuntungkan, sisi pinggirannya manusia yang lemah. Bentuk seperti ini mengakibatkan hukum dijadikan sebagai alat rekayasa untuk manipulasi sosial, hukum dijadikan oleh kelompok yang berkepentingan untuk mengendalikan negara demi kepentingannya sendiri.31 Maka hukum akan menjadi otoritatif, objektif bukan dibuat untuk merumuskan kebaikan menurut konsepsi negara atau masyarakat secara umum.

Adalah salah jika beranggapan bahwa kepatuhan terhadap hukum sama dengan kesadaran hukum, kepatuhan hukum lebih disebabkan oleh keterpaksaan karena ada institusi negara yang memaksanya, sedangkan kesadaran hukum lahir dari dalam jiwa yang ikhlas untuk mengikuti hukum yang diyakininya benar. Kepatuhan terhadap hukum karena terpaksa bisa jadi akan berubah jika subjek hukum mempunyai kekuatan dan legitimasi untuk melanggarnya, sedangkan kesadaran akan hukum berlaku untuk selamanya karena subjek hukum menerima hukum dengan ikhlas.

Sebagai contoh, seorang pengendara sepeda motor akan memakai seluruh atribut tertib lalu lintas seperti helm, kaca spion dan lain sebagainya, jika akan melewati Pos Polisi atau saat ada razia tertib lalu lintas karena takut ditilang. Namun di tempat lain, dengan orang yang sama, pengendara tersebut dengan sadar melepaskan semua atribut tersebut karena dia merasa tidak akan ditilang, sebab tidak ada polisi yang akan menangkapnya. Deskripsi tersebut merupakan kepatuhan hukum, bukan kesadaran hukum. Jika pengendara tersebut sadar hukum, maka dia akan tetap menggunakan seluruh atribut itu demi keselamatannya dalam berkendara, dimanapun dia berkendara, baik ada polisi atau tidak. Tujuan dari peraturan mewajibkan memakai helm dan spion demi keselamatan pengendara itu sendiri.32

Di samping itu, masyarakat yang merupakan subjek utama hukum, sangatlah dinamis, karena sebagai makhluk sosial maka manusia akan selalu berubah. Di satu sisi hukum positif bersifat statis dan baku, maka hukum pada saatnya nanti akan tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat. Belum lagi permasalahan yang muncul tentang miskin kepekaan yang dialami oleh para pembuat peraturan,33 para legislator membuat undang-undang hanya sebatas mengejar target Program Legislasi Nasional, bukan berdasarkan substansi dari tujuan pembuatan peraturan itu sendiri, masyarakat yang menjadi subjek peraturan itu tidak dijadikan pertimbagan, sehingga bertambah cacatlah hukum yang dilahirkan.

Mengenai kekakuan prosedural legalistik hukum positif, Lawrence M. Friedman menyatakan hukum bukanlah satu-satunya yang bisa memberikan hukuman atau imbalan, masih ada keluarga, teman-teman, rekan kerja dan seluruh subjek hidup masyarakat.34 Salah penilaian jika menganggap hukum adalah segala-galanya, manusia yang menjadi subjek hukum bukanlah mesin, tapi makhluk sosial yang memiliki ide dan nilai sendiri. Di samping itu, manusia bukanlah sesuatu yang statis, tapi makhluk yang dinamis, bisa saja sanksi yang aka dijatuhkan oleh hukum diarahkan pada hal tertentu.35

Hukum formal legalis yang prosedural biasanya mendengungkan slogan persamaan hukum, namun pada pralteknya hukum formal sulit memberikan keadilan bagi masyarakat yang lemah, sebab kelas yang lebih kaya akan lebih diperhatikan.36 Pemberlakuan hukum dengan karakter informal yang lebih luas, dengan menegedepankan pemenuhan fungsi hukum sebagai sumber keadilan, maka hukum akan berfungsi sebagaimana mestinya.

Transformasi sosial manusia Indonesia yang begitu cepat akan sulit terkejar oleh hukum positif yang kaku, maka hukum terkesan tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga boleh dikatakan hukum telah gagal menjalankan perannya sebagai pengatur pranata masyarakat. Kekakuan hukum menyebabkan sulitnya keadilan ditegakkan, karena dia tidak dapat lagi menentukan hukuman ataupun kewajiban yang semestinya dan dengan layak sebab dalam setiap tata kebijakan semuanya telah diatur secara terperinci oleh peraturan tertulis, kalaupun ada inisiatif untuk mengubahnya akan memerlukan dana, tenaga dan waktu tambahan sehingga hukum akan jauh dari kata efektif, efisien serta terkesan boros anggaran. Pada akhirnya apa yang tidak tertulis bukanlah hukum. Inilah apa yang disebut hukum cacat oleh pemikiran hukum progresif.

Penegakan hukum yang kaku bisa mengarah pada penegakan hukum yang refresif, Durkheim menggambarkan hukum refresif biasanya ditegakkan pada masyarakat mekanis. Masyarakat mekanis merupakan masyarakat yang dibentuk secara paksa dengan mekanisme tertentu. Hal ini akan menimbulkan hukuman yang berat terhadap pelanggaran, walaupun hukuman itu tidak sesuai dengan kejahatan yang dilakukan, konsep hukum ini akan melahirkan ketidakseimbangan penghukuman dalam hukum pidana.37 Hukum seperti ini juga disebut sebagai tindakan sosial strategi, di mana satu pihak ingin pihak lain melakukan apa yang dia inginkan, usaha mempengaruhi pihak lain ini bisa dilakukan dengan cara memaksa atau memberlakukan sanksi.38 Tindakan hukum yang seperti ini tidak berdasarkan atas pemahaman bersama tentang keadilan, apa yang adil menurut masyarakat belum tentu keadilan menurut pemerintah, jadinya hukum yang adil hanyalah hukum menurut perspektif pembuat peraturan, yatu pemerintah.

Sebenarnya banyak sekali kelemahan hukum positif dalam sistem hukum, khususnya dalam sistem hukum Indonesia, namun ada juga kelebihan yang dimilikinya. Kelebihan utama hukum positif terletak pada kepastian hukumnya, hukum memiliki suatu standart tertulis dan manusia tidak bisa lepas dari keterikatan terhadap hukum tersebut. Pada kepastian hukum inilah sebenarnya terletak kelemahan dari pemikiran hukum progresif.

Hukum progresif menganggap bahwa keadilan tidak hanya di pengadilan, tapi ada di mana-mana, dan itulah kelebihan utama dari pemikiran hukum progresif. Anggapan ini bisa menjerumuskan jika diartikan secara artifisial dan tidak bertanggung jawab, sebab pemberian diskresi yang berlebihan akan menyebabkan hukum akan kehilangan fungsinya sebagai kontrol sosial. Hukum tidak dapat lagi mengatur masyarakat karena penafsiran yang bebas terhadap keadilan, maka jadilah suatu struktur sosial kembali pada hukum rimba, siapa kuat dia yang menang karena aturan bersifat flleksibel.

Penegakan hukum berdasarkan perubahan dalam masyarakat juga bisa berakibat pada sulitnya keteraturan itu diciptakan, sebab masyarakat selain mempunyai sifat selalu berubah, juga terbentuk dari banyak entitas dan unsur serta bersifat majemuk tentang pemahaman keadilan. Kondisi ini akan melahirkan hukum yang bisa melahirkan ketimpangan juga, karena hukum yang berlaku adalah kehendak mayoritas, maka akan terjadi terhadap diskriminasi terhadap kelompok mayoritas. Keadaan ini lahir disebabkan hukum hanya melihat perubahan makro, sedangkan perubahan yang mikro diabaikan begitu saja karena penelitian dalam ilmu sosial hanya melihat gejala, sedangkan gejala yang tampak pada perubahan itu adalah gejala yang umum.

Pemberian diskresi yang luas, sehingga aparat hukum dapat berbuat selalu fleksibel, adaptif dan selalu mawas diri. Pada posisi ini akan terjadi kekaburan tanggung jawab yang harus diemban oleh penegak hukum, karena mereka telah kehilangan kepastian. Dengan demikian, hukum progresif bisa berakibat pada berubahnya hukum menjadi suatu yang bersifat oportunis, yaitu adaptasi yang tidak terarah terhadap berbagai peristiwa dan tekanan.

Jean Jacque Rousseau dalam Du Contracy Social mengatakan, bahwa jika hanya menuruti nafsu naluriah berarti perbudakan, sedangkan kepatuhan terhadap hukum yang kita tentukan untuk diri kita sendiri adalah kebebasan.39

  1. PENUTUP

Setiap ilmu atau teori pasti memiliki kelebihan dan kekurangan, biasanya kekurangannya terletak tidak jauh dari kelebihannya itu sendiri. Begitupun pemahaman hukum positif di Indonesia dan pemikiran hukum progresif, masing-masing mempunyai kelebihan sekaligus kekurangan, dan kekurangan dari masing-masing pemikiran hukum ini terletak pada kelebihannya juga.

Hukum positif mempunyai kelebihan karena dibukukan dan baku, sehingga sulit hukum untuk dimanipulasi karena setiap aturan sudah tertera dengan jelas di atas kertas. Kelebihan lainnya adalah hukum positif lebih sistematis karena telah terkodifikasi, sehingga membutuhkan prosedur khusus dalam penegakannya. Namun kekurangannya juga terletak pada kodifikasinya, sebab hukum yang telah terkodifikasi akan bersifat kaku, sehingga sulit untuk menyesuaikan diri dengan perubahan dalam masyarakat. Disamping itu, karena sangat prosedural, hukum positif juga dinilai lamban dalam memberikan keadilan pada manusia, sehingga sebelum mendapatkan keadilan, seorag pencari keadilan harus membayar ongkos mahal dari keadilan itu. Maka timbul suatu anekdot “mencari seekor kambing yang hilang harus dibayar dengan seekor sapi”.

Pemikiran hukum progresif yang bertolak pada pengertian bahwa hukum untuk manusia menjadikan manusia sebagai tujuan penegakan hukum yang utama. Kepastian hukum yang dianggap tidak adil, pada konteks tertentu, dapat diabaikan asalkan bisa menemukan keadilan dengan metode yang lain. Itinya keadilan tidak hanya berada di pengadilan dan yang tertulis dalam Undang-undang, tapi keadilan berada di mana-mana. Kelemahan pemikiran hukum progresif ini ialah pada sifatnya yang fleksibel, terlalu adaptif, sehingga akan mengundang kekaburan tanggung jawab bagi aparat penegak hukum. Adaptasi hukum yang digagas hukum progresif akan menyebabkan adaptasi yang tidak terarah, yaitu akan sukar memilah tekanan yang baik dan buruk, karena konsepnya lebih diarahkan pada gejala perubahan sosial.

Prospek yang dimiliki hukum progresif di Indonesia karena masyarakat Indonesia sangatlah plural, baik hukum maupun gejala sosialnya, hal ini memungkinkan pemikiran hukum progresif sesuai dengan typikal masyarakat Indonesia yang lebih mengutamakan harmonis dan mendahulukan penerapan keadilan yang sebenarnya, bukan keadilan yang sesuai peraturan.

Setiap prospek yang dimiliki oleh sesuatu hal, tentunya tantangannya juga mengiringinya. Tantangan paling utama terhadap penegakan hukum progresif sebenarnya datang dari mengakarnya civil law yang positivistik dalam sistem hukum Indonesia, di mana sistem hukum Indonesia lebih mementingkan penegakan hukum yang berdasarkan kepastian hukum daripada menerapkan keadilan. Di samping itu, masyarakat Indonesia ke pengadilan bukanlah untuk mencari keadilan, namun lebih pada untuk memenangkan perkara yang lebih parahnya hal ini diikuti oleh para penegak hukum (Polisi, Jaksa, Pengacara dan Hakim).

Menurut saya, penegakan hukum di Indonesia harus diarahkan untuk menegakkan keadilan dengan cara menjalankan kepastian hukum yang bermanfaat untuk masyarakat demi tercapainya kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Apapun model penegakan hukum, harus berorientasi pada nilai-nilai keadilan dan bertujuan demi kesejahteraan rakyat, karena hukum bukan hanya untuk ketertiban maupun kedamaian, tapi semuanya akan bermuara pada kesejahteraan yang hakiki dan kesejahteraan secara umum.

  1. DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin, Studi Agama : Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, cet. IV, 2004.

Arinanto, Satya dan Ninuk Triyanti (ed.), Memahami Hukum : Dari Konstruksi sampai Implementasi, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2009.

Cahyadi, Antonius dan E. Fernando M. Manullang, Pengantar ke Filsafat Hukum, Jakarta : Kencana, cet. II, 2008.

Cruz, Peter De, Perbandingan Sistem Hukum : Civil Law, Common Law dan Socialist Law, alih bahasa Nurulita Yusron, Bandung dan Jakarta : Nusa Media dan Diadit Media, 2010.

