-
PENDAHULUAN
Sering kita mendengar di berbagai media tentang demonstrasi mahasiswa menentang sebuah kebijakan, baik yang berhubungan langsung dengan mahasiswa maupun kebijakan yang tidak bersentuhan secara langsung. Eksistensi mahasiswa di Indonesia memang begitu terlihat sejak sejarah negeri ini mulai ada, dimulai dari pergerakan Boedi Oetomo dan Soempah Pemoeda sampai Reformasi, semuanya ada hubungan yang kuat dengan keberadaan mahasiswa. Maka sering pula disebutkan bahwa mahasiswa merupakan agent of change, karena mahasiswa selalu terlibat dalam setiap fase perubahan di negeri ini, khususnya dalam bidang politik.
Gerakan mahasiswa merupakan salah satu dari sekian banyak kelompok penekan dalam sebuah sistem politik, atau kadang disebut juga kelompok kepentingan. Melihat fenomena yang ada di Indonesia, Gerakan mahasiswa bisa dikategorikan ke dalam kelompok kepentingan anomis, yaitu kelompok kepentingan yang terbentuk secara spontan dan kebanyakan bersifat seketika.1
Keterlibatan gerakan mahasiswa dalam setiap momen perubahan tidak terlepas dari karakter khusus yang dimiliki oleh mahasiswa, yaitu sebagai golongan terpelajar dan terkesan terbatas. Meningkatnya peran mahasiswa dalam kehidupan politik dipengaruhi oleh dua faktor,2 yaitu Pertama, mahasiswa sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik dan kedua, sebagai kelompok yang paling lama duduk di bangku sekolah, mahasiswa yang sekolah sampai ke jenjang universitas telah mengalami berbagai macam sosialisasi politik. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup yang unik bagi mahasiswa, di kampus mahasiswa bersosialisasi dengan beragam agama, suku, bahasa dan pemikiran. Keempat, mahasiswa akan memasuki lapisan atas dari kekuasaan dan kelima, orientasi universitas menyebabkan meningkatnya jiwa kepemimpinan mahasiswa.
Oleh karena faktor itulah mahasiswa, atau lebih tepatnya gerakan mahasiswa, merupakan suatu kaum muda yang berfikir, dalam hal ini sering dinamakan barisan kaum intelijensia dan akhir-akhir ini merupakan pelaku utama sejarah, tentunya bersama massa rakyat.3Tahun 1998 menjadi satu catatan tersendiri dalam sejarah perubahan di Indonesia. Dilatarbelakangi krisis ekonomi yang berkepanjangan dan berlanjut menjadi krisis multi-dimensi, sebuah usaha perubahan sosial yang dimotori oleh gerakan mahasiswa yang didukung oleh kesadaran bersama dari para mahasiswa. Momen ini kemudian berkembang menjadi suatu gerakan bersama yang menuntut perubahan dibeberapa bidang, khususnya sistem pemerintahan
Gerakan mahasiswa tahun 1998 adalah salah satu faktor pendobrak bagi terciptanya kebebasan sipil politik yang tersandera selama 32 tahun lamanya. Namun setelah reformasi, tidak ada lagi satu gelembung besar gerakan mahasiswa, justru yang nampak hanya riak–riak kecil dan terpecah dengan isu–isu sektoral dan tidak sedikit pula yang masuk dalam perangkap pragmatisme politik penguasa. Fenomena ini jelas terlihat dalam potret gerakan mahasiswa saat ini yang semakin nampak eksklusif dan kurang kontekstual dengan isu–isu kerakyatan. Sering terlihat dalam aksi–aksi mahasiswa, meskipun memiliki pilihan isu yang sama namun dalam aksi tidak bisa berjalan bersama.
Melihat konteks gerakan mahasiswa di Indonesia, khususnya pasca Reformasi yang tidak masif, menimbulkan beberapa Permasalahan, yaitu : bagaimana historisitas gerakan mahasiswa di Indonesia? Serta kenapa gerakan mahasiswa setelah reformasi 1998 kurang masif dan kurang memberikan efek tekanan yang kuat terhadap pemerintahan?
