Category Archives: rekruitmen politik

Quo Vadis Gerakan Mahasiswa

  1. PENDAHULUAN

Sering kita mendengar di berbagai media tentang demonstrasi mahasiswa menentang sebuah kebijakan, baik yang berhubungan langsung dengan mahasiswa maupun kebijakan yang tidak bersentuhan secara langsung. Eksistensi mahasiswa di Indonesia memang begitu terlihat sejak sejarah negeri ini mulai ada, dimulai dari pergerakan Boedi Oetomo dan Soempah Pemoeda sampai Reformasi, semuanya ada hubungan yang kuat dengan keberadaan mahasiswa. Maka sering pula disebutkan bahwa mahasiswa merupakan agent of change, karena mahasiswa selalu terlibat dalam setiap fase perubahan di negeri ini, khususnya dalam bidang politik.

Gerakan mahasiswa merupakan salah satu dari sekian banyak kelompok penekan dalam sebuah sistem politik, atau kadang disebut juga kelompok kepentingan. Melihat fenomena yang ada di Indonesia, Gerakan mahasiswa bisa dikategorikan ke dalam kelompok kepentingan anomis, yaitu kelompok kepentingan yang terbentuk secara spontan dan kebanyakan bersifat seketika.1

Keterlibatan gerakan mahasiswa dalam setiap momen perubahan tidak terlepas dari karakter khusus yang dimiliki oleh mahasiswa, yaitu sebagai golongan terpelajar dan terkesan terbatas. Meningkatnya peran mahasiswa dalam kehidupan politik dipengaruhi oleh dua faktor,2 yaitu Pertama, mahasiswa sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik dan kedua, sebagai kelompok yang paling lama duduk di bangku sekolah, mahasiswa yang sekolah sampai ke jenjang universitas telah mengalami berbagai macam sosialisasi politik. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup yang unik bagi mahasiswa, di kampus mahasiswa bersosialisasi dengan beragam agama, suku, bahasa dan pemikiran. Keempat, mahasiswa akan memasuki lapisan atas dari kekuasaan dan kelima, orientasi universitas menyebabkan meningkatnya jiwa kepemimpinan mahasiswa.

Oleh karena faktor itulah mahasiswa, atau lebih tepatnya gerakan mahasiswa, merupakan suatu kaum muda yang berfikir, dalam hal ini sering dinamakan barisan kaum intelijensia dan akhir-akhir ini merupakan pelaku utama sejarah, tentunya bersama massa rakyat.3Tahun 1998 menjadi satu catatan tersendiri dalam sejarah perubahan di Indonesia. Dilatarbelakangi krisis ekonomi yang berkepanjangan dan berlanjut menjadi krisis multi-dimensi, sebuah usaha perubahan sosial yang dimotori oleh gerakan mahasiswa yang didukung oleh kesadaran bersama dari para mahasiswa. Momen ini kemudian berkembang menjadi suatu gerakan bersama yang menuntut perubahan dibeberapa bidang, khususnya sistem pemerintahan

Gerakan mahasiswa tahun 1998 adalah salah satu faktor pendobrak bagi terciptanya kebebasan sipil politik yang tersandera selama 32 tahun lamanya. Namun setelah reformasi, tidak ada lagi satu gelembung besar gerakan mahasiswa, justru yang nampak hanya riak–riak kecil dan terpecah dengan isu–isu sektoral dan tidak sedikit pula yang masuk dalam perangkap pragmatisme politik penguasa. Fenomena ini jelas terlihat dalam potret gerakan mahasiswa saat ini yang semakin nampak eksklusif dan kurang kontekstual dengan isu–isu kerakyatan. Sering terlihat dalam aksi–aksi mahasiswa, meskipun memiliki pilihan isu yang sama namun dalam aksi tidak bisa berjalan bersama.

Melihat konteks gerakan mahasiswa di Indonesia, khususnya pasca Reformasi yang tidak masif, menimbulkan beberapa Permasalahan, yaitu : bagaimana historisitas gerakan mahasiswa di Indonesia? Serta kenapa gerakan mahasiswa setelah reformasi 1998 kurang masif dan kurang memberikan efek tekanan yang kuat terhadap pemerintahan?

  1. PARTISIPASI POLITIK GERAKAN MAHASISWA

  1. Partsipasi Politik dan Kelompok Kepentingan

Partisipasi politik dalam era politik modern merupakan masalah yang penting, sebab hal ini menyangkut konsep demokrasi itu sendiri yang harus melibatkan rakyat dalam setiap kebijakan atau suksesi. Miriam Budiardjo merumuskan partisipasi politik merupakan kegiatan seseorang atau kelompok untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan negara, dan mempengaruhi kebijakan pemerintah.4 Untuk itulah diperlukan partisipasi aktif masyarakat dalam pemerintahan, namun ada bentuk partisipasi lain, yakni melalui kelompok-kelompok, karena suara satu orang dalam Pemilu sangat kecil pengaruhnya terhadap pmerintahan.

Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah bisa menolong maupun menyulitkan rakyat, karena itu warga negara sangat memperhatikan dan berkepentingan dengan keputusan-keputusan yang diambil oleh pemerintah, maka mereka menyatakan kepentingan itu kepada badan-badan politik dan pemerintahan melalui kelompok-kelompok yang mereka bentuk bersama demi kepentingan bersama. Secara umum kelompok kepentingan merupakan organisasi yang berusaha mempengaruhi kebijakan pemerintah tanpa, pada waktu yang sama, berkehendak pada jabatan publik.5

Kelompok-kelompok kepentingan tersebut harus mempunyai suatu mekanisme dalam mempengaruhi pemerintahan, agar kepentingannya didengarkan serta dilaksanakan oleh pemegang kebijakan, maka diperlukan suatu gerakan sosial dalam usaha mewujudkannya. Ralph H. Turner dan Lewis M. Killian, seperti dikutip oleh Tom Bottomore, merumuskan gerakan sosial merupakan suatu usaha bersama untuk meningkatkan atau menentang perubahan dalam masyarakat di mana usaha tersebut memainkan peran.6 Gerakan ini lebih merupakan suatu kelompok yang mengikuti suatu pandangan sosial atau diktrin tertentu, yang menempatkan dirinya dalam perdebatan politik sehari-hari dan yang karenanya siap berperanserta di dalam kegiatan seperti demonstrasi atau riotous assemblies. Daniel S. Lev berpandangan bahwa gerakan sosial pada umumnya produk kelas menengah yang sedang tumbuh yang berupaya untuk menata kembali negara dan masyarakat sesuai dengan tujuan mereka.7

Kelompok kepentingan dalam sosiologi politik secara umum dapat dibagi menjadi empat macam,8 yaitu :

  1. Kelompok Anomis, yakni kelompok yang terbentuk di antara unsur-unsur dalam masyarakat secara spontan dan hanya seketika;

  2. Kelompok Non-Assosionil, yaitu kelompok yang terbentuk berdasarkan primordialisme kesukuan atau keluarga aristokrat;

  3. Kelompok Instutusionil, merupakan kelompok yang terbentuk bersifat formil yang biasanya berbasis di militer, birokrat dan badan legislatif dan sebagainya;

  4. Kelompok Assosionil, kelompok ini menyataka kepentingan dari kelompok khusus, seperti serikat buruh industrialis, advokat dan paguyuban etnis.

Supaya efektif dalam mencapai tujuan dan mendapatkan keinginannya, faktor kemampuan mengerahkan dukungan, tenaga, dan sumber daya yang dimiliki sangat menentukan dalam gerakan itu. Selain itu, faktor ektern seperti isu yang sedang terjadi juga merupakan faktor menentukan dalam gerakan sebuah kelompok kepentingan. Namun demikian, supaya lebih efektif, kelompok kepentingan harus mampu mencapai, atau berhubungan langsung dengan, para pembuat keputusan politik utama. Biasanya, metode yang digunakan adalah dengan cara demonstrasi, dengan atau tanpa kekerasan, dan melalui hubungan pribadi dengan para pembuat kebijakan utama di dalam pemerintahan.9

  1. Gerakan Mahasiswa

Gerakan mahasiswa selama ini belum ada yang mendefenisikannya secara rinci, namun jika ditinjau dari segi sosiologi gerakan mahasiswa merupakan sebuah perilaku kolektif yang dilakukan oleh mahasiswa. perilaku kolektif adalah tindakan-tindakan yang tidak terstruktur dan spontan dimana perilaku konvensional (lama) sudah tidak dirasakan tepat atau efektif. Lebih jauh lagi, perilaku kolektif merupakan perilaku yang (1) dilakukan oleh sejumlah orang (2) tidak bersifat rutin dan (3) merupakan tanggapan terhadap rangsangan tertentu.10 Mahasiswa merupakan orang yang sedang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Dari defenisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa gerakan mahasiswa merupakan tindakan yang tidak terstruktur dan spontan oleh mahasiswa terhadap persoalan tertentu, biasanya keadaan lama kurang atau tidak tepat dan efektif.

Neil Smelser memberikan pendekatan yang lebih komprehensif dalam munculnya perilaku kolektif. Menurutnya, ada enam syarat pra-kondisi yang harus terjadi; struktural (structural conducivenes), ketegangan struktural (structural strain), kemunculan dan penyebaran pandangan, faktor pemercepat (precipitating factors), Mobilisasi tindakan (mobilization for action), dan pelaksanaan kontrol sosial (operation of social control).11

Gerakan mahasiswa mulai dikenal luas dan besar, bersama gerakan sosial lainnya, sejak dekade 1960an. Ide gerakan ini pada kenyataannya sangat berhubungan dengan peristiwa pada masa itu, yang mana secara tiba-tiba melahirkan gerakan berskala besar yang menampakkan suatu ketidaksenangan yang mendalam dan oposisi terhadap aturan politik dan sosial yang ada.12 Ini diikuti dengan dua dasawarsa konsilidasi stable democracy di dunia Eropa Barat, dan konsilidasi stable autocracies di Eropa Timur, serta proses modernisasi dan industrialisasi gradual di negara berkembang dan baru merdeka.