Edkins, Jeny, dan Nick Vaughan Williams, Teori-teori Kritis : Menantang Pandangan Utama Studi Politik Internasional, terj. Teguh Wahyu Utomo, Yogyakarta : Baca, 2010.

Friedman, Lawrence M., Sistem Hukum : Perspektif Ilmu Sosial, terj. M. Khozim, Bandung: Nusa Media, cet. III, 2009.

Gunawan, Ahmad dan Munawar Ramadhan, Menggagas Hukum Progresif, Yogyakarta dan Semarang : Pustaka Pelajar, IAIN Wali Songo dan Program Doktor Ilmu Hukum Undip, 2006.

Hart, H.L.A., Law, Liberty and Morality, terj. Ani Mualifatu Maisah, Yogyakarta : Genta Publishing, 2009.

Kelsen, Hans, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, terj. Raisul Muttaqien, Bandung : Nusa Media, cet. V, 2010.

Khaldun, Ibnu, Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha, Jakarta : Pustaka Firdaus, cet. IV, 2003.

Lauer, Robert H., Perspektif tentang Perubahan Sosial, terj. Alimandan, Jakarta : Rineka Cipta, cet. IV, 2003.

Lukito, Ratno, Tradisi Hukum Indonesia, Yogyakarta : Teras, 2008.

Manan, Abdul, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Jakarta : Kencana, cet. III, 2009.

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, Yogyakarta : Liberty, edisi IV, cet. II, 1999.

Nonet, Philippe dan Philip Selznick, Hukum Responsif, terj. Raisul Muttaqien, Bandung: Nusa Media, cet. 2008.

Peters, A.A.G., dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial : Buku Teks Sosiologi Hukum, Jakarta : Sinar Harapan, 1988.

Rahardjo, Satjipto, Membedah Hukum Progresif, Jakarta : Kompas Media Nusantara, cet. III, 2008.

……………, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Jakarta : Kompas Media Nusantara, cet. II, 2006.

……………., Hukum Progresif : Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Yogyakarta : Genta Publishing.

……………., Penegakan Hukum Progresif, Jakarta : Kompas Media Nusantara, 2010.

…………….., Hukum dalam Jagad Ketertiban, Jakarta : UKI Press, 2006.

………………, Penegakan Hukum : Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta : Genta Publishing, 2009.

………………, Biarkan Hukum Mengalir : Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, Jakarta : Kompas Media Nusantara.

………………., Hukum dan Perubahan Sosial : Suatu Tinjauan Teoritis serta Pengalaman-pengalaman di Indonesia, Yogyakarta : Genta Publishing, cet. III, 2009.

………………., Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial bagi Pengembangan Ilmu Hukum, Yogyakarta : Genta Publishing, 2010.

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi : Dari Teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, terj. Nurhadi, Yogyakarta : Kreasi Wacana, cet. V, 2010.

Rousseau, Jean Jacques, Du Contract Social, alih bahasa Vincent Bero, Jakarta : Visimedia, 2007.

Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta : UI Press, Edisi V, 1993.

Strong, C. F., Konstitusi-konstitusi Politik Modern : Studi Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk, alih bahasa Derta Sri Widowatie, Bandung : Nusa Media, cet. III, 2010.

Tanya, Bernard L., dkk., Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Waktu, Yogyakarta : Genta Publishing, cet. III, 2010.

Unger, Roberto M., Teori Hukum Kritis : Posisi Hukum dalam Masyarakat, terj. Dariyatno dan Derta Sri Widowatie, Bandung : Nusa Media, cet. IV, 2010.

Weber, Max, Sosiologi, terj. Noorkholis, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, cet. II, 2009.

Wignjosoebroto, Soetandyo, Hukum : Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Jakarta : Elsam dan Huma, 2002.

Catatan Kaki

1 Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, Yogyakarta : Teras, 2008, hlm. 3.

2 Amin Abdullah, Studi Agama : Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, cet. IV, 2004, hlm. 5.

3 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta : UI Press, Edisi V, 1993, hlm. 4.

4 Peter De Cruz, Perbandingan Sistem Hukum : Civil Law, Common Law dan Socialist Law, alih bahasa Nurulita Yusron, (Bandung dan Jakarta : Nusa Media dan Diadit Media, 2010), hlm. 61-62.

5 C. F. Strong, Konstitusi-konstitusi Politik Modern : Studi Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk, alih bahasa Derta Sri Widowatie, (Bandung : Nusa Media, cet. III, 2010), hlm. 185.

6 Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manullang, Pengantar ke Filsafat Hukum, Jakarta : Kencana, cet. II, 2008, hlm, 58.

7 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Jakarta : Kompas Media Nusantara, cet. III, 2008, hlm. 10.

8 Philipe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, terj. Raisul Muttaqien, Bandung: Nusa Media, cet. 2008, hlm. 74.

9 Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Jakarta : Kompas Media Nusantara, cet. II, 2006, hlm. 194.

10 A. A. G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial : Buku Teks Sosiologi Hukum, Jakarta : Sinar Harapan, 1988, hlm. 105.

11 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif : Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Yogyakarta : Genta Publishing, 2009, hlm. 2.

12 Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, Jakarta : Kompas Media Nusantara, 2010, hlm. 4.

13 Bernard L. Tanya dkk., Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Waktu, Yogyakarta : Genta Publishing, cet. III, 2010, hlm. 212.

14 Satjipto Rahardjo, Hukum dalam Jagad Ketertiban, Jakarta : UKI Press, 2006, hlm. 168.

15 Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum : Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta : Genta Publishing, 2009, hlm. 12.

16 Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manullang, Pengantar ke Filsafat….., hlm. 81.

17 Bernard L. Tanya dkk., Teori Hukum…, hlm. 119-121

18 Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, terj. Raisul Muttaqien, Bandung : Nusa Media, cet. V, 2010, hlm. 40.

19 Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Jakarta : Kencana, cet. III, 2009, hlm. 31-33.

20Ibid. Hlm. 34. Soetandyo menyebutkan bahwa positivisme dikonsepkan sebagai law in book, hukum yang mengatur manusia demi tertib hukum harus patuh terhadap undang-undang. Lihat juga : Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum : Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Jakarta : Elsam dan Huma, 2002, hlm. 164.

21 Hans Kelsen, Teori Umum…, hlm. 44.

22 Roberto M. Unger, Teori Hukum Kritis : Posisi Hukum dalam Masyarakat, terj. Dariyatno dan Derta Sri Widowatie, Bandung : Nusa Media, cet. IV, 2010, hlm. 63-64.

23 Satjipto Rahardjo, “Hukum Progresif sebagai Dasar Pembangunan Ilmu Hukum Indonesia”, dalam Ahmad Gunawan dan Munawar Ramadhan, Menggagas Hukum Progresif, Yogyakarta dan Semarang : Pustaka Pelajar, IAIN Wali Songo dan Program Doktor Ilmu Hukum Undip, 2006, hlm. 9.

24 Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir : Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, Jakarta : Kompas Media Nusantara, cet. II, 2008, hlm. 8.

25 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial : Suatu Tinjauan Teoritis serta Pengalaman-pengalaman di Indonesia, Yogyakarta : Genta Publishing, cet. III, 2009, hlm. 50-51.

26 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif : Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Yogyakarta : Genta Publishing, 2009, hlm. 2.

27 Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi…, hlm. 194. Pemikiran hukum progresif hampir sama dengan teori hukum responsif yang digagas oleh Nonet dan Selznick, yaitu upaya untuk menempatkan hukum sebagai respon terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik. Hukum responsif juga mengkritik hukum otonom yang kaku, kekakuan ini menurutnya akan berakibat aparat hukum tidak siap menghadapi perubahan masyarakat. Lihat : Philipe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif……, hlm. 86-87.

28 Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial bagi Pengembangan Ilmu Hukum, Yogyakarta : Genta Publishing, cet. II, 2010, hlm. 124.

29 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum : Paradigma.., hlm. 457.

30 Ibnu Khaldun menamakan hukum yang seperti ini dengan nama hukum binatang, karena hukum yang dibuat menyimpang dari keadilan dan mengabaikan kepentingan rakyat, penguasa membuat hukum hanya dengan tujuan dan kepentingannya sendiri. Hukum seperti ini akan berakibat ketidak patuhan pada hukum oleh rakyat dan memancing terjadinya pemberontakan. Ibnu Khaldun mengusulkan agar hukum yang digunakan berdasarkan hukum Agama Islam, karena hukum Islam ditentukan Allah demi ketertiban dan keadilan bagi manusia itu sendiri. Lihat : Ibnu Khaldun, Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha, Jakarta : Pustaka Firdaus, cet. IV, 2003, hlm. 232-234.

31 Roberto M. Unger, Teori Hukum Kritis…., hlm. 82.

32 Hart menyebut jenis ini adalah ketaatan tunggal, karena takut mendapatkan sanksi terhadap pelanggaran hukum, bukan karena kesadaran pribadi. Lihat : H.L.A. Hart, Law, Liberty and Morality, terj. Ani Mualifatu Maisah, Yogyakarta : Genta Publishing, 2009, hlm. 80-81.

33 Miskin kepekaan di sini bisa juga diartikan dengan rendahnya kualitas anggota legislatif, kita tentu ingat disertasi Idrus Marham yang mengatakan bahwa 60% anggota DPR RI periode 2004-2009 memiliki kualitas yang rendah. Kompas, Edisi Minggu, 18 Januari 2009.

34 Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum : Perspektif Ilmu Sosial, terj. M. Khozim, Bandung: Nusa Media, cet. III, 2009, hlm. 139.

35 Perilaku ini bisa dinamakan dengan tawar menawar atau interaksi, interaksi yang lebih ekstrim lagi seorang pelaku kejahatan bisa menggalang revolusi untuk mengubah hukum. Friedman menyebutkan hukum yang kaku bisa berimplikasi pada beberapa jenis prilaku, yaitu tawar menawar atau interaksi, reaksi dan yang terakhir adalah efek samping dari hukum. Lihat : Ibid, hlm. 140.

36 Lihat : Max Weber, Sosiologi, terj. Noorkholis, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, cet. II, 2009, hlm. 264-265.

37 George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi : Dari Teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, terj. Nurhadi, Yogyakarta : Kreasi Wacana, cet. V, 2010, hlm. 92.

38 Jeny Edkins dan Nick Vaughan Williams, Teori-teori Kritis : Menantang Pandangan Utama Studi Politik Internasional, terj. Teguh Wahyu Utomo, Yogyakarta : Baca, 2010, hlm. 248-249.

39 Jean Jacques Rousseau, Du Contract Social, alih bahasa Vincent Bero, Jakarta : Visimedia, 2007, hlm. 32.

Menimbang Sistem Rekruitmen Parpol

Sebelum memulai tulisan ini untuk pembahasan lebih jauh, saya sangat terganggu dengan pertanyaan perbedaan mendasar Ilmu Politik dan Hukum Tata Negara itu apa? Banyak yang saya temukan jawabannya, namun yang menjadi dasar saya memberanikan diri menulis pembahasan ini adalah jawaban seorang teman yang mengatakan bahwa Hukum Tata Negara berdiri pada dua ranah ilmu, satu kaki berpijak pada Ilmu Politik dan kaki yang lain berada pada ranah Ilmu Hukum. Pertanyaan selanjutnya adalah kaki mana saja yang berada pada Ilmu Politik dan kaki yang mana berada di wilayah Ilmu Hukum? Biarlah pertanyaan itu menjadi sebuah kegelisahan dan memupuk semangat intelektual untuk mencari tahu.

  1. PENDAHULUAN

Lembaga perwakilan rakyat seperti Dewan Perwakilan Rakyat secara konstitusional diposisikan sebagai sebuah lembaga yang terhormat, dalam tata krama persidangan disebutkan “..Ibu dan Bapak anggota dewan yang terhormat..”. Perkataan ini menandakan suatu posisi khusus yang tidak didapatkan orang kebanyakan dan merupakan posisi bagi orang-orang terpilih, mereka bukanlah manusia biasa seperti rakyat jelata karena hak dan kewenangannya diatur langsung oleh konstitusi dan peraturan di bawahnya.

Keinginan untuk menjadi seorang anggota legislatif tidak hanya datang dari seorang “job seeker” yang ingin mendapatkan pekerjaan dan pendapatan yang lebih layak, namun juga posisi ini juga sangat diminati oleh kalangan yang telah mapan secara ekonomi maupun popularitas, seperti para selebristis dan para pengusaha juga sangat menginginkan posisi ini. Wajar jika segala sumber daya dikerahkan dalam setiap momentum Pemilu demi kedudukan ini, karena posisi ini menjanjikan sebuah popularitas yang diikuti oleh sumber pendapatan dan tentunya kehormatan sebagai negarawan dengan segala hak dan keistimewaannya.