-
PARTISIPASI POLITIK GERAKAN MAHASISWA
-
Partsipasi Politik dan Kelompok Kepentingan
Partisipasi politik dalam era politik modern merupakan masalah yang penting, sebab hal ini menyangkut konsep demokrasi itu sendiri yang harus melibatkan rakyat dalam setiap kebijakan atau suksesi. Miriam Budiardjo merumuskan partisipasi politik merupakan kegiatan seseorang atau kelompok untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan negara, dan mempengaruhi kebijakan pemerintah.4 Untuk itulah diperlukan partisipasi aktif masyarakat dalam pemerintahan, namun ada bentuk partisipasi lain, yakni melalui kelompok-kelompok, karena suara satu orang dalam Pemilu sangat kecil pengaruhnya terhadap pmerintahan.
Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah bisa menolong maupun menyulitkan rakyat, karena itu warga negara sangat memperhatikan dan berkepentingan dengan keputusan-keputusan yang diambil oleh pemerintah, maka mereka menyatakan kepentingan itu kepada badan-badan politik dan pemerintahan melalui kelompok-kelompok yang mereka bentuk bersama demi kepentingan bersama. Secara umum kelompok kepentingan merupakan organisasi yang berusaha mempengaruhi kebijakan pemerintah tanpa, pada waktu yang sama, berkehendak pada jabatan publik.5
Kelompok-kelompok kepentingan tersebut harus mempunyai suatu mekanisme dalam mempengaruhi pemerintahan, agar kepentingannya didengarkan serta dilaksanakan oleh pemegang kebijakan, maka diperlukan suatu gerakan sosial dalam usaha mewujudkannya. Ralph H. Turner dan Lewis M. Killian, seperti dikutip oleh Tom Bottomore, merumuskan gerakan sosial merupakan suatu usaha bersama untuk meningkatkan atau menentang perubahan dalam masyarakat di mana usaha tersebut memainkan peran.6 Gerakan ini lebih merupakan suatu kelompok yang mengikuti suatu pandangan sosial atau diktrin tertentu, yang menempatkan dirinya dalam perdebatan politik sehari-hari dan yang karenanya siap berperanserta di dalam kegiatan seperti demonstrasi atau riotous assemblies. Daniel S. Lev berpandangan bahwa gerakan sosial pada umumnya produk kelas menengah yang sedang tumbuh yang berupaya untuk menata kembali negara dan masyarakat sesuai dengan tujuan mereka.7
Kelompok kepentingan dalam sosiologi politik secara umum dapat dibagi menjadi empat macam,8 yaitu :
-
Kelompok Anomis, yakni kelompok yang terbentuk di antara unsur-unsur dalam masyarakat secara spontan dan hanya seketika;
-
Kelompok Non-Assosionil, yaitu kelompok yang terbentuk berdasarkan primordialisme kesukuan atau keluarga aristokrat;
-
Kelompok Instutusionil, merupakan kelompok yang terbentuk bersifat formil yang biasanya berbasis di militer, birokrat dan badan legislatif dan sebagainya;
-
Kelompok Assosionil, kelompok ini menyataka kepentingan dari kelompok khusus, seperti serikat buruh industrialis, advokat dan paguyuban etnis.
Supaya efektif dalam mencapai tujuan dan mendapatkan keinginannya, faktor kemampuan mengerahkan dukungan, tenaga, dan sumber daya yang dimiliki sangat menentukan dalam gerakan itu. Selain itu, faktor ektern seperti isu yang sedang terjadi juga merupakan faktor menentukan dalam gerakan sebuah kelompok kepentingan. Namun demikian, supaya lebih efektif, kelompok kepentingan harus mampu mencapai, atau berhubungan langsung dengan, para pembuat keputusan politik utama. Biasanya, metode yang digunakan adalah dengan cara demonstrasi, dengan atau tanpa kekerasan, dan melalui hubungan pribadi dengan para pembuat kebijakan utama di dalam pemerintahan.9
-
Gerakan Mahasiswa
Gerakan mahasiswa selama ini belum ada yang mendefenisikannya secara rinci, namun jika ditinjau dari segi sosiologi gerakan mahasiswa merupakan sebuah perilaku kolektif yang dilakukan oleh mahasiswa. perilaku kolektif adalah tindakan-tindakan yang tidak terstruktur dan spontan dimana perilaku konvensional (lama) sudah tidak dirasakan tepat atau efektif. Lebih jauh lagi, perilaku kolektif merupakan perilaku yang (1) dilakukan oleh sejumlah orang (2) tidak bersifat rutin dan (3) merupakan tanggapan terhadap rangsangan tertentu.10 Mahasiswa merupakan orang yang sedang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Dari defenisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa gerakan mahasiswa merupakan tindakan yang tidak terstruktur dan spontan oleh mahasiswa terhadap persoalan tertentu, biasanya keadaan lama kurang atau tidak tepat dan efektif.