  1. Perjalan Gerakan Mahasiswa Indonesia

Historisitas gerakan mahasiswa di Indonesia memang sangat unik, jika Tom Bottomore mengatakan bahwa di dunia mulai dikenalnya gerakan mahasiswa sejak era 1960an, maka Indonesia telah dimulai sejak 1900an, yakni setelah pemerintah Hindia Belanda memberlakukan politik etis bagi rakyat Indonesia. Dalam politik etis yang dipopulerkan oleh Van Deventer (kelak dikenal dengan “trias van Deventer”), itu meliputi tiga hal: edukasi (pendidikan), irigasi (pengairan) dan transmigrasi (perpindahan penduduk). Ketiga itu kalau dilihat semacam “balas jasa” kaum kolonialis atas kaum pribumi. Salah satu hasil politik ini ialah didirikannya STOVIA (School tot Opleiding voor Indlandsche Art-sen), tempat lahir organisasi nasional, yang didirikan oleh mahasiswa yakni Wahidin Sudirohusodo dan dr. Sutomo. Jika Budi Utomo coraknya masih bersifat kedaerahan sebagai gerakan kultural kaum priyayi Jawa, kemudian muncul lembaga lain seperti Jong Java, Jong Sumatera, Song Ambon, Jong Celebes dan lainnya yang bersifat kepemudaan.

Sekitar enam bulan setelah berdiri Budi Utomo,di Belanda juga berdiri lembaga Perhimpunan Indonesia (PI) dengan ketuanya seorang mahasiswa asal Sumatera Barat, Mohammad Hatta. Gerakan ini begitu gencar mempopulerkan nama “Indonesia” di negeri kincir angin itu. Perjuangan mahasiswa dan pemuda kemudian mengalami proses penyatuan. Tentunya pernyatuan gerakan ini berguna untuk memerdekan diri dari kaum penjajah Belanda. Akhirnya pada Kongres Pemuda kedua pada tanggal 28 Oktober 1928, lahirlah Sumpah Pemuda,13 yang mengikrarkan berbangsa, bertanah-air dan berbahasa Indonesia.

Pada akhir tahun 1944, berdiri organisasi bernama “Angkatan Muda” yang dalam konferensinya menghasilkan beberapa resolusi antara lain: Pertama, seluruh golongan harus dipersatukan dan disentralisasi di bawah satu pimpinan tunggal. Kedua, kemerdekaan Indonesia harus diwujudkan secepat mungkin.14 Pada tahun 1945 Jepang menyerah pada Amerika dan sekutunya. Di kalangan pergerakan timbul ketegangan apakah segera mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia atau menunggu. Akhirnya kaum muda seperti Sukarni dan Chairul Saleh serta kawan-kawannya kemudian membawa Bung Karno dan Hatta ke Rengasdengklok untuk mendesak proklamasi kemerdekaan. Akhirnya, merdekalah kita.

Pada tahun 1955 dilaksanakanlah Pemilu pertama pada kabinet Burhanuddin Harahap. Terpilihlah anggota dewan Konstituante yang bertugas membuat konstitusi. Karena konstitusi tidak jadi, lebih tepatnya dea dlock, akhirnya Bung Karno pun membubarkan Konstituante lewat Dekrit 5 Juli 1959. Turunan dari Dekrit adalah berlakulah sistem Demokrasi Terpimpin dibawah Bung Karno. Bahwa BK berkeinginan menjadi “presiden seumur hidup.” Karena kebijakan ini, akhirnya timbul perlawanan dari kaum muda mahasiswa. Terlebih dengan terjadinya peristiwa G30S PKI pada 1965. Pada tahun 1966, gerakan massa mahasiswa pun bergerak. KAMI, KAPPI dan militer bergerak bersama menumbangkan rezim Orde Lama Bung Karno. Ketika Bung Karno jatuh, kepemimpinan dilanjutkan oleh Soeharto.15

Di tahun 1974 terjadi peristiwa besar dalam dunia gerakan mahasiswa. Ketika itu mahasiswa menolak penanaman modal asing dari Jepang. Ketika seorang pembesar Jepang ke Jakarta, maka demonstrasi pun menyeruak. Terjadi pembakaran dan chaos. Pemerintah menyebut kejadian ini dengan “Malapetaka Lima Belas Januari” (Malari),16aksi ini menandai berakhirnya aliansi mahasiswa dan militer. Akibat aksi ini kemudian, lewat SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef No.0156/U/1978, terbitlah “Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK)/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK)”. Artinya bahwa mahasiswa harus kembali ke kampus, menjadikan kampus sebagai tempat belajar sebagaimana mestinya, tidak bergerak dalam ranah politik, dan membubarkan Dewan Mahasiswa (Dema).

Sebagai alternatif terhadap suasana birokratis dan apolitis wadah intra kampus, di awal-awal tahun 80-an muncul kelompok-kelompok studi yang dianggap mungkin tidak tersentuh kekuasaan refresif penguasa.17 Kelompok Studi (KS) merupakan arena untuk mengasah kemampuan kritis mereka atas persoalan sosial dan politik. KS muncul sebagai alternatif akibat ketidakmampuan organisasi mahasiswa formal di kampus untuk menyalurkan ide-ide kritis mahasiswa mengenai perubahan sosial. Era KS dimulai sejak 1982-1983, kemunculannya yang meskipun berjumlah kecil dan hanya terdapat di kota-kota tertentu mampu meramaikan kembali gerakan mahasiswa. Pemikiran-pemikiran kritis yang dikaji dalam KS antara lain karya Karl Marx, Paolo Freire, Ivan Illich, Jurgen Habermas, dan Michael Foucalt.

Krisis moneter 1997 bermula dari jatuhnya mata uang Thailand (Bath) dan kemudian menyapu seluruh Asia Tenggara. Pada bulan Juli 1997 nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika menurun dari Rp. 2400,- menjadi di atas Rp. 16.000,- yang berakibat terjadinya lonjakan pengangguran, industri gulung tikar, dan perdagangan macet. Untuk mengatasi hal tersebut, Soeharto memohon bantuan kepada negara-negara imperialis melalui IMF dengan syarat Indonesia harus mencabut subsidi terhadap barang-barang kebutuhan pokok. Akhirnya, Soeharto mengumumkan kenaikan tarif transportasi umum, hanya beberapa jam setelah sebelumnya mengumumkan kenaikan listrik dan BBM (bahan bakar minyak), sesuai dengan rekomendasi IMF untuk mengurangi subsidi bagi kedua komoditas tersebut. Ketika rupiah jatuh pada nilai Rp. 10.000,- terhadap dolar Amerika, Soeharto kembali membuat konsensus dengan IMF dengan mencabut subsidi atas BBM dan listrik. Akibatnya, harga bahan bakar naik sebesar 47% dan listrik rata-rata naik sebesar 60%.

Mahasiswa menemukan momentumnya seiring dengan krisis ekonomi yang terjadi tersebut. Dalam kurun waktu awal Februari sampai Mei 1998, secara kuantitatif dan kualitatif gerakan mahasiswa naik secara drastis, dari tuntutan yang sudah politis dan metode yang radikal.18 Pelaku gerakan pada masa ini bukan hanya organisasi-organisasi gerakan yang sudah lama bergerak sejak tahun 80an melainkan juga kalangan aktivis kampus dari organisasi-organisasi seperti Senat Mahasiswa, BEM, dan senat-senat fakultas. Para aktor dari kalangan kampus ini menyebut gerakan mereka sebagai gerakan “moral” dengan format aksi keprihatinan di kampus. Mereka juga banyak didukung oleh para staf pengajar dan pimpinan perguruan tinggi yan menjadikan gerakan mahasiswa sebagai gerakan civitas academica. Pada 20 Mei 1998 menjadi saksi sejarah. Lewat demonstrasi besar-besaran, akhirnya di pagi menjelang siang, Suharto menyatakan mundur secara legowo. Kemudian digantikan oleh BJ. Habibie yang waktu itu menjabat wapres.

  1. QUO VADIS GERAKAN MAHASISWA

Sejak runtuhnya Orde Lama, aktivis mahasiswa terbelah menjadi dua pandangan, yakni gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral atau sebuah gerakan politik.19 Pandangan pertama memandang energi politik mahasiswa seharusnya diletakkan sebagai kekuatan penggerak perubahan ketika institusi politik tidak mampu melakukan peran sesuai dengan tuntutan sektor publik. Dengan demikian, mahasiswa berada di luar institusi birokrasi dan politik, namun tetap melakukan fungsi kontrol politik, karena jika dibiarkan rakyat yang akan menderita. Pandangan kedua beranggapan bahwa mahasiswa harus menjadi pemain aktif dalam percaturan politik, dengan ini mahasiswa lebih leluasa meneruskan perjuangannya demi kepentingan rakyat banyak. Namun posisi ini berada posisi dilematis, satu sisi lebih leluasa dan mempunyai kekuatan dalam menentukan kebijakan, namun di sisi lain gerakan mahasiswa sering, atau lebih tepat ditakutkan, terjebak pada vested intererst dan terkooptasi oleh kepentingan rezim.