Suatu keprihatinan yang mendalam melihat kenyataan dalam banyak kasus bahwa moral, kualitas intelektual maupun kemampuan kenegaraan anggota parlemen Indonesia, baik DPR, DPD maupun DPRD, sangatlah lemah. Tidak sampai di situ, informasi yang sampai bocor di ruang publik menandakan bahwa lembaga ini adalah lembaga yang paling korup dan tidak dapat dipercaya. Jadi wajar Pong Harjatmo menuliskan sebuah kritik di atas Gedung Keong dan musisi Slank melantunkan sebuah lagu Gosip Jalanan yang keduanya bermaksud menyampaikan kritik dan saran kepada negarawan yang ada di DPR, sungguh ini merupakan tamparan keras kalau mereka sadar dengan aspirasi rakyat, tentunya seluruh rakyat Indonesia juga masih punya berbagai uneg-uneg yang belum sempat disampaikan. Idrus Marham, dalam ujian desertasi Doktor bidang Ilmu Politik di UGM, menyatakan bahwa 60% anggota DPR periode 1999-2004 berkualitas rendah.1

Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai fungsi utama sebagai pembuat kebijakan negara (legislasi) dan fungsi mengawasi pelaksanaan kebijakan yang telah dibuat (control)2 dan fungsi membuat anggaran negara.3 Fungsi lain yang tidak kalah pentingnya adalah parlemen berfungsi edukatif, di mana parlemen merupakan forum kerjasama antar berbagai golongan yang memungkinkan penyampaian pendapat di depan umum, sedangkan fungsi lainnya adalah sebagai rekruitmen politik, parlemen merupakan training ground bagi generasi muda untuk belajar politik sampai ke tingkat nasional.4

Sistem demokrasi yang dianut di Indonesia memberikan posisi yang begitu urgen bagi Partai Politik, Partai Politik merupakan sarana bagi warga negara untuk dapat berpartisipasi dalam pengelolaan negara. Lahirnya Partai Politik tidak lepas dari kenyataan bahwa rakyat harus diikut sertakan dalam setiap proses politik.5 Terkait fungsi seperti ini Partai Politik mempunyai status sebagai institusi publik semu, karena Partai Politik bukanlah lembaga pemerintah tapi juga bukan lembaga swasta yang seutuhnya.6

Namun dalam kenyataannya Partai Politik di Indonesia telah mengabaikan fungsi-fungsi umum sebagai Partai Politik. Sering dengan euphoria politik, maka keberadaan Partai Politik tidak lebih dari sekedar media untuk meraih kepentingan politik semata, yakni menduduki jabatan untuk kekuasaan politik. Sehingga yang dominan adalah Partai Politik sebagai sarana pendidikan kekuasaan, di mana sebuah institusi Partai Politik hanya dijadikan tempat belajar untuk mendapatkan, menggunakan dan menjalan kekuasaan demi kepentingan pribadi, kelompok, keluarga dan Partai itu sendiri serta mengabaikan kepentingan nasional dan seluruh rakyat.

Partai politik lebih mengutamakan dimensi popularitas serta kekuatan ekonomi kadernya untuk dijadikan elit politik, dalam hal ini menjadi seorang negarawan di lembaga legislatif, dengan mengabaikan dimensi kualitasnya. Dengan demikian Partai Politik telah mengabaikan dua fungsi utama Partai Politik, yaitu sebagai sarana sosialisasi politik dan sarana rekruitmen politik. Lalu bagaimanakah seharusnya partai politik difungsikan agar nantinya menghasilkan negarawan yang berkualitas dan tentunya juga melahirkan produk legislasi yang berkualitas juga?

Pembahasan dalam tulisan ini akan coba menerangkan tentang fungsi dan peran Partai Politik serta analisis tentang fungsinya, lebih khusus lagi analisis akan dikerucutkan mengenai fungsi rekruitmen polotik yang dilakukan oleh Partai untuk seleksi kepemimpinan di dalam lembaga legislatif.

  1. LEMBAGA LEGISLATIF DAN FUNGSI PARTAI POLITIK

Lembaga legislatif atau legislature merupakan lembaga negara yang fungsi utamanya sebagai pembuat peraturan yang berlaku bagi seluruh unsur negara. Legislatif mempunyai banyak nama dan istilah, di antaranya assembly yang berarti berumpul, nama lain adalah parliament yang mengandung makna bicara.7 Lembaga Perwakilan atau Lembaga Legislatif lahir berdasarkan teori, bahwa rakyat adalah pemegang kekuasaan yang tertinggi, rakyat mempunyai kehendak dan peraturan-peraturan yang dibuat oleh lembaga legislatif merupakan kehendak umum atau volumte generale dari seluruh rakyat karena lembaga tersebut adalah refresentasi rakyat.8

Wakil-wakil rakyat duduk dalam lembaga legislatif (DPR) dipilih melalui mekanisme Pemilu. Pemilu merupakan arena kompetisi untuk mengisi jabatan-jabatan politik di pemerintahan yang didasarkan pada pilihan formal dari warga negara yang memenuhi syarat.9

Sebuah Partai Politik dibentuk dengan maksud baik,10 yakni menampung, mengolah dan menyuarakan aspirasi rakyat yang memilihnya agar kepentingan rakyat tidak dilupakan oleh penguasa. Kita tidak akan membayangkan ada kehidupan demokrasi tanpa Partai Politik, pada sebuah negara Monarki Partai Politik akan dianggap sebagai kelompok yang memecah belah dan merintangi niat besar Sang Raja,11 Partai Politik dianggap sebagai pihak yang selalu menghasut dan anti pembagunan yang telah didesain oleh Sang Raja.

Partai berasal dari bahasa Latin, partire yang berarti membagi.12 Partai Politik secara umum berarti suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita yang sama.13 Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik. Pendirian Partai Politik berangkat dari anggapan bahwa dengan membentuk wadah organisasi mereka bisa menyatukan orang-orang yang mempunyai pikiran serupa sehingga pikiran dan orientasi mereka bisa dikonsilidasikan. Dengan begitu pengaruh pengaruh mereka lebih besar dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan.14 Perebutan dan cara mempertahankan kedudukan politik dilakukan dengan mekanisme konstitusional.

Menurut Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2011 Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.15

Secara umum dikenal beberapa fungsi utama Partai Politik dalam sebuah negara demokrasi, fungsi pertama adalah sebagai sarana komunikasi politik, yaitu Partai Politik sebagai perantara antara kekuatan-kekuatan dan pendapat yang ada dalam masyarakat dengan lembaga resmi pemerintah. Pertama Partai melakukan penggabungan kepentingan yang berasal dari masukan berbagai fihak, selanjutnya dilakukan perumusan kepentingan yang selanjutnya disampaikan kepada pemerintah.

Fungsi kedua yaitu sebagai sarana sosialisasi politik, bisa diartikan masyarakat belajar mengenai sistem politiknya melalui Partai Politik. Dimensi lain dari fungsi ini adaalah sebagai proses yang melaluinya masyarakat “budaya politik” yaitu norma-norma dan nilai-nilai, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian sosialisasi politik merupakan faktor penting dalam membentuk budaya politik suatu bangsa.

Ketiga Partai Politik berfungsi sebagai Rekruitmen politik, yaitu Partai Politik dijadikan sebagai lembaga awal yang melakukan seleksi kepemimpinan. Seleksi kepemimpinan mencakup seleksi kepemimpinan di internal Partai, kepemiminan wilayah serta yang paling penting adalah seleksi kepemimpian tingkat nasional. Fungsi keempat adalah sebagai sarana pengatur konflik.16 Konflik yang terjadi di suatu negara membutuhkan peran Partai Politik untuk membantu mengatasinya, atau setidaknya dapat diatur sedemikian rupa sehingga dampak negatifnya dapat diminimalisir. Elit Partai dapat menumbuhkan pengertian di antara mereka dan brsamaan dengan itu dapat meyakinkan pendukungnya.

Roskin juga menjabarkan bahwa Partai Politik berfungsi sebagai jembatan pemerintah dan rakyat, agregrasi kepantingan, integrasi ke dalam sistem politik, sosialisasi politik, mobilitas pemilih dan seagai sebuah lembaga yang mampu untuk mengorganisir pemerintahan.17

Partai Politik di negara-negara berkembang lebih difungsikan, atau setidaknya harapan kepada Partai Politik, sebagai sebuah organisasi yang dapat mempersatukan setiap golongan, agama, suku dan berbagai latar belakang yang ada dalam satu negara. Fungsi ini diharapkan Partai mampu mengintegrasikan seluruh kekuatan nasional serta memupuk identitas nasional. Partai Politik juga diharapkan berfungsi untuk meningkatkan kemiskinan dan keterbelakangan pada negara yang baru berkembang, lebih khusus negara yang baru mendapatkan kemerdekaan, karena di negara berkembang kemiskinan dan pemerataan merupakan persoalan yang urgen dan sangat riskan.18

  1. RELEFANSI FUNGSI REKRUITMEN POLITIK PADA PARTAI POLITIK DENGAN PRODUK LEGISLATIF

Fungsi Partai Politik saat ini mengalami gradasi dan mengalami disfungsi yang sangat akut, sehingga orientasi utama sebuah Partai Politik bukan untuk kepentingan anggota dan masyarakat. Tapi lebih kepada kepentingan elitnya serta kelompok tertentu sehingga citra Partai terkesan jelek dan tidak sedikit yang mengusulkan agar ada mekanisme lain menuju kekuasaan selain melalui Partai, yakni mekanisme calon independen.19 Namun untuk penjaringan anggota legislatif nampaknya masih sulit gagasan calon independen akan terealisasi, karena sistem kepartaian masih dianggap cocok sebagai mekanisme perekrutan anggota legislatif.

Sebelum seseorang didaftarkan sebagai calon anggota legislatif oleh partai politik, calon tersebut perlu diberi perlakuan khusus menurut mekanisme partai, untuk menjadi seorang calon legislatif seseorang seharusnya telah mendapatkan pendidikan politik sehingga ia menjadi seseorang yang melek politik. Salah besar jika rakyat yang sebagai pemilih yang disalahkan jika hasil Pemilu legislatif buruk, terutama kualitas orang yang dipilihnya, yang patut disalahkan adalah partai politik peserta Pemilu-lah karena sebelum seseorang dimasukkan sebagai calon anggota legislatif partai tidak atau jarang sekali melakukan pem-back up-an calon yang diusungnya, hal ini akhirnya berakibat buruknya kinerja lembaga legislatif tersebut. Seandainya calon yang diusung telah terbukti kualitasnya, maka hasilnyapun tentu berkualitas, toh dalam konteks sekarang rakyat dipaksa memilih yang terbaik diantara yang terburuk.

Persoalan mendasar sekarang dalam hal pencalonan lembaga legislatif adalah banyak partai yang lebih memilih calon yang mempunyai popularitas dan dukungan dana yang melimpah, maka tidak heran jika sekarang yang banyak jadi negarawan di Senayan adalah kaum selebritis yang sebenarnya tidak tahu politik, dan kalau boleh dikatakn manusia yang asosial, serta para bisnisman yang tujuan utamanya menjadi pejabat bukan untuk kesejahteraan rakyat, tapi lebih pada melancarkan bisnisnya.

Beberapa kritik tajam yag dilontarkan beberapa kalangan tidak lepas dari buruknya kinerja serta citra legislatif Indonesia saat ini, hal ini tidak lepas dari rasa ketidakpuasan rakyat. Rakyat yang seharusnya dilayani, didengarkan aspirasinya dan mendapatkan perhatian lebih dari DPR tapi malah dijadikan kambing hitam, kadang mereka dengan enaknya berkata “demi konstituen..” untuk memuluskan argumen mereka yang bertujuan oportunis pribadi mereka sendiri.

Geoff Mulgan menggambarkan bahwa para profesional pelayan masyarakat akan lebih cenderung mengubah penyediaan, memaksimalkan anggaran belanja dan meminimalkan tanggung jawab.20 Kenyataan yang digambarkan Mulgan ini benar-benar terjadi saat ini di Indonesia, di mana anggaran belanja negara lebih banyak diserap dalam bidang belanja pegawai dan para anggota DPR secara bersamaan juga mau membangun gedung baru, walaupun belum diperlukan, dan studi banding ke luar negeri saat rakyanya banyak kelaparan dan studi banding itu dilakukan pada masa reses, bukan seharusnya mengunjungi dan menyerao aspirasi konstituennya tapi pergi plesir ke luar negeri.

Perlakuan seperti di atas bisa diminimalisir pada periode politik tertentu jika anggota legislatifnya memiliki kualitas yang tinggi, bukan hanya kualitas intelektual, tapi juga diperlukan tingginya kualitas moral agar para legislator tersebut lebih peka terhadap aspirasi serta kebutuhan rakyat.