Neil Smelser memberikan pendekatan yang lebih komprehensif dalam munculnya perilaku kolektif. Menurutnya, ada enam syarat pra-kondisi yang harus terjadi; struktural (structural conducivenes), ketegangan struktural (structural strain), kemunculan dan penyebaran pandangan, faktor pemercepat (precipitating factors), Mobilisasi tindakan (mobilization for action), dan pelaksanaan kontrol sosial (operation of social control).11
Gerakan mahasiswa mulai dikenal luas dan besar, bersama gerakan sosial lainnya, sejak dekade 1960an. Ide gerakan ini pada kenyataannya sangat berhubungan dengan peristiwa pada masa itu, yang mana secara tiba-tiba melahirkan gerakan berskala besar yang menampakkan suatu ketidaksenangan yang mendalam dan oposisi terhadap aturan politik dan sosial yang ada.12 Ini diikuti dengan dua dasawarsa konsilidasi stable democracy di dunia Eropa Barat, dan konsilidasi stable autocracies di Eropa Timur, serta proses modernisasi dan industrialisasi gradual di negara berkembang dan baru merdeka.
-
Perjalan Gerakan Mahasiswa Indonesia
Historisitas gerakan mahasiswa di Indonesia memang sangat unik, jika Tom Bottomore mengatakan bahwa di dunia mulai dikenalnya gerakan mahasiswa sejak era 1960an, maka Indonesia telah dimulai sejak 1900an, yakni setelah pemerintah Hindia Belanda memberlakukan politik etis bagi rakyat Indonesia. Dalam politik etis yang dipopulerkan oleh Van Deventer (kelak dikenal dengan “trias van Deventer”), itu meliputi tiga hal: edukasi (pendidikan), irigasi (pengairan) dan transmigrasi (perpindahan penduduk). Ketiga itu kalau dilihat semacam “balas jasa” kaum kolonialis atas kaum pribumi. Salah satu hasil politik ini ialah didirikannya STOVIA (School tot Opleiding voor Indlandsche Art-sen), tempat lahir organisasi nasional, yang didirikan oleh mahasiswa yakni Wahidin Sudirohusodo dan dr. Sutomo. Jika Budi Utomo coraknya masih bersifat kedaerahan sebagai gerakan kultural kaum priyayi Jawa, kemudian muncul lembaga lain seperti Jong Java, Jong Sumatera, Song Ambon, Jong Celebes dan lainnya yang bersifat kepemudaan.
Sekitar enam bulan setelah berdiri Budi Utomo,di Belanda juga berdiri lembaga Perhimpunan Indonesia (PI) dengan ketuanya seorang mahasiswa asal Sumatera Barat, Mohammad Hatta. Gerakan ini begitu gencar mempopulerkan nama “Indonesia” di negeri kincir angin itu. Perjuangan mahasiswa dan pemuda kemudian mengalami proses penyatuan. Tentunya pernyatuan gerakan ini berguna untuk memerdekan diri dari kaum penjajah Belanda. Akhirnya pada Kongres Pemuda kedua pada tanggal 28 Oktober 1928, lahirlah Sumpah Pemuda,13 yang mengikrarkan berbangsa, bertanah-air dan berbahasa Indonesia.