Dalam perkembangan selanjutnya pergerakan mahasiswa melihat bahwa isu yang satu dapat berkembang pada isu yang lain. Hal ini mungkin disebabkan oleh sifat instant yang mempengaruhi pola perilaku mahasiswa. Sifat ini tidak melihat lebih dalam mengenai masalah yang ada, dalam arti setiap masalah sebenarnya mempunyai akar permasalahan yang terlebih dahulu mendapat perhatian. Keadaan ini membuat gerakan mahasiswa tidak terfokus pada satu isu, fatal bagi gerakan karena tidak bisa masif karena terpecah pada berbagai isu, seharusnya pengawalan terhadap beberapa isu bisa dibuat suatu isu sentral agar gerakan bisa fokus dan tidak terpecah sehingga gerakan bisa optimal dan maksimal.

Penemuan pada akar permasalahan memungkinkan mahasiswa untuk menyuarakan isu yang tepat sasaran sehingga mereka konsisten dalam gerakannya. Namun, karena pada kenyataannya mahasiswa kadang tidak memiliki basis konsep yang jelas sehingga perhatian awal mudah sekali menyimpang atau lebih parah lagi mengalami perubahan yang bertolak belakang dengan isu awal. Gerakan mahasiswa di Indonesia kemudian mengalami perubahan dari sebuah gerakan moral menyuarakan masalah-masalah sosial-permasalahan yang sehari-hari dihadapi oleh masyarakat-kemudian berubah menjadi sebuah gerakan politik. Gerakan mahasiswa sebaiknya kembali menjadi gerakan yang mempunyai pandangan lebih mendalam dalam berbagai masalah sosial yang melanda bangsa ini.

Setelah reformasi 1998 banyak organisasi mahasiswa yang terkena virus oligopoli politik. Bentuk oligopoli politik menyebabkan : pertama, elit orsospol akan merasa sebagai agen tunggal dari kehendak dan dan hal-hal yang diinginkan oleh pemegang kekuasaan negara sehingga dapat bertindak sewenang-wenang dalam internal orsospolnya. Keadaan ini jika terjadi perpecahan masing-masing kelompok akan mengundang pihak luar untuk menambah kekuatannya, yang mendapat restu kekuasaan akan mengundang penguasa, demikian juga dengan yang tidak sejalan dengan penguasa akan mendapat dukungan dari fihak yang berlawanan dengan pemerintah. Kedua, keadaan ini akan mengakibatkan benturan kepentingan dalam orsospol tersebut, baik benturan sesama didukung penguasa maupun benturan antara yang didukung penguasa dengan yang didukung fihak yang berlawanan dengan penguasa. Dengan kondisi orsospol yang seperti ini akan sulit terbentuk orsospol sebagai penyalur aspirasi politik rakyat, sikap politik orsospol akan sering tidak sejalan dengan kehendak rakyat pada umumnya, hal ini mengakibatkan jurang yang semakin lebar antara rakyat dan pemerintah.20 Karena di dalam tubuh organisasi kemahasiswaan banyak terjadi perpecahan dan perebutan kekuasaan, belum lagi hal ini juga disebabkan pengkultusan kader gerakan terhadap senior yang telah menjadi pejabat, atau mungkin memang alumni organisasi itu sendiri melakukan intervensi terhadap adek-adeknya yang menjadi pengurus di gerakan mahasiswa itu sendiri.

Dalam konteks gerakan mahasiswa kekinian di Indonesia, keenam syarat prilaku kolektif harus terpenuhi kalau ingin gerakannya kembali masif, yaitu ; pertama kondisi sosial masyarakat yang mendukung aksi-aksi mahasiswa, kedua adanya kesamaan rasa tertindas oleh pemerintah, ketiga penyebaran serta gagasan dengan landasan kebenaran, hak asasi manusia dan rakyat sebagai dasar perjuangan, keempat adanya faktor pemicu, kelima adanya usaha mobilisasi aksi dengan berbagai elemen masyarakat dan terakhir adalah adanya tekanan dari negara atau bentuk kontrol sosial lainnya yang berusaha menggagalkan/menggangu proses perubahan. Gerakan mahasiswa 1908, 1928, 1945, 1966, 1974 dan 1998 keenam syarat itu telah tercukupi, sekarang keenam syarat ini relatif sulit untuk mencari momentnya, belum lagi jika dilihat bahwa pemerintahan sekarang relatif kuat karena dipilih oleh rakyat secara langsung.

Menjadi catatan juga dalam memandang gerakan mahasiswa di Indonesia sekarang, yakni arus globalisasi yang begitu kencangnya menyebabkan sikap apatis terhadap keadaan sosial, yang berimplikasi pada apatis juga terhadap kesewenang-wenangan penguasa terhadap rakyat. Mahasiswa secara umum juga mengalami perubahan sikap, Perubahan ini disebabkan oleh, apa yang disebut Giddens sebagai sesuatu yang baru,21 seperti nongkrong di cafe, jalan-jalan ke mall merupakan gaya hidup baru beberapa kalangan mahasiswa, tidak lagi membaca, diskusi dengan kristis atau sekedar bercengkrama dengan sesama mahasiswa dalam menyikapi persoalan sekitar.

  1. PENUTUP

Gerakan mahasiswa atau gerakan kaum muda yang terpelajar di Indonesia merupakan salah satu pemain penting dalam sejarah pepolitikannya, dimulai pergerakan menemukan nasionalisme 1908, deklarasi nasional 1928, proklamasi 1945, konsilidasi demokrasi 1966, Malari 1974 dan reformasi 1998. Semuanya tidak bisa dilepas dari peran gerakan mahasiswa di Indonesia.

Perlu dibedakan bahwa gerakan mahasiswa 1966 dalam meruntuhkan Orde Lama beraliansi dengan militer, khususnya Angkatan Darat, dan persekutuan ini pecah pada tahun 1974 dan gerakan mahasiswa dikebiri habis-habisan sejak tahun 1978 dengan pemberlakuan NKK/BKK. Mulai tumbuh benih-benih kritis mahasiswa terhadap penguasa sejak awal dekade 1990an, puncaknya 20 Mei 1998 reformasi dimulai dengan tanda runtuhnya rezim Soeharto.

Pasang surut gerakan mahasiswa berhubungan erat dengan mengetat dan mengendurnya sistem politik yang diambil negara. Format aktivitas yang dipilih mahasiswa bukan semata-mata pilihan bebas berdasarkan perkembangan kesadaran subyektif mahasiswa, melainkan lebih jauh lagi akibat intervensi mekarnya artikulasi kekuasaan negara. Posisi riil negara bukanlah pengayom, pengawas dan pembina, tetapi sebagai partner. Hanya saja pada kondisi sekarang, artikulasi kekuatan negara dan masyarakat begitu tidak berimbang. Negara menjadi sangat dominan.

Momentum untuk bergerak sebenarnya banyak, cuma dalam mendesain grand isue yang agak kesulitan, sebab masing-masing komponen gerakan lebih mementingkan ego sektoralnya. Pencabangan isu menyebabkan juga pencabangan gerakan dan aksi sehingga tidak terlihat masif dan kurang memberikan efek tekanan terhadap penguasa, misalkan organosasi A mengawal isu korupsi, B fokus advokasi masyarakat marginal, C sibuk mempertahankan kekuasaan di kampus dan yang lainnya malah asyik aksi solidaritas timur tengah. Seharusnya ada satu isu bersama yang diusung, melahirkan sebuah musuh bersama, maka akan ada gerakan masif, tinggal menunggu pemicu dan gerakan besar-besaran akan lahir.

Persoalan mendasar dari gerakan mahasiswa saat ini adalah sulitnya menemukan momentum. Jika kita simak secara seksama, banyak faktor yang mempengaruhi situasi ini, pertama gerakan mahasiswa harus segera menemukan jati dirinya kembali sebagai agen perubahan (agent of change) dan gerakan moral (moral movement). Kedua, harus mampu berkontekstualisasi dengan isu–isu kerakyatan, sehingga tidak lagi berjarak dengan gerakan masyarakat sipil lainnya. Ketiga, mampu membangun konsistensi sehingga tidak lagi muncul gerakan parsial dan sporadis.

Akhir kata, konsep yang jelas dalam usaha perubahan sosial adalah syarat utama dalam membangun kembali Indonesia. Perjuangan belum selesai kawan…..!

Bunda relakan darah juang kami untuk bebaskan rakyat”

DAFTAR PUSTAKA

Masoed, Mochtar dan Colin MacAndrews, Perbandingan Sistem Politik, cet. II, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1981;

Fatah, Eep Saefullah, Catatan Atas Gagalnya Politik Orde baru, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998;

Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, edisi revisi, cet. IV, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2010;

Bottomore, Tom, Sosiologi Politik, terj. Sahat Simamora, cet. II, Jakarta : Rineka Cipta, 1992;

Lev, Daniel S., Hukum dan Politik di Indonesia : Kesinambungan dan Perubahan, terj. Nirwono dan A E Priyono, Jakarta : LP3ES, 1990;

Webber, Max, Sosiologi, terj. Noorkholish, cet. II, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009;

Usman, Sunyoto, Jalan Terjal Perubahan Sosial, Yogyakarta : CIReD dan Jejak Pena, 2004;

Widjojo (edt.), Muridan S., Penakluk Rezim Orde Baru, Gerakan Mahasiswa 1998, Jakarta : Pustaka Sinar harapan, 1999;

Mardjono, Hartono, Politik Indonesia (1996-2003), Jakarta : Gema Insani Press, 1996;

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi : Dari teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, alih bahasa Nurhadi, cet ke V, Bantul : Kreasi Wacana, 2010.

http://www.syaldi.web.id

www.gitacintanyawilis.blogspot.com

 

1 Macam-macam kelompok kepentingan bisa dibagi menjadi kelompok anomis, non-asosional, institusionil dan kelompok asosionil. Lihat : Gabriel A Almond ,”Kelompok Kepntingan dan Partai Politik”, dalam Mochtar Masoed dan Colin MacAndrews, Perbandingan Sistem Politik, cet. II, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1981), hlm. 51-52.