DPR RI yang berisi manusia terpilih dari partai masing-masing seharusnya menjadi tolak ukur rakyat Indonesia. Partai politik yang berfungsi sebagai sarana pengatur konflik mestinya tercermin dari para anggotanya di parlemen, tapi sayangnya konflik besar malah lahir dari dalam parlemen itu sendiri. Tidak jarang kita melihat gontok-gontok-an sesama anggota Dewan, padahal mereka dari partai dan partai politik adalah sarana pengatur konflik tapi malah mereka melakukan konflik fisik, bagaimana mungkin partai akan mengatur konflik yang terjadi dalam masyarakat jika anggotanya saja selalu berkonflik.

Etika dalam politik dan pembuatan kebijakan sangatlah penting, bukan hanya kepentingan semata, karena etika yang baik akan melahirkan sebuah kebijakan yang baik pula.

Richard C. Snyder dengan teori pembuatan keputusan membagi faktor yang melatar belakangi pembuatan keputusan, yaitu keadaan intern, keadaan ekstern dan proses pembuatan keputusan.21 Berdasarkan teori dari Snyder ini, pembuatan keputusan didukung oleh tiga faktor utama, yaitu kemampuan, komunikasi-informasi dan motivasi. Kemampuan anggota legislatif Indonesia bisa dikatakan sangat rendah, baik intelektual maupun etikanya.22

Jean Jacques Roesseau mengatakan, dibutuhkan intelegensi yang tinggi untuk untuk menemukan peraturan-peraturan, peraturan itu lahir dari keinginan terbesar manusi. Inteligensi itulah yang nantinya akan mampu menarik para Dewa untuk memberikan hukum terbaik bagi manusia.23 Hukum yang lahir dari orang bodoh, akan bodoh pulalah substansi hukum itu.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal sebagai contoh, dalam pembuatan UU ini jelas faktor eksternal yang paling dominan, karena UU ini sangat sarat kepentingan asing.24 Kepentingan nasional dan kesejahteraan rakyat yang semestinya lebih diperhatikan tapi malah diabaikan, hal ini lebih disebabkan oleh kemampuan menganalisa dan menagkap keinginan rakyat dari anggota legislatif yang rendah, yang lebih parah lagi adalah motivasi mereka adalah memperkaya diri dan meminimalkan tanggung jawab agar UU tersebut cepat selesai serta yang penting mereka telah mendapatkan intensf dari setiap UU yang diselesaikan. Seharusnya UU tersebut dibuat demi kepentingan nasional dan untuk memejukan kesejahteraan rakyat, karena DPR lahir dari kehendak rakyat secara umum (volumte generale).

  1. PENUTUP

Seleksi yang ketat dan melelui mekanisme yang rumit mutlak diperlukan oleh sebuah partai politik dalam menjaring calon legislatif yang akan didaftarkan pada Pemilu. Hal ini akan berimplikasi pada bagusnya hasil Pemilu, yaitu berupa lembaga legislatif yang memang tahu politik dan nantinya akan mengeluarkan produk legislasi yang berkulitas pula.

Idealnya sebelum seorang calon didaftarkan oleh partai, partai perlu mempertimbangkan beberapa kriteria sebagai berikut :

  1. Dalam diri calon tersebut harus mempunyai kepedulian terhadap kehidupan yang lebih baik bagi rakyat Indonesia;

  2. Calon harus mempunyai moralitas dan kejujuran dalam menjalankan amanah rakyat;

  3. Calon tersebut harus mempunyai kemuliaan pribadi dan sosial;

  4. Calon tersebut mempunyai visi yang jauh ke depan;

  5. Calon harus rela berkorban demi bangsa dan negara;

  6. Harus seseorang yang mempunyai nation and social responsibility;

  7. Calon legislatif tersebut harus mempunyai nation pride and dignity sebagai refresentasi masyarakat;

  8. Calon tersebut harus mempunyai kematangan sosial dan mampu bekerja team work;

  9. Calon tersebut mutlak mempunyai kemampuan politik sebagai negarawan, bukan sebagai politisi semata.

Kriteria-kriteria di atas harus benar-benar dimiliki oleh para calon anggota legislatif, diamati dengan seksama oleh partai dan mereka merupakan kader-kader yang telah lama berproses di partai. Ketenaran dan kekuatan ekonomi calon bukanlah jaminan utama kualitas lembaga legislatif, tapi integritas moral, skill, kewiraan dan kematangan adalah syarat yang paling penting.

  1. DAFTAR PUSTAKA

Arba MF., Syarofin, Demitologisasi Politik Indonesia : Mengusung Elitisme dalam Orde Baru, Jakarta : Pustaka Cidesindo, 1998

Arinanto, Satya dan Ninuk Triyanti (ed.), Memahami Hukum : Dari Konstruksi sampai Implementasi, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2009.

Asshiddiqie, Jimly, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta : Buana Ilmu Populer, 2007.

Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, edisi revisi, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, cet. IV, 2010.

Cipto, Bambang Politik dan Pemerintahan Amerika, Yogyakarta : Lingkar Buku, cet. II, 2007.

………………., Prospek dan Tantangan Partai Politik, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996.

Faturohman, Deden dan Wawan Sobari, Pengantar Ilmu Politik, Malang : UMM Press, 2002.

Huntington, Samuel P. dan Joan Nelson, Partisipasi Politik, terj. Sahat Simamora, Jakarta : Rineka Cipta, cet. II, 1994.

Mulgan, Geoff, Politik dalam Sebuah Era Anti Politik, terj. Hartuti Purnaweni, Jakarta : YOI, 1995.

Mustofa (ed.), Memilih Partai Mendambakan Presiden : Belajar Berdemokrasi di Ufuk Milenium, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1999.

Pamungkas, Sigit, Perihal Pemilu, Yogyakarta : Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan dan Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL UGM, 2009.

Mohammad Amien Rais, Agenda Mendesak Bangsa : Selamatkan Indonesia !, Yogyakarta : PPSK Press, 2008.

Rousseau, Jean Jacques, Du Contract Social, alih bahasa Vincent Bero, Jakarta : Visimedia.

Sukmana, Oman, “Mengingatkan Kembali Peran dan Fungsi Partai Politik”. Dalam Jurnal Sosiologi Reflektif. Vol. IV, April 2010.

Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2011 Tentang Partai Politik.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia Rahun 1945.

Varma, SP., Teori Politik Modern, terj. Yohanes Kristiarto dkk., Jakarta : RajaGrafindo Persada, cet. IX, 2010.

Catatan Kaki

1 Kompas, edisi Minggu : 18 Januari 2009.

2 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, edisi revisi, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, cet. IV, 2010, hlm. 322.

3 Pasal 20A ayat (1) UUD tahun 1945.

4 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar….hlm. 327.

5Ibid. Hlm. 397-398.

6 Bambang Cipto, Politik dan Pemerintahan Amerika, Yogyakarta : Lingkar Buku, cet. II, 2007, hlm. 62.

7 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar…hlm. 315.

8 Jean Jacques Rousseau, Du Contract Social, alih bahasa Vincent Bero, Jakarta : Visimedia, 2007, hlm. 25.

9 Sigit Pamungkas, Perihal Pemilu, Yogyakarta : Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan dan Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL UGM, 2009, hlm. 3-5.

10 M. Amien Rais, “Korupsi Politik”, dalam kata pengantar Mustofa (ed.), Memilih Partai Mendambakan Presiden : Belajar Berdemokrasi di Ufuk Milenium, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1999.

11 Bambang Cipto, Prospek dan Tantangan Partai Politik, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996, hlm. 3.

12Ibid. hlm. 2.

13 Oman Sukmana, “Mengingatkan Kembali Peran dan Fungsi Partai Politik”. Dalam Jurnal Sosiologi Reflektif. Vol. IV, April 2010, hlm. 135-137.

14 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar….hlm. 403.

15 Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2011 Tentang Partai Politik.

16 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar…hlm. 405-412.

17 Deden Faturohman dan Wawan Sobari, Pengantar Ilmu Politik, Malang : UMM Press, 2002.

18Miriam Budiardjo, Dasar-dasar….. hlm. 413.

19 Afan Gaffar pada masa menjelang runtuhnya orde baru pernah menyatakan, bahwa rendahnya kualitas DPR sampai DPRD akan berkibat fatal, yaitu semakin lemahnya partisipasi politik masyarakat. Menurut saya hal ini akan berakibat lagi pada tingkat legitimasi pemerintahan, pemerintahan akan akan semakin berkurang legitimasinya jika semakin menurun partisipasi politik masyarakat dalam Pemilu. Afan Gaffar, “Merangsang Partisipasi Politik Rakyat” dalam Syarofin Arba MF., Demitologisasi Politik Indonesia : Mengusung Elitisme dalam Orde Baru, Jakarta : Pustaka Cidesindo, 1998,hlm. 239-254.

20 Geoff Mulgan, Politik dalam Sebuah Era Anti Politik, terj. Hartuti Purnaweni, Jakarta : YOI, 1995, hlm. 204.

21 SP. Varma, Teori Politik Modern, terj. Yohanes Kristiarto dkk., Jakarta : RajaGrafindo Persada, cet. IX, 2010, hlm 393.

22 Buruknya kemampuan DPR dikritik oleh kalangan DPR itu sendiri, Idrus Marham mengatakan dalam desrtasinya bahwa 60% anggota DPR RI periode 2004-2009 adalah rendah. Saya rasa kualitas anggota DPR Pemilu 2004 dibandingkan Pemilu 2009 tidak jauh berbeda.

23 Jean Jacques Rousseau, Du Contract Social…., hlm. 66-67.

24 Pemerintah dalam arti luas, bukan hanya dalam bidang eksekutif tapi juga legislatif, menurut Prof. Moh. Amien Rais merupakan bagian korpotokrasi besar yang mengekploitasi alam Indonesia yang selanjutnya dibawa ke luar negeri dan tidak ada sama sekali kepentingan rakyat dalam kebijakan pemerintah tersebut, semuanya berorientasi pada kepentingan asing. Mohammad Amien Rais, Agenda Mendesak Bangsa : Selamatkan Indonesia !, Yogyakarta : PPSK Press, 2008, hlm. 89-93.

Citra Anggota Legislatif dan Produk Hukum

  1. PENDAHULUAN

Manusia diciptakan sebagai khalifah atau pemimpin di bumi, tugas ini memberikan konsekwensi logis bahwa manusia adalah agent Tuhan di atas bumi. Sebagai khalifah manusia diberikan akal dan logika untuk menjalankan kehidupannya di dunia ini, ketertiban dan kenyamanan sangatlah diperlukan oleh manusia dalam menjalankan kehidupan karena hasil yang maksimal akan tercapai dalam mengelola bumi yang dititipkan bila kehidupan manusia berjalan dengan tertib, aman dan aman.

Ketertiban manusia dan interaksinya sebagai makhluk sosial memerlukan sebuah instrumen khusus untuk mengaturnya, di sinilah letak fungsi hukum yang sesungguhnya, yaitu untuk mengatur interaksi sesama manusia demi terciptanya suatu ketertiban yang berimplikasi pada meningkatnya in-come manusia sebagai makhluk produsen dan lancarnya tugas manusia dalam mengatur dan mengelola bumi, karena fungsi sebagai khalifah atau pemimpin maka melekatlah fungsi sebagai pengelola dan pengatur.

Pembangunan nasional Indonesia yang sedang berlangsung dan perlu suatu kesinambungan yang saat ini sedang berjalan bertujuan untuk mencapai cita-cita bangsa, oleh karena itu diperlukan sumber daya manusia yang berkemampuan dan berkualitas untuk menyelenggarakan pembangunan. Demi cita-cita nasional untuk mencapai kesejahteraan, adil dan makmur serta menciptakan masyarakat Indonesia yang madani.

Gerakan pembangunan yang sudah lama terlaksana, pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan dalam upaya mentransformasikan manusia-manusia Indonesia yag berada dalam suatu kondisi yang masih terbelakang, menuju pada kondisi yang lebih maju dan beradab, baik secara individu maupun dalam konteks kelompok.

Salah satu prioritas dalam pembangunan, yaitu diperlukan Sumber Daya Manusia yang berkualitas, guna mencapai SDM tersebut, diperlukan pengembangan dan perubahan paradigma bahwa pembangunan akan berhasil apabila ditunjang dengan SDM yang mengerti dan patuh pada hukum. Hukum adalah sebagai suatu pijakan yang mendasar dalam menjalankan suatu kegiatan.1

Sumber daya manusia adalah kekuatan daya pikir dan karya manusia yang masih terpendam dan tersimpan dirinya. Agar potensi yang ada pada diri manusia dapat berkualitas maka perlu digali dan dikembangkan untuk dimanfaatkan demi kepentingan kesejahteraan manusia. Faktor yang menentukan kualitas sumber daya manusia dalam bidang hukum adalah faktor kualitas individu, kualitas perundang-undangan dan kondisi lingkungan seperti sosial, ekonomi, politik dan budaya hukum masyarakat.2 Kualitas sumber daya manusia bidang hukum inilah yang paling banyak disorot dan menjadi permasalahan nasional saat ini, persoalan korupsi, money laundry, mafia peradilan, joki penjara dan sebagainya merupakan virus akut yang menyita waktu, tenaga dan materi seluruh elemen bangsa.