Pada akhir tahun 1944, berdiri organisasi bernama “Angkatan Muda” yang dalam konferensinya menghasilkan beberapa resolusi antara lain: Pertama, seluruh golongan harus dipersatukan dan disentralisasi di bawah satu pimpinan tunggal. Kedua, kemerdekaan Indonesia harus diwujudkan secepat mungkin.14 Pada tahun 1945 Jepang menyerah pada Amerika dan sekutunya. Di kalangan pergerakan timbul ketegangan apakah segera mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia atau menunggu. Akhirnya kaum muda seperti Sukarni dan Chairul Saleh serta kawan-kawannya kemudian membawa Bung Karno dan Hatta ke Rengasdengklok untuk mendesak proklamasi kemerdekaan. Akhirnya, merdekalah kita.
Pada tahun 1955 dilaksanakanlah Pemilu pertama pada kabinet Burhanuddin Harahap. Terpilihlah anggota dewan Konstituante yang bertugas membuat konstitusi. Karena konstitusi tidak jadi, lebih tepatnya dea dlock, akhirnya Bung Karno pun membubarkan Konstituante lewat Dekrit 5 Juli 1959. Turunan dari Dekrit adalah berlakulah sistem Demokrasi Terpimpin dibawah Bung Karno. Bahwa BK berkeinginan menjadi “presiden seumur hidup.” Karena kebijakan ini, akhirnya timbul perlawanan dari kaum muda mahasiswa. Terlebih dengan terjadinya peristiwa G30S PKI pada 1965. Pada tahun 1966, gerakan massa mahasiswa pun bergerak. KAMI, KAPPI dan militer bergerak bersama menumbangkan rezim Orde Lama Bung Karno. Ketika Bung Karno jatuh, kepemimpinan dilanjutkan oleh Soeharto.15
Di tahun 1974 terjadi peristiwa besar dalam dunia gerakan mahasiswa. Ketika itu mahasiswa menolak penanaman modal asing dari Jepang. Ketika seorang pembesar Jepang ke Jakarta, maka demonstrasi pun menyeruak. Terjadi pembakaran dan chaos. Pemerintah menyebut kejadian ini dengan “Malapetaka Lima Belas Januari” (Malari),16aksi ini menandai berakhirnya aliansi mahasiswa dan militer. Akibat aksi ini kemudian, lewat SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef No.0156/U/1978, terbitlah “Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK)/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK)”. Artinya bahwa mahasiswa harus kembali ke kampus, menjadikan kampus sebagai tempat belajar sebagaimana mestinya, tidak bergerak dalam ranah politik, dan membubarkan Dewan Mahasiswa (Dema).
Sebagai alternatif terhadap suasana birokratis dan apolitis wadah intra kampus, di awal-awal tahun 80-an muncul kelompok-kelompok studi yang dianggap mungkin tidak tersentuh kekuasaan refresif penguasa.17 Kelompok Studi (KS) merupakan arena untuk mengasah kemampuan kritis mereka atas persoalan sosial dan politik. KS muncul sebagai alternatif akibat ketidakmampuan organisasi mahasiswa formal di kampus untuk menyalurkan ide-ide kritis mahasiswa mengenai perubahan sosial. Era KS dimulai sejak 1982-1983, kemunculannya yang meskipun berjumlah kecil dan hanya terdapat di kota-kota tertentu mampu meramaikan kembali gerakan mahasiswa. Pemikiran-pemikiran kritis yang dikaji dalam KS antara lain karya Karl Marx, Paolo Freire, Ivan Illich, Jurgen Habermas, dan Michael Foucalt.
Krisis moneter 1997 bermula dari jatuhnya mata uang Thailand (Bath) dan kemudian menyapu seluruh Asia Tenggara. Pada bulan Juli 1997 nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika menurun dari Rp. 2400,- menjadi di atas Rp. 16.000,- yang berakibat terjadinya lonjakan pengangguran, industri gulung tikar, dan perdagangan macet. Untuk mengatasi hal tersebut, Soeharto memohon bantuan kepada negara-negara imperialis melalui IMF dengan syarat Indonesia harus mencabut subsidi terhadap barang-barang kebutuhan pokok. Akhirnya, Soeharto mengumumkan kenaikan tarif transportasi umum, hanya beberapa jam setelah sebelumnya mengumumkan kenaikan listrik dan BBM (bahan bakar minyak), sesuai dengan rekomendasi IMF untuk mengurangi subsidi bagi kedua komoditas tersebut. Ketika rupiah jatuh pada nilai Rp. 10.000,- terhadap dolar Amerika, Soeharto kembali membuat konsensus dengan IMF dengan mencabut subsidi atas BBM dan listrik. Akibatnya, harga bahan bakar naik sebesar 47% dan listrik rata-rata naik sebesar 60%.