2 Arbi Sanit, “Mahasiswa dan Angkatan Muda Indonesia : Kekuatan Politik Anomie” dalam : Ibid…, hlm. 226-229.

3 Eep Saefullah Fatah, Catatan Atas Gagalnya Politik Orde baru, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 273-274.

4 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, edisi revisi, cet. IV, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm. 367.

5 Gabriel A Almond, …log. It., hlm. 50.

6 Tom Bottomore, Sosiologi Politik, terj. Sahat Simamora, cet. II, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992), hlm. 28-29.

7 Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia : Kesinambungan dan Perubahan, terj. Nirwono dan A E Priyono, (Jakarta : LP3ES, 1990), hlm. 516.

8 Gabriel A Almond, …log. It., hlm. 51-53.

9Ibid., hlm. 53-57.

10 Max Webber, Sosiologi, terj. Noorkholish, cet. II, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 220-222.

11 http://syaldi.web.id/2008/02/gerakan-mahasiswa-indonesia-tahun-1998-sebuah-proses-perubahan-sosial, diakses terakhir pada Hari Selasa tanggal 11 Oktober 2011 pukul 12.11 WIB.

12 Tom Bottomore, Sosiologi Politik….., hlm. 34-35.

13 Sumpah Pemuda merupakan deklarasi politik mahasiswa/kaum muda Indonesia untuk menjadi sebuah negara yang merdeka. Momen ini menandakan untuk pertama kalinya anak muda Indonesia mengambil sikap dalam politik. Lihat : Arbi Sanit, Log. Cit., hlm. 225.

14 http://gitacintanyawilis.blogspot.com/2010/04/dinamika-gerakan-mahasiswa-dalam.html, diakses terakhir pada hari selasa tanggal 11 Oktober 2011 pukul 12.21 WIB.

15 Sunyoto Usman, Jalan Terjal Perubahan Sosial, (Yogyakarta : CIReD dan Jejak Pena, 2004), hlm. 119-121.

16 Dalam peristiwa Malari 9 orang meninggal dan 23 mengalami luka, sejumlah kendaraan dibakar, 700 ditahan dan 45 orang diadili. Lihat : Arbi Sanit, “Gerakan Mahasiswa 1970-1973 : Pecahnya Bulan Madu Politik”, dalam Muridan S. Widjojo (edt.), Penakluk Rezim Orde baru, Gerakan mahasiswa 1998, (Jakarta : Pustaka Sinar harapan, 1999), hlm. 54.

17 Irine H. Gayatri, “Arah Baru Perlawanan Gerakan Mahasiswa 1989,” dalam Muridan S. Widjojo, Ibid., hlm. 65.

18 Sebenarnya benih-benih reformasi dan aksi kecil-kecilan sudah mulai sejak peristiwa 27 Juli 1996, yakni penyerangan massa pendukung PDI Soerjadi terhadap kantor PDI kubu Megawati sebelum Pemilu 1997, peristiwa ini sering dikenal dengan sebutan Peristiwa Sabtu Kelabu. Lihat : Sunyoto Usman, Jalan Terjal…., hlm. 128.

19Ibid., hlm. 129.

20 Hartono Mardjono, Politik Indonesia (1996-2003), (Jakarta : Gema Insani Press, 1996), hlm. 87-88.

21 George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi : Dari teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, alih bahasa Nurhadi (Bantul : Kreasi Wacana, cet ke V, 2010), hlm. 607-611.

 

Strong Bicameral dalam Prinsip Pemisahan Kekuasaan dengan Konsep Check and Balances

  1. PENDAHULUAN.

Sebagai negara yang konstitusional, Indonesia memisahkan kekuasaan negaranya menjadi legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pemisahan ini secara teoritis merupakan upaya agar terjaminnya hak-hak warga negara dan tidak ada pemerintahan yang absolut, karena kekuasaan yang absolut akan cenderung pada korup yang absolut pula. Di samping itu, penumpukan kekuasaan akan lebih bisa disalah gunakan untuk kepentingan kelompok, individu maupun sektarian lainnya demi tujuan masing-masing bukan demi kepentingan bersama.

Secara normatif dalam konstitusi Indonesia kekuasaan legislatif dipegang oleh DPR dan DPD secara bersama-sama, walaupun ada pembatasan kekuasaan legislatif yang dimiliki oleh DPD. Ketentuan mengenai kekuasaan legislatif diatur dalam UUD 1945 pada pasal 19, 20, 20A, 21, 22, 22A, 22B (struktur, kedudukan dan kewenangan DPR), serta 22C dan 22 D (struktur, kedudukan dan kewenangan DPD. Kekuasaan eksekutif dijalankan oleh Presiden (pasal 4 sampai pasal 17) dan kekuasaan yudikatif atau kekuasaan kehakiman dijalankan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi serta dibantu oleh Komisi Yudisial (pasal 24, 24A, 24B, 24C dan pasal 25). Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, Indonesia secara normatif bisa dikatakan sebuah negara yang demokrasi konstitusional, karena telah dengan jelas memisahkan kekuasaan negara dalam konstitusinya. Begitu pula dengan pengakuan dan perlindungan HAM, hubungan antara negara dan warga negara juga telah diatur dalam UUD 1945.

Walaupun demikian, masih ada persoalan yakni belum efektifnya mekanisme check and balances antar ketiga cabang kekuasaan tersebut karena struktur DPR direkrut dari Partai Politik dan juga presiden dari partai politik, sehingga dikhawatirkan terjadinya penumpukan kekuasaan pada satu tangan. Sedangkan DPD sebagai lembaga baru yang diharapkan bisa memberikan suasana baru dalam demokrasi Indonesia tidak mempunyai fungsi legislasi yang kuat.

Semenjak selesai amandemen ketiga UUD 1945 Indonesia secara konstitusional menerapkan model parlemen bicameral. Struktur parlemen Indonesia terdiri dari Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebagai forum untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah, hal inilah mengapa parlemen Indonesia disebutkan sebagai satu-satunya parlemen dengan bentuk trikameral di dunia.1

Indonesia dewasa ini, khususnya semenjak amandemen UUD 1945 hanya menerapkan keterwakilan politik dan keterwakilan wilayah, utusan golongan hanya dipakai pra-reformasi. Bentuk perwakilan politik yang dipilih dengan mekanisme partai politik pada Pemilu adalah terbentuknya DPR, sedangkan keterwakilan wilayah berbentuk DPD yang dipilih sebanyak empat orang untuk setiap provinsi.

Dewan Perwakilan Daerah yang merupakan bagian dari Parlemen tentunya juga mempunyai fungsi legislasi, yaitu kekuasaan untuk membuat Undang-undang. DPD sebagai wakil daerah dan bentuk perwakilan seluruh daerah yang ada di Indonesia tentunya harus memiliki hak dan wewenang dalam menentukan arah kebijakan negeri ini, namun dalam UUD 1945 hak membuat Undang-undang tidak didapatkan oleh DPD. Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 hanya memberikan kewenangan kepada DPD sampai sebatas (kewenang yang paling tinggi didapatkan) pembahasan Rancangan Undang-undang bersama DPR, Rancangan itupun baru sebatas Undang-undang yang hanya menyangkut permasalah otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di samping itu, DPD juga hanya memberikan pertimbangan kepada DPR dalam draft UU APBN serta UU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, muncul permasalahan dalam ketatanegaraan, yaitu bagaimana relasi prinsip pemisahan kekuasaan dengan mekanisme check and balances di Indonesia dengan soft bicameral pada parlemennya?

  1. REFRESENTASI RAKYAT DALAM PARLEMEN

  1. Demokrasi Konstitusional

Demokrasi konstitusional memiliki ciri khas dengan gagasan bahwa pemerintahan yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Pembantasan-pembantasan atas kekuasaan pemerintah tercantum dalam konstitusi.2 Pembatasan atas kekuasaan negara sebaiknya diselenggarakan dengan suatu konstitusi yang tertulis, yang dengan tegas menjamin hak-hak asasi dari warga negara. Di samping itu, keuasaan dibagi sedemikian rupa sehingga kesempatan penyalahgunaan diperkecil, dan tidak boleh memusatkan kekuasaan pemerintah kepada satu orang atau satu badan.3

Pemikir pertama yang mengemukakan teori pemisahan kekuasaan adalah seorang pemikir Inggris yang bernama John Locke dalam bukunya Two Treaties on Civil Government (1690). Locke memisahkan kekuasaan suatu negara menjadi kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan federatif. Kekuasaan legislatif bertugas membuat Undag-Undang, kekuasaan eksekutif mempunyai fungsi melaksanakan Undang-Undang, sedangkan kekuasaan federatif adalah kekuasaan yang meliputi pengaturan tentang perang dan damai, perserikatan dan aliansi serta segala tindakan dengan semua orang dan badan-badan di luar negeri.4 Locke menekankan bahwa kekuasaan legislatif merupakan kekuasan yang dipilih dan disetujui oleh rakyat, berwenang membuat UU dan merupakan kekuasaan tertinggi dalam suatu negara.5

Mengikuti jejak John Locke, dengan sedikit pengembangan Montesquieu dalam bukunya The Spirit of Law memisahkan tiga jenis kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasan yudikatif. Kekuasan legislatif adalah kekuasaan membuat, mengganti atau menghapus UU. Kekuasaan eksekutif mempunyai kewenangan menyatakan perang atau damai, mengirim atau menerima duta, menjamin dan menjaga keamanan umum serta menghalau musuh masuk. Sedangkan kekuasaan yudikatif memiliki kekuasaan menghukum para penjahat atau memutuskan perselisihan yang timbul antara orang perseorang.6