Melihat fenomena yang ada sekarang ini, terlepas dari keadaan manusia hukum serta jenis kejahatannya seperti di atas, dengan memperhatikan kualitas para wakil rakyat yang duduk di DPR, DPD dan DPRD boleh dikatakan sangat memprihatinkan, apabila kita perhatikan dengan seksama mereka hanya memiliki modal popularitas tanpa memiliki kecakapan dan kemampuan yang cukup sebagai negarawan. Idrus Marham mengatakan bahwa 60% anggota DPR berkualitas rendah.3

Belum lagi kalau kita melihat di media, baik elektronik maupun cetak, sering sekali kita mendengar persoalan-persoalan anggota parlemen Indonesia yang mencoreng nama baik mereka sendiri sebagai negarawan. Kasus terbaru adalah perbuatan asusila yang dilakukan Arifinto dari Fraksi PKS yang menonton film porno pada saat sidang di DPR, hal ini sungguh memalukan karena legislator sebagai wakil rakyat selayaknya memberikan contoh dan teladan yang baik kepada rakyatnya, dan lebih penting lagi seharusnya dia memperjuangkan dan menyampaikan aspirasi rakyat pada setiap sidang parlemen, malah melakukan tindakan yang tidak perlu dan melanggar etika. Kasus amoral lainnya adalah yang dilakukan oleh politisi Partai Golkar Yahya Zaini bersama artis Maria Eva, yaitu merekam video mesum layaknya bintang film porno profesional. Perilaku ini hanya yang terlihat dan terpublikasi, kalau bpleh berandai-andai, mungkin lebih banyak lagi kekurangan-kekurangan para anggota parlemen kita yang tidak diketahui oleh masyarakat.

Berdasarkan fenomena anggota legislatif Indonesia di atas, bagaimana mungkin negara ini akan mempunyai sebuah sistem hukum yang kuat dan peraturan perundang-undangan yang dihasilkan akan bagus kualitasnya jika anggota parlemennya berkualitas rendah dan rendah etikanya. Padahal dalam UUD 1945 sudah jelas bahwa tugas DPR sebagai lembaga legislatif adalah pembuat Undang-undang bersama dengan Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif.4

Kelemahan dan kekurangan anggota parlemen Indonesia sangatlah banyak jika kita sebutkan satu persatu, tidak cukup dalam satu tulisan untuk menerangkan kelemahannya, di sini penulis akan mencoba untuk membahas dan sedikit menganalisis tentang mengembalikan citra hukum Indonesia dilihat dari peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh para anggota DPR di Indonesia.

  1. TUJUAN HUKUM

Kedaulatan rakyat bisa berbentuk secara langsung maupun tidak langsung. Pada zaman Yunani kuno demokrasi atau kedaulatan rakyat masih dipratekkan secara langsung, mengingat pada waktu itu batas wilayah dan jumlah penduduk masih dalam batas yang masih sederhana. Pada era modern, dengan segala kompleksitasnya, demokrasi langsung tidaklah mungkin atau sulit sekali untuk diterapkan, maka diperlukan mekanisme yang tidak langsung, yaitu dengan mekanisme perwakilan kedaulatan rakyat di parlemen.

Parlemen merupakan bentuk manifestasi ataupun refresentasi rakyat, refresentasi ini bisa dijelaskan karena pada pelaksanaan pemilu rakyat memilih para calon anggota parlemen yang dia inginkan sebagai wakilnya untuk duduk di parlemen. Parlemen sebagai bentuk refresentasi rakyat digambarkan oleh Rouseau sebagai bentuk kontrak sosial antara individu-individu yang menghasilkan volumte generale dan dalam pelembagaan parlemen individu-individu tersebut mendelegasikan suaranya kepada orang yang mereka percayai. Selanjutnya Rousseau menyebutkan, masing-masing dari kita menaruh diri dan seluruh kekuatan di bawah pemerintahan tertinggi dari kehendak umum.5

Mengenai kedaulatan rakyat yang ada dalam negara dia menegaskan bahwa negara merupakan gabungan dari seluruh individu pada suatu wilayah untuk berkontrak secara sosial untuk membentuk negara.

Partai atau kelompok ini kemudian menjadi semacam pribadi publik dibentuk oleh persatuan pribadi yang pada mulanya bernama kota….pasifnya persatuan ini dinamakan Negara, aktif dinamakan pemerintahan dan dalam perbandingan dengan kekuatan lain yang sama dinamakan kekuasaan”.6

Dari paparan yang dikemukakan oleh Rousseau di atas, jelaslah kiranya bahwa esensi pemerintahan, khususnya dalam pembahasan ini lembaga legislatif, merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat yang tercipta melalui mekanisme Pemilu dan merupakan bentuk dari perwakilan yang tidak secara langsung.

Bukan hanya Rousseau yang berpendapat bahwa kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat dan kewenangannya dijalankan oleh suatu lembaga, dalam kaitan ini Montesquieu juga berpendapat bahwa suatu negara yang republik demokratis kekuasan tertinggi dijalankan oleh suatu badan.7 Selanjutnya Montesquieu mengatakan bahwa syarat legitimasi suatu kekuasaan adalah dengan dipilihnya wakil-wakil rakyat yang bertugas untuk menjalankan pemerintahan, baik sebagai pembuat maupun pelaksana Undang-undang,8 dalam konteks ini rakyat pada satu sisi adalah pemegang kedaulatan, namun di sisi yang lain rakyat merupakan yang diperintah.

Legitimasi pemerintahan ada karena dipilih oleh rakyat, dalam hal ini Montesquieu menegaskan bahwa perlunya suatu badan yang menjadi refresentasi rakyat dan badan tersebut berhak memberikan perintah kepada rakyat yang memilihnya, karena badan tersebut sudah terlegitimasi melalui mekanisme pemilihan itu.

Suatu negara yang bebas setiap orang dipandang sebagai pihak yang bebas dan harus menjadi pengatur bagi dirinya sendiri, tetapi hal ini hampir mustahil bagi negara yang besar dan dalam negara yang kecil selalu menemui hambatan, maka dipandang tepat apabila rakyat melimpahkannya melalui wakil-wakil mereka apa yang tidak bisa mereka lakukan sendiri. Para penduduk sebuah wilayah lebih mengenal kebutuhan dan kepentingan mereka dibandingkan dengan penduduk wilayah lain, sehingga para anggota badan legislatif dipilih dari wilayah itu sendiri. Kelebihan dengan adanya perwakilan dengan demikian mereka lebih bisa mendiskusikan berbagai urusan, karena masalah ini tidak mugkin dilakukan oleh rakyat secara bersama, yang merupakan hambatan terbesar dalam demokrasi.9

Hukum adalah Ratu para dewa dan manusia, pendapat ini dikemukakan oleh Plutarch dalam risalah yang berjudul “Bahwa seorang penguasa harus seorang yang terdidik”.10 Montesquieu menjelaskan bahwa secara umum hukum adalah hubungan pasti yang berasal dari sifat dasar segala sesuatu,11 hukum merupakan hasil dari kompleksitas berbagai faktor empiris dalam kehidupan manusia.12

Secara umum hukum mempunyai tujuan untuk mengatur pergaulan hidup secara damai.13 Pikiran itu diucapkan dalam salah satu prolog dari hukum rakyat Franka Salis lex salica yang diucapkan kira-kira 500 tahun sebelum Masehi, tujuan ini sangat berpengaruh terhadap hukum dan kehidupan bangsa Germania selanjutnya. Apeldoorn menjelaskan bahwa perdamaian manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan manusia, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda dan sebagainya terhadap yang merugikannya.14

Kepentingan individu dan kepentingan kelompok selalu bertentangan satu sama lain, pertentangan kepentingan ini akan menyebabkan pertikaian dan hukumlah yang bertindak sebagai instrimen perdamaian. Hukum bertindak sebagai pendamai dengan cara mempertimbangan dengan teliti pertentangan itu dan membuat keseimbangan, maka keadilan akan tercapai di mana adanya keseimbangan antara kepentingan-kepentingan tersebut. Teori tujuan hukum ini dinamakan juga dengan teori etis, yaitu hukum hukum bertujuan untuk mewujudkan keadilan.

Lawrence M. Friedman menjabarkan bahwa tujuan umum dari hukum adalah mendistribusikan dan menjaga alokasi nilai-nilai yang benar menurut masyarakat, nilai-nilai yang benar inilah yang disebut keadilan.15 Hukum berfungsi untuk menjamin distribusi keadilan dengan benar dan tepat di antara individu dan kelompok, begitu juga penerapannya, hukum harus menerapkan peraturan yang benar dan tepat. Tujuan hukum yang dirumuskan Friedman ini juga penganut teori tujuan hukum etis, selanjutnya ia menjelaskan lagi beberapa fungsi pokok hukum atau dalam bahasa Friedman sendiri disebut fungsi sistem hukum.

Friedman juga memaparkan bahwa hukum juga merupakan sebagai abstraksi kehendak dari masyarakat, khususnya kelompok, kelas ataupun starata tertentu. Hukum juga berfungsi untuk menyelesaikan sengketa, fungsi ini digunakan karena hukum merupakan instrumen terakhir dari masyarakat untuk menyelesaikan dan menyudahi sengketa atau pertikaian yang terjadi. Fungsi pokok hukum lainnya adalah sebagai kontrol terhadap perilaku masyarakat, hukum dibuat untuk memberikan atau menunjukkan mana jalan yang baik dan mana jalan yang buruk dan tidak boleh dilakukan. Selanjutnya hukum juga berfungsi sebagai pencipta norma-norma itu sendiri, yaitu bahan-bahan mentah bagi kontrol sosial.16

Tujuan utama hukum Indonesia adalah untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.17

Menurut UUD 1945 Undang-undang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat atau dibuat secara bersama oleh DPR dan Presiden. Jadi, kekuasaan pembuat Undag-undang ada di tangan DPR dan Presiden. Undang-undang atau peraturan apapun sejenisnya, menurut Apeldoorn adalah hukum formil.18 Undang-undang merupakan salah satu pilar penting dalam penegakan hukum, di samping penegak hukum, sarana prasarana, masyakarakat dan budaya hukum itu sendiri.19

  1. CITRA HUKUM DILIHAT DARI BEBERAPA UNDANG-UNDANG

Berdasarkan teori kedaulatan rakyat, parlemen merupakan refresentasi dari seluruh rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat sebagai wakil rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah mewakili esensi teritorial. Maka parlemen adalah cerminan seluruh negara, karena di dalamnya sudah ada orang-orang yang dipilih secara sadar oleh rakyat dalam Pemilu. Parlemen di Indonesia mempunyai beberapa fungsi kenegaraan, namun yang paling penting adalah fungsinya sebagai pembuat Undang-undang, fungsi ini tidak lepas dari gagasan bahwa rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam pembentukan peraturan dan rakyatlah yang menentukan nasipnya suatu negara atau pemerintahan. Berdasarkan ini maka parlemenlah yang mempunyai kewenangan dalam membuat Undang-undang, karena undang-undang yang disahkan merupakan hukum yang berlaku bagi masyarakat dan yang akan mengatur masyarakat itu sendiri.

Fungsi legislasi parlemen kadang disalah gunakan, baik karena kepentingan kelompok anggota parlemen itu sendiri maupun karena kurangnya pengetahuan anggota parlemen dalam ilmu hukum. Contoh paling jelas adalah pasal 28A – 28J Bab XA UUD 1945 yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia, di mana pasal tersebut mutlak diturunkan dari Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM. Bagaimaa mungkin sebuah pasal dalam konstitusi diturunkan dari sebuah Undang-undang, padahal konstitusi mengatur tentang grand norma setiap peraturan perundang-undangan negara tapi malah Undang-undang yang dimasukkan ke konstitusi, seharusnya Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tersebut yang harus sesuai dengan konstitusi.

Ketidaktahuan para legislator mengenai hukum berakibat pada kejadian buruk di atas, kejadian itu bukan saja mencederai konstitusi tapi juga melanggar asas lex superior derogat lex inferior. Karena dalam setiap pembuatan peraturan harus berdasarkan peraruran yang lebih tinggi, dalam hal ini UUD 1945 seharusnya menjadi dasar pembentukan undang-undang, bukan sebaliknya.

Undang-undang merupakan faktor yang paling utama dalam penegakan hukum, dalam undang-undanglah diletakkan sendi dan norma untuk mengatur masyarakat.20 Indonesia yang masih terpengaruh rechstaat sangat menggantungkan penegakan hukumnya pada kualitas Undang-undang, jika kualitas Undang-undang yang dihasilkan jelek maka akan sulit untuk pencapaian maksimal penegakan hukum di Indonesia, Menjadi masalah selanjutnya adalah ketika pembuat Undang-undang itu sendiri kualitasnya jelek, hal ini berimplikasi pada melemahnya kualitas Undang-undang yang dihasilkan.