Mahasiswa menemukan momentumnya seiring dengan krisis ekonomi yang terjadi tersebut. Dalam kurun waktu awal Februari sampai Mei 1998, secara kuantitatif dan kualitatif gerakan mahasiswa naik secara drastis, dari tuntutan yang sudah politis dan metode yang radikal.18 Pelaku gerakan pada masa ini bukan hanya organisasi-organisasi gerakan yang sudah lama bergerak sejak tahun 80an melainkan juga kalangan aktivis kampus dari organisasi-organisasi seperti Senat Mahasiswa, BEM, dan senat-senat fakultas. Para aktor dari kalangan kampus ini menyebut gerakan mereka sebagai gerakan “moral” dengan format aksi keprihatinan di kampus. Mereka juga banyak didukung oleh para staf pengajar dan pimpinan perguruan tinggi yan menjadikan gerakan mahasiswa sebagai gerakan civitas academica. Pada 20 Mei 1998 menjadi saksi sejarah. Lewat demonstrasi besar-besaran, akhirnya di pagi menjelang siang, Suharto menyatakan mundur secara legowo. Kemudian digantikan oleh BJ. Habibie yang waktu itu menjabat wapres.
-
QUO VADIS GERAKAN MAHASISWA
Sejak runtuhnya Orde Lama, aktivis mahasiswa terbelah menjadi dua pandangan, yakni gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral atau sebuah gerakan politik.19 Pandangan pertama memandang energi politik mahasiswa seharusnya diletakkan sebagai kekuatan penggerak perubahan ketika institusi politik tidak mampu melakukan peran sesuai dengan tuntutan sektor publik. Dengan demikian, mahasiswa berada di luar institusi birokrasi dan politik, namun tetap melakukan fungsi kontrol politik, karena jika dibiarkan rakyat yang akan menderita. Pandangan kedua beranggapan bahwa mahasiswa harus menjadi pemain aktif dalam percaturan politik, dengan ini mahasiswa lebih leluasa meneruskan perjuangannya demi kepentingan rakyat banyak. Namun posisi ini berada posisi dilematis, satu sisi lebih leluasa dan mempunyai kekuatan dalam menentukan kebijakan, namun di sisi lain gerakan mahasiswa sering, atau lebih tepat ditakutkan, terjebak pada vested intererst dan terkooptasi oleh kepentingan rezim.
Dalam perkembangan selanjutnya pergerakan mahasiswa melihat bahwa isu yang satu dapat berkembang pada isu yang lain. Hal ini mungkin disebabkan oleh sifat instant yang mempengaruhi pola perilaku mahasiswa. Sifat ini tidak melihat lebih dalam mengenai masalah yang ada, dalam arti setiap masalah sebenarnya mempunyai akar permasalahan yang terlebih dahulu mendapat perhatian. Keadaan ini membuat gerakan mahasiswa tidak terfokus pada satu isu, fatal bagi gerakan karena tidak bisa masif karena terpecah pada berbagai isu, seharusnya pengawalan terhadap beberapa isu bisa dibuat suatu isu sentral agar gerakan bisa fokus dan tidak terpecah sehingga gerakan bisa optimal dan maksimal.
Penemuan pada akar permasalahan memungkinkan mahasiswa untuk menyuarakan isu yang tepat sasaran sehingga mereka konsisten dalam gerakannya. Namun, karena pada kenyataannya mahasiswa kadang tidak memiliki basis konsep yang jelas sehingga perhatian awal mudah sekali menyimpang atau lebih parah lagi mengalami perubahan yang bertolak belakang dengan isu awal. Gerakan mahasiswa di Indonesia kemudian mengalami perubahan dari sebuah gerakan moral menyuarakan masalah-masalah sosial-permasalahan yang sehari-hari dihadapi oleh masyarakat-kemudian berubah menjadi sebuah gerakan politik. Gerakan mahasiswa sebaiknya kembali menjadi gerakan yang mempunyai pandangan lebih mendalam dalam berbagai masalah sosial yang melanda bangsa ini.