Montesquieu mengatakan bahwa tiga cabang kekuasan tersebut harus dipisahkan untuk menjaga dan menjamin kebebasan dalam suatu negara, jika kekuasaan legislatif dan eksekutif bergabung, maka akan lahir produk hukum yang tiran dan pelaksanaannyapun tiran pula. Jika kekuasan yudikatif begrgabung dengan eksekutif, hakim akan menjadi keras layaknya seorang penindas. Begitupun kalau legislatif digabungkan dengan kekuasaan legislatif, maka kehidupan dan kebebasan warga negara akan rentan terhadap kesewenang-wenangan.7

Pada awalnya Indonesia menganut prinsip pembagian kekuasaan, karena kekuasaan yang sesuangguhnya ada di tangan rakyat selanjutnya diberikan kepada MPR sepenuhnya, kemudian dari MPR baru dibagi kepada DPR, Presiden dan Mahkamah Agung. MPR di sini merupakan lembaga tertinggi negara sedangkan yang lainnya adalah lembaga tinggi negara yang kedudukannya di bawah MPR.8 Selanjutnya setelah Reformasi 1998, atau lebih tepatnya pasca amandemen UUD 1945, konsep Trias Politica menggunakan prinsip pemisahan kekuasaan, yakni kekuasaan yang ada di tangan rakyat dipisah-pisah ke dalam fungsi-fungsi lembaga negara.9 Jadi, terjadi perubahan prinsip dari pembagian ke pemisahan kekuasaan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia karena perubahan pada UUD 1945. Menurut UUD 1945 setelah diamandemen, kekuasaan legislatif dilaksanakan oleh DPR dan DPD. Kekuasaan eksekutif dilaksakan oleh Presiden, sedangkan kekuasaan yudikatif dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang juga “dibantu” oleh sebuah Komisi Yudisial.

  1. Demokrasi Perwakilan

Kedaulatan rakyat bisa berbentuk secara langsung maupun tidak langsung. Pada zaman Yunani kuno demokrasi atau kedaulatan rakyat masih dipratekkan secara langsung, mengingat pada waktu itu batas wilayah dan jumlah penduduk masih dalam batas yang masih sederhana. Pada era modern, dengan segala kompleksitasnya, demokrasi langsung tidaklah mungkin atau sulit sekali untuk diterapkan, maka diperlukan mekanisme yang tidak langsung, yaitu dengan mekanisme perwakilan kedaulatan rakyat di parlemen.

Parlemen merupakan bentuk manifestasi ataupun refresentasi rakyat, refresentasi ini bisa dijelaskan karena pada pelaksanaan pemilu rakyat memilih para calon anggota parlemen yang dia inginkan sebagai wakilnya untuk duduk di parlemen. Parlemen sebagai bentuk refresentasi rakyat digambarkan oleh Rouseau sebagai bentuk kontrak sosial antara individu-individu yang menghasilkan volumte generale dan dalam pelembagaan parlemen individu-individu tersebut mendelegasikan suaranya kepada orang yang mereka percayai. Selanjutnya Rousseau menyebutkan, masing-masing dari kita menaruh diri dan seluruh kekuatan di bawah pemerintahan tertinggi dari kehendak umum.10

Mengenai kedaulatan rakyat yang ada dalam negara dia menegaskan bahwa negara merupakan gabungan dari seluruh individu pada suatu wilayah untuk berkontrak secara sosial untuk membentuk negara.11 Dari paparan yang dikemukakan oleh Rousseau, jelaslah kiranya bahwa esensi pemerintahan, khususnya dalam pembahasan ini lembaga legislatif, merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat yang tercipta melalui mekanisme Pemilu dan merupakan bentuk dari perwakilan yang tidak secara langsung.

Bukan hanya Rousseau yang berpendapat bahwa kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat dan kewenangannya dijalankan oleh suatu lembaga, dalam kaitan ini Montesquieu juga berpendapat bahwa suatu negara yang republik demokratis kekuasan tertinggi dijalankan oleh suatu badan.12 Selanjutnya Montesquieu mengatakan bahwa syarat legitimasi suatu kekuasaan adalah dengan dipilihnya wakil-wakil rakyat yang bertugas untuk menjalankan pemerintahan, baik sebagai pembuat maupun pelaksana Undang-undang,13 dalam konteks ini rakyat pada satu sisi adalah pemegang kedaulatan, namun di sisi yang lain rakyat merupakan yang diperintah.

Legitimasi pemerintahan ada karena dipilih oleh rakyat, dalam hal ini Montesquieu menegaskan bahwa perlunya suatu badan yang menjadi refresentasi rakyat dan badan tersebut berhak memberikan perintah kepada rakyat yang memilihnya, karena badan tersebut sudah terlegitimasi melalui mekanisme pemilihan itu.

Suatu negara yang bebas setiap orang dipandang sebagai pihak yang bebas dan harus menjadi pengatur bagi dirinya sendiri, tetapi hal ini hampir mustahil bagi negara yang besar dan dalam negara yang kecil selalu menemui hambatan, maka dipandang tepat apabila rakyat melimpahkannya melalui wakil-wakil mereka apa yang tidak bisa mereka lakukan sendiri. Para penduduk sebuah wilayah lebih mengenal kebutuhan dan kepentingan mereka dibandingkan dengan penduduk wilayah lain, sehingga para anggota badan legislatif dipilih dari wilayah itu sendiri. Kelebihan dengan adanya perwakilan dengan demikian mereka lebih bisa mendiskusikan berbagai urusan, karena masalah ini tidak mugkin dilakukan oleh rakyat secara bersama, yang merupakan hambatan terbesar dalam demokrasi.14

Pelembagaan parlemen merupakan bentuk perwujudan kedaulatan rakyat, parlemen adalah refresentasi dari rakyat itu sendiri. Kedaulatan rakyat yang direfresentasikan oleh parlemen mutlak diperlukan sebagai bentuk keikut sertaan rakyat dalam menentukan kebijakan negara, rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara demokratis diwakili oleh orang-orang tertentu dalam parlemen, bentuk perwakilan rakyat secara umum dikenal 3 macam,15 yaitu :

  1. PoliticalRefresentation, yaitu perwakilan melalui prosedur partai politik

  2. Territory Refresentation, perwakilan daerah atau negara bagian dalam suatu negara di tingkat pusat

  3. Functional Refresentation, bentuk keterwakilan kelompok profesi, perguruan tinggi, serikat buruh/pekerja dan lain sebagainya.

  1. Parlemen Bikameral.

Parlemen sebagai lembaga yang menjalankan fungsi legislasi bertindak atas nama rakyat, keadaan ini dikarenakan para anggota parlemen dipilih oleh rakyat untuk mewakili kepentingannya, keterwakilan ini merupakan implikasi dari tidak atau sulit memungkinkan untuk melaksanakan demokrasi secara langsung. Berawal dari kedaulatan rakyat dan parlemen merupakan refresentasi rakyat, maka bentuk serta struktur, atau bahkan sampai pada tingkat tugas dan wewenang, parlemen haruslah disesuaikan dengan fondasi kehidupan rakyat.

Secara umum di dunia mengenal dua bentuk parlemen kalau dilihat dari jumlah badannya, yaitu sistem parlemen monokameral atau unicameral dan sistem parlemen bicameral atau dwikameral.16 Sistem monokameral ialah parlemen yang hanya punya satu kamar dalam bagunan parlemennya dan hanya ada komisi-komisi, contoh sistem satu kamar ini terdapat pada Kongres Rakyat Nasional di China atau yang diterapkan di Thailand. Sedangkan sistem bikameral yaitu parlemen tersebut terdiri dari dua kamar, biasanya masing-masing kamar mewakili entitas yang berbeda dalam suatu negara. Contoh sistem parlemen dua kamar bisa dilihat pada Congres Amerika Serikat yang terdiri dari House of Refresentative dan Senate, dapat juga dilihat dalam parlemen Inggris yang terdiri atas House of Commons dan House of Lord.17

Gagasan parlemen dua kamar yang paling terkenal adalah gagasan yang dicetuskan oleh Montesquieu, menurut Montesquieu badan perwakilan rakyat atau lembaga legislatif harus dijalankan oleh badan yang terdiri atas kaum bangsawan dan orang-orang yang dipilih untuk mewakili rakyat, yang masing-masing memiliki majelis dan pertimbangan mereka sendiri-sendiri, juga pandangan dan kepentingan sendiri-sendiri.18 Sistem parlemen dua kamar memungkinkan terjadinya double check pada setiap proses legislasi di parlemen dan bisa menutup celah kongkalikong antara legislatif dan pihak eksekutif, hal ini dikarenakan parlemen tidak hanya berisi wakil dari partai politik, yang notabene sama seperti presiden, tapi juga ada unsur perwakilan daerah yang terlepas dari kepentingan partai politik tertentu.