Rendahnya kulitas ini sudah dimulai sejak pencalonan seseorang sebagai anggota legislatif, di mana syaratnya hanya lulus SLTA sederajat. Kualitas lulusan SLTA tentunya tidaklah sama dengan perguruan tinggi, di mana pada bangku SLTA belum diajarkan tentang menemukan sesuatu, hanya diajarkan apa yang tercantum dalam buku, di samping itu kekuatan analisis masih lemah dan cenderung berpandangan sempit. Lulusan perguruan tinggi saja kadang kala masih doktriner sifatnya, belum menuju pada hal yang bersifat progresif.

Kembali pada tujuan hukum Indonesia yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945, rasanya miris melihat beberapa produk hukum yang dihasilkan. Hampir tidak ada UU sekarang yang bertujuan untuk mencapai perlindungan kepentingan nasional dan mencapai kesejahteraan umum, bahkan beberapa UU cenderung mengarah pada penjualan aset-aset nasional yang tentuya memberikan keuntungan pada sekelompok investor dan hal ini berakibat sulitnya mencapai keadilan sosial bagi rakyat Indonesia.

Salah satu yang menjadi trade record pemerintahan sekarang adalah disahkannya Undang-undang tentang Badan Hukum Pendidikan, dalam UU tersebut dijelaskan bahwa adanya pembatasan subsidi dari pemerintah kepada perguruan tinggi, hal ini mengakibatkan komersialisasi pendidikan yang mempunyai dampak semakin mahalnya biaya pendidikan dan hanya orang-orang kaya saja yang dapat mengenyam pendidika yang lebih baik, standart dasar bagi seorang pemuda untuk kuliah bukan pada kualitas intelektualnya tapi pada kesanggupannya secara ekonomi. Contoh paling nyata akibat dari pemberlakuan UU BHP adalah Kampus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang meberlakukan tarif parkir untuk masuk kampus, kampus atau tempat wisata? Selain itu ditemukan bahwa sebagian besar mahasiswa Fakultas Kedokteran UGM adalah warga Malaysia, karena warga Indonesia yang sebagian besar miskin tidak sanggup membayar.

Kita tidak usah berfikir Indonesia akan ikut dalam forum perdamaian dunia, hukum yang seharusnya mengurusi rakyat dan harusnya berorientasi pada kesejahteran sosial rakyat Indonesia saja sudah tidak sesuai dengan filsafat hukum Pancasila apalagi mau melibatkan diri dalam urusan perdamian dunia.

  1. PENUTUP

Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pemegang amanat seharusnya berbuat dan bertindak sesuai dengan aspirasi dan kehendak rakyat, bukan pertimbangan partai atau kapitalisme global. Para wakil rakyat tersebut dipilih untuk mewujudkan kedaulatan rakyat yang tidak mungkin dilakukan oleh rakyat yang berjumlah banyak, maka sudah selayaknyalah mereka melakukan yang terbaik untuk rakyat yang memilihnya.

Setiap Undang-undang yang dihasilkan tidak boleh keluar dari norma dasar masyarakat Indonesia yang tercantum dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945, karena hal itu merupakan cita-cita dan tujuan bersama seluruh elemen bangsa dalam mencapai masyarkata yang berkeadilan dan sejahtera. Jangan keadilan hanya untuk para penguasa dan kesejahteraan untuk pengusaha, bagaimanapun juga keadilan dalam kesejahteraan dan sejahtera yang berkeadilan harus menjadi tujuan utama.

Politik kekuasaan atau the strugle of power tidaklah seharusnya menjadi sebuah tujuan utama dari para politisi, tujuan utama meraka seharusnya adalah melayani kepentingan rakyat dan melakukan yang terbaik demi kemajuan negara da kemakmuran rakyat.

Citra legislator yang buruk dan tidak kredibel harus diperbaiki secepatnya, karena hal ini akan membuat semakin menurunnya kepercayaan publik terhadap hukum di negeri ini. Cara pertama adalah dengan jalan meninggikan standart calon anggota legislatif dalam pemilu. Kedua, partai politik dalam menjaring kadernya harus sesuai dengan asas-asas good governance. Ketiga, perlunya memberikan pemahaman yang konkrit dan koheren tentang falsafah hidup Pancasila terhadap setiap anggota legislatif, tentunya di samping pengetahuan perundang-undangan.

  1. DAFTAR PUSTAKA

Apeldoorn, L. J. Van, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Pradnya Paramita, cet. Ke-29, 2001.

Friedman, Lawrence M., The Legal System : a Social Science Perspektive, terj. M. Khoizin, Bandung : Nusamedia, cet. III, 2009.

Losco, Joseph dan Leonar Williams , Political Theory (Kajian Klasik dan Kontemporer) : Pemikiran Machiavelli – Rawls, Volume II, alih bahasa Aris Munandar, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005.

Manan, Abdul, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Jakarta : Kencana Prenada Media, cet. III, 2009.

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, Yogyakarta : Liberty, cet. II, 1979.

Montesquieu, The Spirit of Law, alih bahasa oleh M. Khoirul Anam, Bandung : Nusa Media, 2007.

Pranadji, Tri, “Partai Politik dan Kualitas Lembaga Legislatif” dalam Satya Arinanto dan Ninuk Triyanti (ed.), Memahami Hukum : Dari Konstruksi sampai Implementasi, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2009.

Rousseau, Jean Jacques, Du Contract Social, alih bahasa Vincent Bero, Jakarta : Visimedia, 2007.

Santiago, Faisal, “Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Rangka Pembangunan Hukum” dalam Satya Arinanto dan Ninuk Triyanti (ed.), Memahami Hukum : Dari Konstruksi sampai Implementasi, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2009.

Soekamto, Soerjono, Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta : RajaGrafindo, 2010.

Tanya, Bernard L., dkk., Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta : Genta Publishing, cet. III, 2010.

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

 Catatan kaki

1 Faisal Santiago, “Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Rangka Pembangunan Hukum” dalam Satya Arinanto dan Ninuk Triyanti (ed.), Memahami Hukum : Dari Konstruksi sampai Implementasi, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2009, hlm. 54.

2 Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Jakarta : Kencana Prenada Media, cet. III, 2009, hlm. 146.

3Dikutip oleh : Tri Pranadji, “Partai Politik dan Kualitas Lembaga Legislatif” dalam Satya Arinanto dan Ninuk Triyanti (ed.), Memahami Hukum : Dari Konstruksi sampai Implementasi, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2009, hlm. 480.

4 Pasal 20 ayat 2 UUD 1945 dan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

5 Jean Jacques Rousseau, Du Contract Social, alih bahasa Vincent Bero, Jakarta : Visimedia, 2007, hlm. 25. Lihat juga Joseph Losco dan Leonar Williams , Political Theory (Kajian Klasik dan Kontemporer) : Pemikiran Machiavelli – Rawls, Volume II, alih bahasa Aris Munandar, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005, hlm. 221-315.

6 Ibid .

7 Montesquieu, The Spirit of Law, alih bahasa oleh M. Khoirul Anam, Bandung : Nusa Media, 2007, hlm. 98.

8 Ibid.

9Ibid. Hlm. 194.

10 Seperti dikutip oleh Montesquieu pada catatan kaki dalam bukunya The Spirit of Law tentang hukum secara Umum. Ibid., hlm. 94.

11 Ibid., Hlm. 88.

12 Bernard L. Tanya dkk., Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta : Genta Publishing, cet. III, 2010, hlm. 81.

13 L. J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Pradnya Paramita, cet. Ke-29, 2001, hlm. 10.

14 Ibid. Hlm. 11.

15 Lawrence M. Friedman, The Legal System : a Social Science Perspektive, terj. M. Khizin, Bandung : Nusamedia, cet. III, 2009, hlm. 19.

16 Ibid., hlm. 20-21.

17 Sudikmo Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, Yogyakarta : Liberty, cet. II, 1979, hlm. 75.

18Pasal 20 ayat 1 dan 2 UUD 1945. Lihat : L. J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum…hlm. 80.

19 Soerjono Soekamto, Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta : RajaGrafindo, 2010, hlm. 11.

20 Ibid.

Apakah Zina Muhsan Hukumannya Rajam?

  1. PENDAHULUAN

Pemberian hukuman balasan yang setimpal atas perbuatan, yang tentunya juga dengan hukuman pengganti, merupakan bentuk penghargaan yang tinggi terhadap jiwa dan martabat manusia dan juga sebagai pengejewantahan nilai-nilai keadilan dan kemaslahatan bagi umat manusia demi terciptanya suatu ketertiban.

Memang menjadi sebuah dilema yang besar ketika suatu sistem hukum tertentu akan direalisasikan pada suatu masyarakat, letak dilema tersebut ada pada penerapannya saat hukum yang akan ditetapkan bertentangan dengan norma masyarakat secara umum, begitupun dalam penerapan hukum Islam di Indonesia, khususnya hukum Pidana. Di satu sisi hukum pidana Islam sudah ditetapkan dengan baku dalam Al-Quran dan Hadits dan hanya bisa ditafsirkan tanpa menghilangkan substansi hukumnya, di sisi yang lain harus melihat dinamika yang berkembang dalam masyarakat.

Hukum pidana Islam ada karena adanya hubungan interkoneksitas antara hukum pokok (al-ahkam al-asliyyah) yang berupa larangan-larangan dan hukum pendukungnya (al-ahkam al-muayyidah), yaitu hukum yang mengatur sanksi bagi yang melanggar larangan tersebut.

Hukum pidana Islam secara umum mempunyai tujuan untuk menegakkan keadilan berdasarkan kemauan Sang Pencipta manusia sehingga terwujud ketertiban dan ketentraman masyarakat.1 Hukuman yang ditegakkan dalam Syari’at Islam mempunyai dua aspek, yaitu preventif (pencegahan) dan represif (pendidikan) yang mempunyai suatu maksud tunggal untuk menciptakan ketertiban yang menghasilkan kemaslahatan dalam masyarakat. Secara khusus hukum pidana Islam mepunyai sanksi yang bertujuan untuk2 :

  1. Pembalasan, seseorang yang telah menyebabkan kerusakan dan malapetaka pada orang lain atau masyarakat wajib mendapatkan balasan seperti yang dia lakukan;

  2. Penghapusan dosa, karena telah mendapatkan balasan maka dia terhapuskan dosanya

  3. Menjerakan

  4. Memperbaiki pelaku kejahatan agar bisa berubah menjadi manusia yang tidak melakukan kejahatan lagi.

Hukum pidana Islam diterapkan berfungsi untuk melindungi agama, jiwa, akal, harga diri dan harta umat Islam.3 Perlindungan terhadap keturunan diatur dengan pernikahan, maka setiap perbuatan seksual di luar nikah dianggap melakukan zina dan harus dihukum karena zina merupakan penodaan terhadap keturunan manusia.

Menurut Imam al-Mawardi ada 2 ketentuan yang mengatur tentang hukuman bagi manusia yang melanggar larangan-larangan,4 yaitu :

  1. Hukum atas pelanggaran terhadap larangan-larangan yang berhubungan dengan hak-hak Allah, yaitu perzinaan, minum-minuman keras, pencurian dan perang terhadap yang memerangi Islam.

  2. Hukum atas terhadap larangan-larangan yang berhubungan terhadpa hak-hak manusia, yaitu hukum yang berkaitan dengan menuduh zina (Qadzaf) dan menuduh melakukan kriminal.

Mengenai hukuman bagi pelaku zina diatur dalam al-Quran surah An-Nur ayat (2) dan beberapa hadits Rasulullah. Surat An-Nur memerintahkan pelaku zina dihukum dera dan hadits Rasulullah memerintahkan pelaku zina untuk dirajam, atau dilempar dengan batu hingga meninggal dunia. Persoalan jenis hukuman yang dijatuhkan pada pelaku zina inilah yang masih menjadi pertentangan para ulama, ada yang menganggap pelaku zina dihukum rajam dan sebagian yang lainnya dihukum dera saja.

Perdebatan ini berlangsung sejak masa para fuqaha hingga sekarang, mayoritas ulama Ahlussunnah wal jamaa’ah dan sebagian mu’tazilah berpendapat bahwa pezina muhsan dihukum dengan rajam dan pezina ghairu muhsan dihukum seratus kali dera yang disertai dengan pengasingan selama satu tahun, sedangkan ulama syi’ah, khawarij dan sebagian dari mu’tazilah berpendapat bahwa zina hanya dihukum dengan 100 kali dera.5

  1. DEFINISI ZINA DAN HUKUMANNYA.

Secara etimologi zina adalah persetubuhan yang diharamkan, sedangkan secara maknawiyah zina adalah hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan tanpa ikatan perkawinan dan tanpa unsur syubhat.6 Melakukan hubungan seks dengan mayat atau mensetubuhi istri yang lagi haid tidak dihukum walaupun perbuatan tersebut dilarang agama, hukuman zina hanya diberlakukan seperti yang didefenisikan.