Setelah reformasi 1998 banyak organisasi mahasiswa yang terkena virus oligopoli politik. Bentuk oligopoli politik menyebabkan : pertama, elit orsospol akan merasa sebagai agen tunggal dari kehendak dan dan hal-hal yang diinginkan oleh pemegang kekuasaan negara sehingga dapat bertindak sewenang-wenang dalam internal orsospolnya. Keadaan ini jika terjadi perpecahan masing-masing kelompok akan mengundang pihak luar untuk menambah kekuatannya, yang mendapat restu kekuasaan akan mengundang penguasa, demikian juga dengan yang tidak sejalan dengan penguasa akan mendapat dukungan dari fihak yang berlawanan dengan pemerintah. Kedua, keadaan ini akan mengakibatkan benturan kepentingan dalam orsospol tersebut, baik benturan sesama didukung penguasa maupun benturan antara yang didukung penguasa dengan yang didukung fihak yang berlawanan dengan penguasa. Dengan kondisi orsospol yang seperti ini akan sulit terbentuk orsospol sebagai penyalur aspirasi politik rakyat, sikap politik orsospol akan sering tidak sejalan dengan kehendak rakyat pada umumnya, hal ini mengakibatkan jurang yang semakin lebar antara rakyat dan pemerintah.20 Karena di dalam tubuh organisasi kemahasiswaan banyak terjadi perpecahan dan perebutan kekuasaan, belum lagi hal ini juga disebabkan pengkultusan kader gerakan terhadap senior yang telah menjadi pejabat, atau mungkin memang alumni organisasi itu sendiri melakukan intervensi terhadap adek-adeknya yang menjadi pengurus di gerakan mahasiswa itu sendiri.
Dalam konteks gerakan mahasiswa kekinian di Indonesia, keenam syarat prilaku kolektif harus terpenuhi kalau ingin gerakannya kembali masif, yaitu ; pertama kondisi sosial masyarakat yang mendukung aksi-aksi mahasiswa, kedua adanya kesamaan rasa tertindas oleh pemerintah, ketiga penyebaran serta gagasan dengan landasan kebenaran, hak asasi manusia dan rakyat sebagai dasar perjuangan, keempat adanya faktor pemicu, kelima adanya usaha mobilisasi aksi dengan berbagai elemen masyarakat dan terakhir adalah adanya tekanan dari negara atau bentuk kontrol sosial lainnya yang berusaha menggagalkan/menggangu proses perubahan. Gerakan mahasiswa 1908, 1928, 1945, 1966, 1974 dan 1998 keenam syarat itu telah tercukupi, sekarang keenam syarat ini relatif sulit untuk mencari momentnya, belum lagi jika dilihat bahwa pemerintahan sekarang relatif kuat karena dipilih oleh rakyat secara langsung.
Menjadi catatan juga dalam memandang gerakan mahasiswa di Indonesia sekarang, yakni arus globalisasi yang begitu kencangnya menyebabkan sikap apatis terhadap keadaan sosial, yang berimplikasi pada apatis juga terhadap kesewenang-wenangan penguasa terhadap rakyat. Mahasiswa secara umum juga mengalami perubahan sikap, Perubahan ini disebabkan oleh, apa yang disebut Giddens sebagai sesuatu yang baru,21 seperti nongkrong di cafe, jalan-jalan ke mall merupakan gaya hidup baru beberapa kalangan mahasiswa, tidak lagi membaca, diskusi dengan kristis atau sekedar bercengkrama dengan sesama mahasiswa dalam menyikapi persoalan sekitar.
-
PENUTUP
Gerakan mahasiswa atau gerakan kaum muda yang terpelajar di Indonesia merupakan salah satu pemain penting dalam sejarah pepolitikannya, dimulai pergerakan menemukan nasionalisme 1908, deklarasi nasional 1928, proklamasi 1945, konsilidasi demokrasi 1966, Malari 1974 dan reformasi 1998. Semuanya tidak bisa dilepas dari peran gerakan mahasiswa di Indonesia.