Dewasa ini sistem bicameral merupakan sistem yang paling populer, hal ini dikarenakan sistem ini memiliki beberapa keuntungan,19 yaitu :

  1. Secara Resmi mewakili beragam pemilih, yaitu rakyat dan wilayah

  2. Memfasilitasi pendekatan yang bersifat musyawarah terhadap penyusunan perundang-undangan

  3. Mencegah disyahkannya perundang-undangan yang cacat atau ceroboh

  4. Melakukan pengawasan atau pengendalian yang lebih baik terhadap lembaga eksekutif.

Keuntungan-keuntungan parlemen bicameral bisa didapatkan jika parlemen di negara tersebut memang benar-benar memakai strong bicameralism, bukan soft bicameralism.20Strong bicameral adalah kekuatan dan kewenangan kamar-kamar parlemen memiliki kesamaan dan setara, bahkan kalau perlu masing-masing kamar diberikan hak veto. Umumnya sistem parlemen dua kamar banyak dipakai pada negara yang berbentuk federal, namun tidak menutup kemungkinan bisa digunakan juga pada negara kesatuan yang mempunyai ciri hampir sama dengan negara federal. Sedangkan soft bicameralism merupakan parlemen dua kamar yang tugas, hak serta kewenangan antara satu kamar dengan kamar yang lain memiliki perbedaan yang mencolok, kamar satu lebih kuat dari kamar yang lainnya.21Soft bicameral biasanya banyak dipakai oleh negara yang berbentuk negara kesatuan.

  1. STRONG BICAMERALISM PARLIAMENT DALAM PEMISAHAN KEKUASAAN.

Pandangan beberapa Fraksi di MPR pada saat perubahan UUD 1945 yang ketiga menekankan bahwa perlunya diberikan ruang lebih bagi utusan daerah di parlemen, secara spesifik sudah muncul wacana tentang perlunya pemilihan anggota fraksi Utusan Daerah secara langsung oleh rakyat dalam Pemilu, dengan begitu Utusan Daerah betul-betul dapat mewakili aspirasi daerahnya. Sejak saat itu pembahasan dalam amandemen UUD 1945 mengarah pada pembentukan lembaga negara baru yang bernama Dewan Perwakilan Daerah.

Melihat mekanisme perekrutannya DPD sudah merupakan refresentasi daerah dan parlemen Indonesia mengarah pada sistem parlemen bicameral, namun kalau dilihat dari sisi kewenangannya, DPD tidak lebih dari sebagai deputi bagi DPR. Alasan sebagian besar Fraksi di MPR memberikan kewenangan yang tidak seimbang antara DPR dan DPD lebih dikarenakan Indonesia adalah negara kesatuan. Fraksi paling konservatif waktu itu adalah Fraksi PDI-P dan TNI/Polri yang tetap pada pendirian DPD harus memunyai kewenangan yang terbatas, sedangkan Fraksi Golkar adalah yang paling moderat yang menginginkan Indonesia menganut sistem bikameral yang sejajar.22

Sebenarnya terlalu berlebihan bila ada phobia mengenai jika DPD kuat maka akan mengarah pada pembubaran NKRI, dan beralih pada sistem federal, ketakutan ini sudah di jawab dalam pasal 22C ayat (2) yang mengatakan :

Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh Dewan Perwakilan Daerah tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat”.23

Berdasarkan landasan pasal tersebut posisi DPR sebagai perwakilan rakyat lebih banyak secara kuantitas dibandingkan DPD sebagai wakil daerah, sedangkan konsep negara federal kekuasaan penuh ada pada negara bagian atau daerah, oleh karena itu dengan porsi seperti ini kekuasaan penuh tetap pada pusat dan daerah hanya menjalankan sebagian kewenangan pemerintah pusat. Dengan demikian, ketakutan tentang pembubaran NKRI dan pembentukan negara federal bisa dihilangkan, hal yang perlu ditingkatkan hanya fungsi DPD sebagai perwakilan daerah, sama juga dengan menigkatkan fungsi dan peran daerah itu sendiri.

Pasal 22D UUD 1945 hanya memberikan kewenangan kepada DPD mengajukan RUU kepada DPR, atau paling tinggi sebatas membahas RUU bersama DPR yang berkaitan dengan hubungan pusat dan daerah serta masukan pada RUU APBN, pajak, pendidikan dan agama. Lazimnya tugas dan kewenangan lembaga legislatif, DPD semestinya juga mempunyai kewenangan untuk membuat Undang-undang, karena DPD merupakan refresentasi dari daerah dan daerah adalah bagian dari Indonesia, maka selayaknya DPD mempunyai tugas dan kewenangan yang sama seperti DPR yang merupakan refresentasi rakyat.

Pembatasan kewenangan DPD sebagai lembaga legislasi merupakan pemerkosaan terhadap asas-asas demokrasi, dimana rakyat secara keseluruhan adalah yang menentukan peraturan bagi dirinya sendiri, bukankah rakyat secara kedaerahan juga merupakan bagian rakyat Indonesia. Rakyat di masing-masing daerah memilih para wakilnya yang duduk di parlemen tentunya dengan tujuan untuk melindungi dan memperjuangkan hak daerahnya, sekarang bagaimana mungkin para anggota DPD akan menjalankan kontrak sosialnya sebagai wakil rakyat daerah jika kewenangannya dipangkas.24 Sebagai contoh, kisruh pembahasan RUUK DIY baru-baru ini tidak mungkin menjadi besar jika DPD, khususnya perwakilan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, punya kewenangan yang sama seperti DPR dalam pembuatan UU. Bagaimanapun ngototnya pemerintah mengusulkan pemilihan, toh nantinya di parlemen juga yang menentukan, di parlemen DPR bersama DPD akan bertarung kepentingan dan pemikiran untuk membahas UU tersebut, dengan demikian anggota DPD dari DIY bisa memperjuangkan kepentingan daerahnya. Jika keadaannya seperti sekarang ini, anggota DPD dari DIY tidak lebih dari sekadar penonton di rumahnya sendiri, karena kewenangan DPD hanya sebatas mengusulkan atau membahas rancangannya saja, belum bisa ikut serta membahas UU.

Di samping itu, pemberian kewenangan membuat Undang-undang kepada DPD juga dapat meminimalisir dua hal negativ yang akan terjadi, yaitu pertama, terhindarnya kecerobohan dalam pembuatan UU, kalau hanya DPR bisa jadi suatu UU tersebut mengesampingkan kepentingan seluruh rakyat dan daerah, lebih pada kepentingan kelompok atau partai politik tertentu, maka DPD sebagai penyeimbang bisa memperbaiki hal tersebut.

Kedua bisa mencegah terjadinya kongkalikong dalam setiap pembentukan UU antara legislatif dan eksekutif, jika terjadi hal seperti itu maka tidak ada artinya pemisahan kekuasaan antara legislatif dan eksekutif. Presiden Indonesia dipilih melalui pemilihan secara langsung dalam Pemilu dengan mekanisme pendaftaran melalui Partai Politik, sedangkan DPR beranggotakan perwakilan rakyat yang dipilih juga melalui mekanisme Partai Politik, jelaslah bisa diprediksi ada hubungan kepartaian antara anggota-anggota DPR yang separtai dengan Presiden dan itu memungkinkan terjadinya pembuatan UU yang tidak berorientasi pada kepentingan rakyat, tapi kepentingan partai tertentu. Antara DPR dan Presiden seharusnya ada check and balance, jika perimbangan kekuatan ini agak sulit, atau tidak bisa sama sekali, karena partai terbesar di DPR adalah partai yang sama dengan Presiden, maka kekuatan daerah bisa menjadi sebuah penyeimbang yang sangat berarti karena keanggotaannya tidak melalui mekanisme partai politik tapi secara individu dipilih oleh rakyat di daerahnya, jadinya DPD tidak punya kepentingan terhadap partai politik manapun. Hal ini juga efektif untuk menjaga kestabilan politik jika keanggotaan DPR didominasi oleh kekuatan oposisi.

Penggunaan sistem parlemen satu atau dua kamar, begitu juga dua kamar sama kuat atau tidak sama kuat, tidaklah tergantung dengan bentuk dan susunan negaranya.25 Penggunaannya tergantung dengan pertimbangan negara tersebut, baik pertimbangan historis, sosiologis maupun pertimbangan kemanfaatannya. Terlalu naif bila berpandangan penguatan fungsi dan wewenang DPD disamakan dengan DPR akan melahirkan negara federal Indonesia, pembentukan parlemen dua kamar yang sejajar lebih diarahkan pada sisi kemanfaatan dan pemberdaaan parlemen itu sendiri.

Perlu diingat, bahwa latar belakang pembentukan DPD sebagai lembaga negara adalah sebagai bentuk penguatan bingkai NKRI itu sendiri, dengan adanya lembaga tersendiri yang mewakili daerah maka daerah merasa aspirasinya dapat tersalurkan melalui lembaga tersebut, dengan demikian disintegrasi bangsa bisa dihindarkan karena daerah sudah merasa puas dan hak-haknya sebagai bagian NKRI bisa terlindungi dan terjaga dengan baik. Namun sebaliknya, jika daerah tidak merasa puas dengan kebijakan pusat dan daerah tidak bisa menyalurkan aspirasinya, terlebih lagi kepentingan daerah kadang diabaikan, usaha-usaha pemisahan dari NKRI dan gerakan saparatis akan semakin menjamur. Hal ini belum lagi diperparah dengan tidak meratanya pembangunan pada masa lampau, serta upaya Jawaisasi oleh rezim Orde Baru, konflik yang terjadi akan semakin besar dan isu berbau SARA akan menjadi lebih sering terjadi.

  1. KESIMPULAN

Berkaca pada pengalaman Indonesia sekarang ini, penguatan dan pemberdayaan lembaga legislatif perlu ditingkatkan, khususnya fungsi dan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah. Optimalisasi DPD bertujuaan untuk lebih memberikan luang pada otonomi daerah yang sedang berlangsung, disamping itu juga untuk memperkuat bangunan parlemen Indonesia sebagai perwakilan rakyat, agar supaya konsep kedaulatan rakyat dengan pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif berjalan lebih efisien dan efektif.