Perbuatan zina dilarang karena zina dalam pandangan Islam merupakan perbuatan tercela yang dapat menurunkan derajat dan martabat manusia, apabila manusia berzina maka ia telah menurunkan martabatnya dan tidak ada jaminan tentang kemurnian keturunannya. Di samping itu, larangan zina diberlakukan karena Allah telah memberikan jalan yang baik berupa pernikahan dalam menyalurkan hasrat biologis manusia, bentuk penafsiran bahwa menikah itu wajib dalam keadaan tertentu bertujuan untuk menghindari terjadinya zina. Pelaku zina akan kehilangan kehormatannya, rasa malu, agamanya dan di mata masyarakat dia sudah jatuh dan tidak berharga lagi, perbuatan zina adalah salah satu yang paling menjatuhkan iman. Sabda Rasulullah :

Tidaklah berzina seorang pezina kalau pada waktu berzina itu ia dalam keadaan beriman”.7

Larangan perbuatan zina dituangkan Allah dalam Firman-Nya pada surat An-Nuur ayat (2) :

                           

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”

Berdasarkan ayat di atas hukuman pagi pezina secara had adalah seratus kali dera, sedangkan hukuman rajam didasarkan pada hadits Rasulullah yang artinya :

Terimalah dariku! Terimalah dariku! sungguh Allah telah memberi jalan kepada mereka. Bujangan yang berzina dengan gadis dijilid seratus kali dan diasingkan selama satu tahun. Dan orang yang telah kawin yang berzina didera seratus kali dan dirajam.8

Perbuatan zina bisa dihukum sesuai syariat bila telah memenuhi unsur-unsur baligh (dewasa), berakal, merdeka dan sudah pernah menikah bagi pezina muhsan atau belum menikah bagi pezina ghairu muhsan. Menjadi persoalan lagi di kalangan ulama tentang syarat merdeka, karena syarat ini sangat diskriminatif dan bertentangan dengan ayat Al-Quran yang berbunyi “Manusia itu sama di mata Allah sedangkan yang membedakan adalah iman dan taqwanya”. Maka menurut penulis syarat merdeka sudah tidak relevan lagi dan bertolak belakang dengan nilai rahmatil ‘alamin Islam yang universal. Pertanggungjawaban pelaku zina juga harus memenuhi syarat moril yaitu adanya unsur kesengajaan dalam melakukan zina, maka pemerkosaan tidaklah dikenakan sanksi karena korban perkosaan melakukan hubungan seksual di bawah tekanan dan paksaan pelaku.9

Sanksi bagi pelaku zina adalah had, karena jenis kejahatan dan hukumannya ditentukan langsung oleh Allah, maka sanksi bagi pelaku zina merupakan bentuk justifikasi syariah demi kemaslahatan orang banyak.10 Sanksi zina diberlakukan berdasarkan Al-Quran surat An-Nuur ayat 2 adalah didera sebanyak seratus kali tanpa melihat dia pelaku zina muhsan atau zina ghairu muhsan. Dera dilakukan dengan cambuk yang kering, ekor cambuk tersebut tidak boleh lebih dari satu, dan apabila ekor cambuk lebih dari satu maka satu kali pukulan bisa diartikan sebanyak ekor cambuk tersebut. Dalam penderaan tersebut laki-laki harus dibuka bajunya kecuali bagian aurat saja, hal ini sesuai pendapat Imam Malik dan Imam Abu Hanifah sedangkan menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad boleh memakai pakaian saat dicambuk.11

Tentunya hukuman tersebut harus dilakukan di depan khalayak ramai, hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat An-Nuur ayat 2 ”Hendaklah pelaksanaan hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”. Hal ini di samping memberikan efek jera bagi pelaku juga bisa dijadikan sebagai pembelajaran bagi masyarakat yang lainnya agar tidak melakukan zina.

Hukuman rajam berdasarkan pada hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang memerintahkan bahwa seorang pezina yang telah berkeluarga dihukum dengan hukuman rajam, yaitu melempari pelaku zina dengan batu atau semacamnya sampai mati.12 Menurut Prof. Teuku Mohammad Hasbie Ash-Shiddieqie hukuman rajam sama saja seperti hukuman mati karena tujuan akhirnya adalah menghilangkan nyawa terpidana.13 Hukuman ini juga harus disaksikan oleh orang banyak dan yang melemparinya adalah masyarakat itu sendiri.

Perbedaan jenis hukuman inilah yang menjadi perdebatan sengit dikalangan ahli fiqh, ijma’ ulama menetapkan bahwa pezina muhsan dihukum dengan rajam dan pelaku ghairu muhsan dihukum dera seratus kali yang disertai dengan hukuman tambahan berupa pengasingan selama satu tahun. Sedangkan kalangan Hanafiah, Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah dan beberapa ulama kontemporer, di Indonesia ada Teuku Mohammad Hasbi Ash-Shiddieqie berpendapat bahwa tidak ada rajam bagi pelaku zina, baik muhsan maupun ghairu muhsan tapi, hanya didera seratus kali dan diasingkan selama satu tahun. Kedua pendapat ini mempunyai argumen masing-masing, baik argumen naqli maupun aqli.

Bagi golongan yang menetapkan rajam sebagai hukum zina berpendapat bahwa zina merupakan perbuatan yang sangat tercela, hukumannya adalah yang paling berat. Pemberian hukuman yang berat agar terjadi efek jera dalam masyarakat agar tidak ada lagi masyarakat yang melakukan zina, pezina muhsan harus dikenai sanksi rajam diperkuat dengan alasan14 :

  1. Hukuman ini telah ditetapkan oleh Rasulullah dan dipratekkan oleh beliau sendiri, yaitu ketika ada yang mengaku berzina Rasul menyuruh orang tersebut untuk dirajam;

  2. Orang yang telah menikah seharusnya lebih bisa menjaga dirinya, karena telah Allah karunia jalan yang halal untuk melakukan hubungan biologis, maka wajar bila pezina muhsan dihukum berat karena mengingkari nikmat Allah;

  3. Hukum rajam bagi pezina muhsan dikarenakan dia telah mencoreng harkat dan martabatnya sendiri serta kehormatan keluarga.

Kalangan yang berpendapat bahwa hukuman bagi pezina cukup didera bukan dirajam karena alasan:

  1. Rajam adalah hukuman yang paling berat, seharusnya diatur langsung oleh Allah dalam Al-Quran, tetapi Allah hanya mengatur dera sebagai hukuman bagi pezina dalam Al-Quran dan hadits Rasul yang memerintahkan rajam merupakan ta’zir beliau sebagai pemimpin yang mengadili perkara dalam masyarakat;

  2. Tidak mungkin membagi dua hukuman rajam bagi budak, karena hukuman mati tidak bisa dibagi dua dan rajam sama seperti hukuman mati,15 di samping itu hukuman mati juga tidak bisa dilipat gandakan bagi keluarga Nabi;

  3. Hadits pemberlakuan rajam dikeluarkan oleh Rasul sebelum Surat An-Nuur ayat 2 turun, lagi pula pemberlakuan rajam dilakukan terhadap warga Yahudi berdasarkan kitab Taurat. Di samping itu, Hadits tidak bisa menasakh Al-Quran dan berlaku juga asas hukum terakhir keluar adalah hukum yang berlaku bagi masyarakat,16 maka yang berlaku adalah dera berdasarkan Al-Quran surah An-Nuur ayat 2.

  4. Hukuman dera bersifat umum, maka melakukan pentakhsisan ayat Al-Quran dengan khabar ahad dipandang tidak cukup kuat.17

Ada jalan tengah yang harus dipilih di antara dua pendapat tersebut, yaitu memperhatikan suatu kemaslahatan masyarakat yang akan diterapkan hukum tersebut, di samping itu perlu dilihat efek jera dari penerapan sanksi tersebut.18 Jika kondisi moral masyarakat lebih cocok pemberlakuan dera bagi pelaku zina dan efeknya cukup kuat untuk menghentikan, atau mengurangi perbuatan zina, dera sudah cukup, bukankah huku ada untuk kemaslahatan umum. Namun di samping itu, rajam merupakan alternatif terakhir bagi pelaku zina, jika hukum dera belum bisa memberikan dampak yang signifikan maka rajam bisa diterapkan dan rajam bisa diberlakukan bagi pezina yang berulang kali melakukannya. Melihat kondisi masyarakat sekarang, bentuk hukuan lainpun bisa diterapkan, asalkan hukuman itu mampu memberikan efek jera bagi pelaku dan mendidik masyarakat untuk tidak melakukan perbuatan jahat tersebut.

  1. PENUTUP

Melihat kondisi masyarakat Indonesia saat ini, perlu kita perbandingkan masyarakat Indonesia saat ini dan masyarakat Arab pada masa itu jika ingin menerapkan hukum pidana Islam di Indonesia, khususnya mengenai hukuman bagi pelaku zina. Perubahan bangunan masyarakat harus sebagai pertimbangan dalam penerapan hukum, perlu menjadi pertimbangan yang matang hukum yang akan diberlakukan mengingat masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang tingkat perbedaannya tinggi.

Rajam merupakan alternatf terakhir hukuman bagi pelaku zina, karena hukumannya yang berat, maka jika masih ada hukuman lain yang bisa efektif maka rajam hanya digunakan bila hukuman lain tersebut belum efktif dan bisa diberlakukan pada pelaku yang telah berulang kali dihukum karena perbuatan zina tapi tetap melakukan zina. Hukum Islam haruslah elastis mengikuti perkembangan masyarakat dan sesuai konteks zaman, dengan catatan tidak meninggalkan substansi syari’ahnya.

Pelaksanaan hukum Islam akan lebih sangat efektif lagi andaikan seluruh masyarakat memahami nilai-nilai Islam itu sendiri, hukum rajam yang bersifat issedental karena beratnya hukuman dan penerapannya harus berdasarkan pertimbangan yang matang, baik bagi individu pelaku zina maupun bagi masyarakat secara umum.

  1. DAFTAR PUSTAKA

Abdurahman, Asjmuni, Qa’idah-qa’idah Fiqh; Qawa’iduh Fiqhiyah, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.

Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, cet. ke 8, Jakarta: Raja Grafindo, 2000.

Ali, Zainudin, Hukum Pidana Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2007.

Arief, Abdul Salam, “Eksistensi Hukum Rajam dalam Pidana Islam”, dalam Jurnal al-Hudud Himpunan Mahasiswa Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga (Periode 1997-1999), Yogyakarta.

Audah, Abdul Qodir, At-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami Muqarrom bi Al-Qonun Al-Wadh’i, Beirut : Dar Al-Arubah, t.t.

Bukhari, Muhammad ibn Islmal al, Matan al-Bukhari, Beirut : Dar Al-Fikr, t.t.

Departemen Agama R. I, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Mekar, 2004.

Fuad, Mahsun, Hukum Islam Indonesia : dari Nalar Partisipatoris hingga Emansipatoris, Yogyakarta: LkiS, 2005.

Khallaf, Abdul Wahhab, al-‘Ilmu Ushul al-Fiqh, Beirut : Dal al-Qalam, 1977.

Mawardi, Imam Al, Al-Ahkaamus-Shulthoniyyah wal-wilaayatud-diiniyyah, Beirut : Al-Maktab Al-Islami, cet. I, 1996

Munajat, Makhrus, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Sleman : Logung Pustaka, 2004.

Muslich, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, Jakarta : Sawo Raya, cet. II, 2005.

Nawawi, Imam an, Sahih Muslim bi Syarh an-Nawawi, Beirut : Dar Al-Fikr, t.t.

Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung : Sinar Baru Algensindo, cet. Ke-37, 2004.

Riyanta DKK., Neo Ushul Fiqh, Yogyakarta : Fakultas Syariah Press, 2003.

Sayis, Muhammad Ali As, Tafsir Ayat Al-Ahkam, Kairo : Dar Al-Matba’ah Ali Sabih, t.t..

Shabuni, Muhammad Ali ash, Rawail al-Subhat, Beirut, Dar Al-Fikr, tt.

Shan’ani, Ash, Subulus Salam, jilid III, alih bahasa Abu Bakar Muhammad, Surabaya: Al-Ikhlas, 1995.

Shiddieqie, Hasbi Ash, Tafsir Al-Quran Al-Madjid An-Nuur, Jakarta: Bulan Bintang, 1965.

Zahrah, Muhammad Abu, Al-Jarimah wa Al-Uqbah fi Al-Fiqh Al-Islam, Kairo: Dar al-Fikr, t.t.

 Catatan Kaki

1 Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2007, hlm. 11.

2 Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Sleman : Logung Pustaka, 2004, hlm. 53.