Perlu dibedakan bahwa gerakan mahasiswa 1966 dalam meruntuhkan Orde Lama beraliansi dengan militer, khususnya Angkatan Darat, dan persekutuan ini pecah pada tahun 1974 dan gerakan mahasiswa dikebiri habis-habisan sejak tahun 1978 dengan pemberlakuan NKK/BKK. Mulai tumbuh benih-benih kritis mahasiswa terhadap penguasa sejak awal dekade 1990an, puncaknya 20 Mei 1998 reformasi dimulai dengan tanda runtuhnya rezim Soeharto.
Pasang surut gerakan mahasiswa berhubungan erat dengan mengetat dan mengendurnya sistem politik yang diambil negara. Format aktivitas yang dipilih mahasiswa bukan semata-mata pilihan bebas berdasarkan perkembangan kesadaran subyektif mahasiswa, melainkan lebih jauh lagi akibat intervensi mekarnya artikulasi kekuasaan negara. Posisi riil negara bukanlah pengayom, pengawas dan pembina, tetapi sebagai partner. Hanya saja pada kondisi sekarang, artikulasi kekuatan negara dan masyarakat begitu tidak berimbang. Negara menjadi sangat dominan.
Momentum untuk bergerak sebenarnya banyak, cuma dalam mendesain grand isue yang agak kesulitan, sebab masing-masing komponen gerakan lebih mementingkan ego sektoralnya. Pencabangan isu menyebabkan juga pencabangan gerakan dan aksi sehingga tidak terlihat masif dan kurang memberikan efek tekanan terhadap penguasa, misalkan organosasi A mengawal isu korupsi, B fokus advokasi masyarakat marginal, C sibuk mempertahankan kekuasaan di kampus dan yang lainnya malah asyik aksi solidaritas timur tengah. Seharusnya ada satu isu bersama yang diusung, melahirkan sebuah musuh bersama, maka akan ada gerakan masif, tinggal menunggu pemicu dan gerakan besar-besaran akan lahir.
Persoalan mendasar dari gerakan mahasiswa saat ini adalah sulitnya menemukan momentum. Jika kita simak secara seksama, banyak faktor yang mempengaruhi situasi ini, pertama gerakan mahasiswa harus segera menemukan jati dirinya kembali sebagai agen perubahan (agent of change) dan gerakan moral (moral movement). Kedua, harus mampu berkontekstualisasi dengan isu–isu kerakyatan, sehingga tidak lagi berjarak dengan gerakan masyarakat sipil lainnya. Ketiga, mampu membangun konsistensi sehingga tidak lagi muncul gerakan parsial dan sporadis.
Akhir kata, konsep yang jelas dalam usaha perubahan sosial adalah syarat utama dalam membangun kembali Indonesia. Perjuangan belum selesai kawan…..!
“Bunda relakan darah juang kami untuk bebaskan rakyat”
DAFTAR PUSTAKA
Masoed, Mochtar dan Colin MacAndrews, Perbandingan Sistem Politik, cet. II, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1981;
Fatah, Eep Saefullah, Catatan Atas Gagalnya Politik Orde baru, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998;
Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, edisi revisi, cet. IV, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2010;
Bottomore, Tom, Sosiologi Politik, terj. Sahat Simamora, cet. II, Jakarta : Rineka Cipta, 1992;
Lev, Daniel S., Hukum dan Politik di Indonesia : Kesinambungan dan Perubahan, terj. Nirwono dan A E Priyono, Jakarta : LP3ES, 1990;
Webber, Max, Sosiologi, terj. Noorkholish, cet. II, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009;
Usman, Sunyoto, Jalan Terjal Perubahan Sosial, Yogyakarta : CIReD dan Jejak Pena, 2004;
Widjojo (edt.), Muridan S., Penakluk Rezim Orde Baru, Gerakan Mahasiswa 1998, Jakarta : Pustaka Sinar harapan, 1999;
Mardjono, Hartono, Politik Indonesia (1996-2003), Jakarta : Gema Insani Press, 1996;
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi : Dari teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, alih bahasa Nurhadi, cet ke V, Bantul : Kreasi Wacana, 2010.
http://www.syaldi.web.id
www.gitacintanyawilis.blogspot.com