Pengoptimalan fungsi dan kewenangan DPD bukan berarti mengecilkan fungsi dan kewenangan DPR, akan tetapi lebih diperuntukkan pada penguatan lembaga perwakilan itu sendiri (parlemen). Mengingat parlemen merupakan bentuk dari kedaulatan rakyat yang sesungguhnya, maka sangat diperlukan parlemen yang kuat demi kepentingan rakyat, baik rakyat sebagai individu yang terwakili melalui DPR maupun rakyat sebagai entitas daerah yang terwakili melalui lembaga DPD.

Sebagai bentuk double check di parlemen dan bentuk check and balance antar pemegang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif, maka perlu disusun formulasi yang tepat mengenai parlemen Indonesia terkait dengan fungsi legislasinya, permasalahan ini diperlukan agar tercipta suatu strong bicameralism yang tidak salah kaprah dan bisa meminimalisir hal yang mengarah pada pembubaran NKRI dan membentuk negara federal. Maka perlu diatur pembuatannya dan job deskription dengan lembaga negara lain, misalkan dengan cara :

  1. DPR dan DPD secara bersama-sama atau sendiri mengajukan RUU dan pembentukan UU dilakukan secara bersama-sama.

  2. DPD hanya dapat mengajukan RUU yang berkaitan dengan hubungan pemerintahan dan keuangan antara pusat dan pemerintah daerah, pemekaran daerah, APBN dan penggalian sumber daya alam;

  3. DPD hanya berwenang membahas dan memberikan persetujuan terhadap UU yang berkaitan dengan hubungan pemerintahan dan keuangan antara pusat dan daerah, pemekaran daerah, APBN dan pengelolaan sumber daya alam;

  4. Presiden diberikan kewenangan untuk memveto RUU yang telah disetujui oleh DPR dan DPD menjadi UU dalam kurun waktu 30 hari, jika tidak ada veto dari presiden maka secara otomatis UU tersebut sah diberlakukan.

  5. RUU yang telah disetujui DPR tetapi ditolak oleh DPD dapat diberlakukan apabila disetujui oleh 2/3 anggota DPR, kecuali UU yang berkaitan dengan kepentingan daerah.

  6. RUU yang telah disetujui DPD tetapi tidak disetujui DPR dianggap ditolak dan tidak dapat diajukan pada masa sidang berikutnya.

  7. Mahkamah Konstitusi menjadi pengawal Konstitusi dan bertugas menguji UU terhadap UUD serta tugas lainnya yang diatur oleh UUD.

  8. Pengangkatan Hakim Agung dan Hakim Konstitusi dilakukan secara bersama-sama DPR dan DPD, pengajuan hakim agung dan hakim konstitusi dilakukan oleh Komisi Yudisial.

  9. Usulan pemakzulan Presiden harus disetujui oleh sekurang-kurang 2/3 anggta DPR dan ¾ anggota DPD, selanjutnya diajukan ke Mahkamah Konstitusi dan pemakzulan dilakukan oleh MPR dan harus disetujui oleh 2/3 anggota MPR.

  1. DAFTAR PUSTAKA

Anshori, Abdul Ghofur dan Sobirin Malian (edt.), Membangun Hukum Indonesia : Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum, Yogyakarta : Kreasi Total Media, 2008.

Anwar, Chairil, Konstitusi dan Kelembagaan Negara, Jakarta : Novindo Pustaka Mandiri, 1999.

Arinanto, Satya dan Ninuk Triyanti, Memahami Hukum : Dari Konstruksi sampai Implementasi, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2009.

Asshiddiqie, Jimly, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta : Buana Ilmu Populer, 2007.

……………, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, Yogyakarta : FH UII Press, cet. II, 2005.

Kelsen, Hans, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, alih bahasa Raisul Muttaqien, Bandung : Nusa Media, cet. V, 2010.

Losco, Joseph, dan Leonar Williams , Political Theory (Kajian Klasik dan Kontemporer) : Pemikiran Machiavelli – Rawls, Volume II, alih bahasa Aris Munandar, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005.

Manan, Bagir, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta : FH UII Press, cet. II, 2004.

Montesquieu, The Spirit of Law, alih bahasa oleh M. Khoirul Anam, Bandung : Nusa Media, 2007.

Nasution, Adnan Buyung Dkk., Federalisme Untuk Indonesia, Jakarta : Kompas Media Nusantara, 1999.

Ramses M., Andi dan La Bakry, Politik dan Pemerintahan Indonesia, Jakarta : MIPI, 2009.

Rousseau, Jean Jacques, Du Contract Social, alih bahasa Vincent Bero, Jakarta : Visimedia, 2007.

Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta : Liberty, 1980.

Subekti, Valina Sungka , Menyusun Konstitusi Transisi : Pergulatan Kepentingan dan Pemikiran dalam Proses Perubahan UUD 1945, Jakarta : Raja Grarafindo Persada, 2008.

Strong, C. F., Konstitusi-konstitusi Politik Modern : Studi Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk, alih bahasa Derta Sri Widowatie, Bandung : Nusa Media, cet. III, 2010.

Surbakti, Ramlan, “Demokrasi Deliberatif dan Partisipatif” dalam Andi Ramses M. dan La Bakry, Politik dan Pemerintahan Indonesia, Jakarta : MIPI, 2009;

Syahuri, Taufiqurrahman, Hukum Konstitusi : Proses dan Prosedur Perubahan UUD di Indonesia 1945-2002, Bogor : Ghalia Indonesia, 2004.

Thaib, Dahlan, “Menuju Parlemen Bikameral (Studi Konstitusional Perbahan ketiga UUD 1945)”, disampaikan pada Rapat Senat Terbuka Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, dalam Abdul Ghofur Anshori dan Sobirin Malian (edt.), Membangun Hukum Indonesia : Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum, Yogyakarta : Kreasi Total Media, 2008;

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Williams, Howard, Filsafat Politik Kant, alih bahasa Muhammad Hardani, Jakarta dan Surabaya : DPP IMM dan JP-Press, 2003.

 

 

1 Penamaan sistem parlemen Indonesia dengan sebutan trikameral dicetuskan oleh Jimly asshiddiqie, hal ini dikarenakan dalam UU Nomor 22 tahun 2003 tentang Susduk MPR, DPR, DPD dan DPRD. Dalam Undang-undang ini dijelaskan bahwa antara MPR, DPR dan DPD berdiri dengan sendirinya, disamping itu pada pasal 2 (1) UUD 1945 disebutkan bahwa MPR terdiri dari DPR dan DPD. Lihat : Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta : Buana Ilmu Populer, 2007, hlm. 158-159.

2 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, edisi revisi, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, cet. IV, 2010, hlm. 107.

3Ibid., Miriam Budiardjo juga menamakan perumusan yuridis prinsip-prinsip ini dengan istilah negara hukum. Meski begitu, Mahfud MD dalam mengomentari penghilangan kata rechstaat dalam UUD 1945 berpendapat, bahwa apa yag tertulis dalam Konstitusi dapat dikesampingkan atau ditinggalkan asalkan dalam rangka menegakkan keadilan. Hal ini menegaskan bahwa konstitusi tidak selalu tertulis tapi juga ada yang tidak tertulis, meskipun tidak ada negara di dunia yang menggunakan konstitusi tertulis semuanya begitupun sebaliknya. Lihat juga : Mohammad Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2010, hlm. 52.

4 Fatmawati, Struktur dan Fungsi Legislasi Parlemen dengan Sistem Multikameral : Studi Perbandingan antara Indonesia dan Berbagai Negara, Jakarta : UI Press, 2010, hlm. 12.

5Ibid., hlm. 13. Lihat juga : Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, Yogyakarta : FH UII Press, cet. II, 2005. Hlm. 35-36.

6 Montesquieu, The Spirit of Law, alih bahasa oleh M. Khoirul Anam, Bandung : Nusa Media, 2007, hlm. 191-203.

7Ibid., hlm 192.

8 Mohammad Hatta, Menuju Negara Hukum, Jakarta : Idayu Press, 1977, hlm. 11.

9 Jimly Asshiddiqie membedakan prinsip pembagian kekuasaan dengan pemisahan kekuasaan. Pembagian kekuasaan mengenal lembaga super body yang melaksanakan kekuasaan rakyat, selanjutnya dari lembaga tersebut kekuasaan didistribusikan kepada lembaga yang ada di bawahnya. Sedangkan pemisahan kekuasaan bersifat horizontal dan kedaulatan rakyat dipisahkan ke dalam lembaga-lembaga negara yang dibentuk berdasarkan konstitusi. Lihat : Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan….., hlm. 35.

10 Jean Jacques Rousseau, Du Contract Social, alih bahasa Vincent Bero, Jakarta : Visimedia, 2007, hlm. 25. Lihat juga Joseph Losco dan Leonar Williams , Political Theory (Kajian Klasik dan Kontemporer) : Pemikiran Machiavelli – Rawls, Volume II, alih bahasa Aris Munandar, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005, hlm. 221-315.

11 Ibid .

12 Montesquieu, The Spirit …, hlm. 98.

13 Ibid.

14Ibid. Hlm. 194.

15 Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca…, hlm. 154-155. Lihat juga : Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, alih bahasa Raisul Muttaqien, Bandung : Nusa Media, cet. V, 2010, hlm. 415-423.

16 Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca…, hlm.155. Lihat Juga : Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta : FH UII Press, cet. II, 2004, hlm. 59-61.

17 Chairil Anwar, Konstitusi dan Kelembagaan Negara, Jakarta : Novindo Pustaka Mandiri, 1999, hlm. 46-63.

18 Jenis Parlemen ini paling terlihat pada masa sekarang yang dipraktekkan Inggris, dimana Parlemen Inggris terdiri dari Majelis Tinggi (House of Lord) yang mewakili para bangsawan dan kamar satunya diisi oleh para wakil rakyat yang dipilih melalui mekanisme Pemilu yang disebut Majelis Rendah (House of Commons). Pendapat Montesquieu ini, menurut saya, menggambarkan dan berdasarkan konteks Perancis pada masa transisi dari masyarakat feodal ke masyarakat demokratis pada masa itu. Montesquieu, The Spirit of Law, hlm. 195.