3 Abdul Wahhab Khallaf, al-‘Ilmu Ushul al-Fiqh, Beirut : Dal al-Qalam, 1977, IV: 295.

4 Imam Al-Mawardi, Al-Ahkaamus-Shulthoniyyah wal-wilaayatud-diiniyyah, Beirut : Al-Maktab Al-Islami, cet. I, 1996, XIX : 428.

5 Abdul Salam Arief, “Eksistensi Hukum Rajam dalam Pidana Islam”, dalam Jurnal al-Hudud Himpunan Mahasiswa Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga (Periode 1997-1999), Yogyakarta, hlm. 18.

6 Muhammad Ali ash-Shabuni, Rawail al-Subhat, Beirut, Dar Al-Fikr, tt., II : 8. Sulaiman Rasjid menambahkan bahwa kemaluan laki-laki harus sampai masuk ke dalam vagina perempuan tersebut sampai tengkuk kemaluannya. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung : Sinar Baru Algensindo, cet. Ke-37, 2004, hlm. 436.

7 Muhammad ibn Islmal al-Bukhari, Matan al-Bukhari, Beirut : Dar Al-Fikr, tt., IV: 172.

8 Imam an-Nawawi, Sahih Muslim bi Syarh an-Nawawi, Beirut : Dar Al-Fikr, tt, XI: 180.

9Makhrus Munajat, “Reaktualisasi Hukum Pidana Islam”, dalam Riyanta DKK., Neo Ushul Fiqh, Yogyakarta : Fakultas Syariah Press, 2003, hlm. 245.

10 Abdul Qodir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami Muqarrom bi Al-Qonun Al-Wadh’i, Beirut : Dar Al-Arubah, t.t., I : 34.

11 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta : Sawo Raya, cet. II, 2005, hlm 58.

12 Muhammad Abu Zahrah, Al-Jarimah wa Al-Uqbah fi Al-Fiqh Al-Islam, Kairo: Dar al-Fikr, t.t., hlm. 142.

13 Hasbi Ash-Shiddieqie, Tafsir Al-Quran Al-Madjid An-Nuur, Jakarta: Bulan Bintang, 1965, XV : 136.

14 Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam,..hlm. 99-101.

15 Hasbi Ash-Shiddieqie, Tafsir Al-Quran Al-Madjid An-Nuur,….op cit.

16 Abdul Wahab Khallaf menegaskan bahwa nash dapat dinasakh oleh nash sama kekuatannya atau lebih kuat, Hadits dinasakh oleh hadits dan ayat Al-Quran dinasakh oleh ayat Al-Quran sendiri atau Al-Quran menasakhkan hadits. Termasuk juga nash yang tidak dapat dinasakhkan adalah nash yang tegas menunjukkan hukum itu. Abdul Wahhab Khallaf, al-‘Ilmu Ushul al-Fiqh..hlm. 332-336.

17 Muhammad Ali As-Sayis, Tafsir Ayat Al-Ahkam, Kairo : Dar Al-Matba’ah Ali Sabih, t.t., II : 107.

18 Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia : dari Nalar Partisipatoris hingga Emansipatoris, Yogyakarta: LkiS, 2005.

DIRGAHAYU INDONESIA

Negara Terkaya di Dunia – Banyak sebenarnya yang tidak tahu dimanakah negara terkaya di planet bumi ini, ada yang mengatakan Amerika, ada juga yang mengatakan negera-negara di timur tengah. tidak salah sebenarnya, contohnya amerika. negara super power itu memiliki tingkat kemajuan teknologi yang hanya bisa disaingi segelintir negara, contoh lain lagi adalah negara-negara di timur tengah. rata-rata negara yang tertutup gurun pasir dan cuaca yang menyengat itu mengandung jutaan barrel minyak yang siap untuk diolah. tapi itu semua belum cukup untuk menyamai negara yang satu ini. bahkan Amerika, Negara-negara timur tengah serta Uni Eropa-pun tak mampu menyamainya.

dan inilah negara terkaya di planet bumi yang luput dari perhatian warga bumi lainya. warga negara ini pastilah bangga jika mereka tahu. tapi sayangnya mereka tidak sadar “berdiri di atas berlian” langsung saja kita lihat profil negaranya.

pa yang terjadi? apakah penulis salah? tapi dengan tegas saya nyatakan bahwa negara itulah sebagai negara terkaya di dunia. tapi bukankah negara itu sedang dalam kondisi terpuruk? hutang dimana-mana, kemiskinan, korupsi yang meraja lela, kondisi moral bangsa yang kian menurun serta masalah-masalah lain yang sedang menyelimuti negara itu.

baiklah mari kita urai semuanya satu persatu sehingga kita bisa melihat kekayaan negara ini sesungguhnya.

1. Negara ini punya pertambangan emas terbesar dengan kualitas emas terbaik di dunia. namanya PT Freeport.

Apa saja kandungan yang di tambang di Freeport? ketika pertambangan ini dibuka hingga sekarang, pertambangan ini telah mengasilkan 7,3 JUTA ons tembaga dan 724,7 JUTA ons emas. saya (penulis= suranegara) mencoba meng-Uangkan jumlah tersebut dengan harga per gram emas sekarang, saya anggap Rp. 300.000. dikali 724,7 JUTA ons emas/ 72.470.000.000 Gram dikali Rp 300.000. = Rp.21.741.000.000.000.000 Rupiah!!!!! ada yang bisa bantu saya cara baca nilai tersebut? itu hanya emas belum lagi tembaga serta bahan mineral lain-nya.

lalu siapa yang mengelola pertambangan ini? bukan negara ini tapi AMERIKA! prosentasenya adalah 1% untuk negara pemilik tanah dan 99% untuk amerika sebagai negara yang memiliki teknologi untuk melakukan pertambangan disana. bahkan ketika emas dan tembaga disana mulai menipis ternyata dibawah lapisan emas dan tembaga tepatnya di kedalaman 400 meter ditemukan kandungan mineral yang harganya 100 kali lebih mahal dari pada emas, ya.. dialah URANIUM! bahan baku pembuatan bahan bakar nuklir itu ditemukan disana. belum jelas jumlah kandungan uranium yang ditemukan disana, tapi kabar terakhir yang beredar menurut para ahli kandungan uranium disana cukup untuk membuat pembangkit listrik Nuklir dengan tenaga yang dapat menerangi seluruh bumi hanya dengan kandungan uranium disana. Freeport banyak berjasa bagi segelintir pejabat negeri ini, para jenderal dan juga para politisi busuk, yang bisa menikmati hidup dengan bergelimang harta dengan memiskinkan bangsa ini. Mereka ini tidak lebih baik daripada seekor lintah!

2. Negara ini punya cadangan gas alam TERBESAR DI DUNIA! tepatnya di Blok Natuna.

Berapa kandungan gas di blok natuna? Blok Natuna D Alpha memiliki cadangan gas hingga 202 TRILIUN kaki kubik!! dan masih banyak Blok-Blok penghasil tambang dan minyak seperti Blok Cepu dll. DIKELOLA SIAPA? EXXON MOBIL! dibantu sama Pertamina

3. Negara ini punya Hutan Tropis terbesar di dunia. hutan tropis ini memiliki luas 39.549.447 Hektar, dengan keanekaragaman hayati dan plasmanutfah terlengkap di dunia.

Letaknya di pulau sumatra, kalimantan dan sulawesi. sebenarnya jika negara ini menginginkan kiamat sangat mudah saja buat mereka. tebang saja semua pohon di hutan itu makan bumi pasti kiamat. karena bumi ini sangat tergantung sekali dengan hutan tropis ini untuk menjaga keseimbangan iklim karena hutan hujan amazon tak cukup kuat untuk menyeimbangkan iklim bumi. dan sekarang mereka sedikit demi sediki telah mengkancurkanya hanya untuk segelintir orang yang punya uang untuk perkebunan dan lapangan Golf. sungguh sangat ironis sekali.

4. Negara ini punya Luatan terluas di dunia. dikelilingi dua samudra, yaitu Pasific dan Hindia hingga tidak heran memiliki jutaan spesies ikan yang tidak dimiliki negara lain.

Saking kaya-nya laut negara ini sampai-sampai negara lain pun ikut memanen ikan di lautan negara ini.

5. Negara ini punya jumlah penduduk terbesar ke 4 didunia. dengan jumlah penduduk segitu harusnya banyak orang-orang pintar yang telah dihasilkan negara ini, tapi pemerintah menelantarkan mereka-mereka. sebagai sifat manusia yang ingin bertahan hidup tentu saja mereka ingin di hargai. jalan lainya adalah keluar dari negara ini dan memilih membela negara lain yang bisa menganggap mereka dengan nilai yang pantas.

6. Negara ini memiliki tanah yang sangat subur. karena memiliki banyak gunung berapi yang aktif menjadikan tanah di negara ini sangat subur terlebih lagi negara ini dilintasi garis katulistiwa yang banyak terdapat sinar matahari dan hujan.

Jika dibandingkan dengan negara-negara timur tengah yang memiliki minyak yang sangat melimpah negara ini tentu saja jauh lebih kaya. coba kita semua bayangkan karena hasil mineral itu tak bisa diperbaharui dengan cepat. dan ketika seluruh minyak mereka telah habis maka mereka akan menjadi negara yang miskin karena mereka tidak memiliki tanah sesubur negara ini yang bisa ditanami apapun juga. bahkan tongkat kayu dan batu jadi tanaman.

7. Negara ini punya pemandangan yang sangat eksotis dan lagi-lagi tak ada negara yang bisa menyamainya. dari puncak gunung hingga ke dasar laut bisa kita temui di negara ini.

Negara ini sangat amat kaya sekali, tak ada bangsa atau negara lain sekaya INDONESIA! tapi apa yang terjadi?

untuk EXXON MOBIL OIL, FREEPORT, SHELL, PETRONAS dan semua PEJABAT NEGARA yang menjual kekayaan Bangsa untuk keuntungan negara asing, diucapkan TERIMA KASIH.
Sebuah cerita mungkin akan bisa menggambarkan indonesia saat ini silahkan disimak.
Judulnya Ketika Tuhan Menciptakan Indonesia

Suatu hari Tuhan tersenyum puas melihat sebuah planet yang baru saja diciptakan- Nya. Malaikat pun bertanya, “Apa yang baru saja Engkau ciptakan, Tuhan?” “Lihatlah, Aku baru saja menciptakan sebuah planet biru yang bernama Bumi,” kata Tuhan sambil menambahkan beberapa awan di atas daerah hutan hujan Amazon. Tuhan melanjutkan, “Ini akan menjadi planet yang luar biasa dari yang pernah Aku ciptakan. Di planet baru ini, segalanya akan terjadi secara seimbang”.

Lalu Tuhan menjelaskan kepada malaikat tentang Benua Eropa. Di Eropa sebelah utara, Tuhan menciptakan tanah yang penuh peluang dan menyenangkan seperti Inggris, Skotlandia dan Perancis. Tetapi di daerah itu, Tuhan juga menciptakan hawa dingin yang menusuk tulang.

Di Eropa bagian selatan, Tuhan menciptakan masyarakat yang agak miskin, seperti Spanyol dan Portugal, tetapi banyak sinar matahari dan hangat serta pemandangan eksotis di Selat Gibraltar.

Lalu malaikat menunjuk sebuah kepulauan sambil berseru, “Lalu daerah apakah itu Tuhan?” “O, itu,” kata Tuhan, “itu Indonesia. Negara yang sangat kaya dan sangat cantik di planet bumi. Ada jutaan flora dan fauna yang telah Aku ciptakan di sana. Ada jutaan ikan segar di laut yang siap panen. Banyak sinar matahari dan hujan. Penduduknya Ku ciptakan ramah tamah,suka menolong dan berkebudayaan yang beraneka warna. Mereka pekerja keras, siap hidup sederhana dan bersahaja serta mencintai seni.”

Dengan terheran-heran, malaikat pun protes, “Lho, katanya tadi setiap negara akan diciptakan dengan keseimbangan. Kok Indonesia baik-baik semua. Lalu dimana letak keseimbangannya? “
Tuhan pun menjawab dalam bahasa Inggris, “Wait, until you see the idiots I put in the government.” (tunggu sampai Saya menaruh ‘idiot2′ di pemerintahannya)

Dan untuk rasa terima kasih untuk Kemerdekaan Indonesia yang ke 65 tahun, kami pemuda-pemudi Indonesia memberikan penghargaan sebesar-besarnya kepada pejuang yang telah mengorbankan darah dan air mata mereka untuk bangsa yang tidak tahu terima kasih ini.

“Indonesia tanah air beta
disana tempat lahir beta,
dibuai dibesarkan bunda,
Tempat berlindung di hari Tua…

HIngga nanti menutup mata

HIDUPLAH INDONESIA RAYA……!!!!!!
Memperingati HUT RI ke 65 Tahun
17 Agustus 1945 – 17 Agustus 2010

MERDEKA….!!!!!