19 Lihat : pidato pengukuhan guru besar Prof. Dr. Dahlan Thaib, SH., “Menuju Parlemen Bikameral (Studi Konstitusional Perbahan ketiga UUD 1945)”, disampaikan pada Rapat Senat Terbuka Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. dalam Abdul Ghofur Anshori dan Sobirin Malian (edt.), Membangun Hukum Indonesia : Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum, Yogyakarta : Kreasi Total Media, 2008, hlm. 196-197. dan Bagir Manan, op. cit.

20 Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara ……., hlm. 52.

21 Hans Kelsen menerangkan tentang sistem soft bicameralism ini berbentuk kamar yang satu diciptakan sebagai duplikat tidak berguna bagi kamar yang lain, jika kamar yang satu berkarakter demokratis sedangkan kamar yang lain jauh dari sifat demokratis. Hans Kelsen, Teori Umum tentang……, hlm. 420.

22 PDI-P semula tidak sepakat DPD menjadi sebuah lembaga, dengan alasan hal ini bisa mengarah pada pembentukan negara federal. Ketakutan PDI-P ini juga karena alasan politis, dimana sebagian besar kursi PDI-P didapatkan di daerah Jawa, sedangkan jika DPD menjadi lembaga maka kekuatan yang paling besar di MPR nantinya adalah kekuatan dari luar jawa, hal ini tentu akan mempersulit PDI-P sendiri. Walau bagaimanapun, pada masa itu permasalahan Jawa dan luar Jawa merupakan persoalan yang urgen, dan mengarah pada dis-integrasi bangsa. Lihat : Valina Sungka Subekti, Menyusun Konstitusi Transisi : Pergulatan Kepentingan dan Pemikiran dalam Proses Perubahan UUD 1945, Jakarta : Raja Grarafindo Persada, 2008, hlm. 209-223.

23 Pasal 22C ayat (2) UUD 1945 setelah perubahan ketiga. Jumlah anggota DPD tidak boleh lebih 1/3 anggota DPR karena Daerah yang diwakili DPD jumlahnya lebih sedikit dari jumlah rakyat yang diwakili oleh DPR, sebenarnya ini alibi saja, hakekatnya DPR (atau partai politik) lebih ketakutan pada kekuatan daerah yang nantinya bisa mengecilkan peran DPR. Ibid. Hlm, 216-217.

24 Ramlan Surbakti, “Demokrasi Deliberatif dan Partisipatif” dalam Andi Ramses M. dan La Bakry, Politik dan Pemerintahan Indonesia, Jakarta : MIPI, 2009, hlm 34. Lihat juga : Montesquieu, The Spirit of Law..dan Roesseau, Du Contract Social. Serta Howard Williams, Filsafat Politik Kant, alih bahasa Muhammad Hardani, Jakarta dan Surabaya : DPP IMM dan JP-Press, 2003, hlm. 14-16.

25 Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi…., hlm. 59.

Eksistensi, Kewenangan dan Tanggung Jawab Camat dalam Otonomi Daerah

  1. PENDAHULUAN

Pergeseran pengaturan hubungan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah yang dahulunya bersifat sentralistik ke bentuk yang desentralistik berimplikasi pada perubahan tata kelola pemerintahan. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 yang lebih, bisa dikatakan sangat, sentralistik berganti enjadi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang lebih memberikan ruang kepada daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri, selanjutnya UU ini direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang sedikit memangkas kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola aparatur dan birokrasi daerahnya.

Manifestasi dari pergeseran sistem pemerintahan daerah, yang semula bersifat sentralistik menjadi desentralistik, adalah diimplementasikannya otonomi lokal yang diberikan kepada pemerintah kabupaten/kota dan pemerintahan desa. Implementasi dari perubahan ini mengakibatkan tidak hanya perubahan pola hubungan antara pemerintah kabupaten/kota dengan kecamatan, tetapi juga hubungan antara kecamatan dan pemerinatahn desa.

Menurut UU Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok Pemerintahan di Daerah kecamatan merupakan wilayah administratif pemerintahan, sehingga secara otomatis camat adalah seorang kepala wilayah dan kewenangan yang dimilikinya cukup besar, yakni bersifat atributif.1 Secara signifikan perubahan kewenangan camat terjadi pada UU Nomor 22 tahun 1999, yakni wilayah kecamatan hanya sebagai lingkungan kerja perangkat daerah dan camat hanyalah sebagai perangkat daerah, serta kewenangan yang berkurang, yaitu bersifat delegatif dari kepala daerah.2 Tidak jauh berbeda dengan UU Nomor 22 tahun 1999, pada UU Nomor 32 Tahun 2004 masih relatif sama, hanya saja untuk beberapa persoalan mendapat kewenangan secara atributif.

Pada UU No 5 tahun 1974 pasal 72 bahwa kecamatan adalah wilayah adminisratif. Pada pasal 76 disebut bahwa kepala wilayah kecamatan disebut dengan camat yang kalau kita teruskan pada pasal 80 menyatakan bahwa kepala wilayah sebagai wakil pemerintah adalah penguasa tunggal di bidang pemerintahan, mengkoordinir pembangunan dan membina kehidupan masyarakat disegala bidang.

UU No 32 tahun 2004 pada pasal 126 ayat 1 menyatakan bahwa kecamatan dibentuk di wilayah kabupaten/kota dengan Perda berpedoman pada Peraturan pemerintah, ayat 2, kecamatan sebagaimana dimaksud ayat 1 dipimpin oleh camat yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian wewenang bupati atau walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah. Di samping itu pada ayat 3 disebutkan selain tugas sebagaimana disebut pada ayat 2, camat juga menyelenggarakan tugas umum pemerintahan. Pada penjelasan pasal 126 ayat 1 dikatakan bahwa kecamatan adalah wilayah kerja camat sebagai perangkat daerah kabupaten dan daerah kota.

Dari  beberapa UU yang dikemukakan di atas, betapa terdapat perbedaan baik status kecamatan maupun kedudukan camat dari waktu yang lalu, yang tentunya mempengaruhi terhadap apa yang menjadi kewenangan dan tanggung jawab camat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan juga berpengaruh terhadap eksistensi pemerintah kecamatan dalam melakukan pelayanan publik.

Meskipun terjadi perubahan yang mencolok mengenai kedudukan kecamatan, camat dan kewenangan yang dimiliki camat, persepsi masyarakat di beberapa wilayah masih menganggap Camat sebagai kepala wilayah di kecamatan tersebut yang memimpin dan mengggerakkan pembangunan di wilayahnya, bukan sebagai kepala perangkat daerah seperti yang disebutkan dalam UU. Persepsi ini juga cukup berbeda bila dibandingkan dengan wilayah urban, sebagian pulau besar di pulau Jawa misalnya, yang malah menginginkan pemerintahan kecamatan dihapuskan, karena kecamatan dianggap akan memperlemah otonomi desa yang diamanatkan dalam UU nomor 32 Tahun 2004.

Tekanan penghapusan keberadaan kecamatan ini bukan hanya status otonomi yang dimiliki desa, namun juga semakin menguatnya kesatuan desa, sehingga keberadaan kecamatan dianggap tidak diperlukan lagi karena akan memperpanjang rantai birokrasi pelayanan publik.

Gambaran di atas menunjukkan terjadinya perbedaan dalam memaknai desentralisasi dalam masyarakat, birokrasi dan stakeholder lainnya. Banyak pihak yang berpandangan bahwa struktur, posisi dan kewenangan kecamatan seperti sekarang ini sudah ideal karena otonomi yang sesungguhnya berada di desa, pemerintah kabupaten dan beberapa di provinsi. Ada juga pihak yang malah lebih ekstrim, menganggap kecamatan tidak diperlukan lagi karena tidak efektif dan efisien sama sekali. Tidak sedikit pula kalangan menilai perlunya diberikan tambahan kewenangan dan kedudukan camat agar lebih berfungsi dan berguna dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat, hal ini dikarenakan sebagian besar pemerintahan desa di Indonesia belum mampu seutuhnya melakukan tindak administratif yang benar untuk menunjang kinerja pemerintahan daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

  1. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang ada di atas, maka dalam tulisan ini akan mencoba menjawab permasalahan yang ada, yaitu :

  1. Bagaimana eksistensi, kewenangan, dan tanggung jawab camat yang diatur dalam UU nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah?

  2. Bagaimanakah idealnya fungsi serta kedudukan camat dalam pemerintahan daerah terkait pelayanan kepada publik?

  1. PEMBAHASAN

  1. Fungsi Pemerintahan, Teori Kewenangan dan Kewenangan Camat

Seiring dengan perkembangan ilmu kenegaraan dan pemerintahan, konsep negara klasik dalam bentuk negara hukum penjaga malam, khususnya setelah perang dunia kedua, telah berkembang menjadi konsep negara kesejahteraan (welfare state). Ciri utama negara ini ialah munculnya kewajiban pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan umum bagi warganya.3

Kehadiran konsep negara kesejahteraan ini sebagai jawaban dan solusi atas ketimpangan yang disebabkan oleh negara penjaga malam, karena bersifat individualisme-kapitalis yang digunakannya menyebabkan terjadi ketidak adilan dalam masyarakat dan ketimpangan sosial terjadi dalam negara. Kemudian pada paroh kedua abad XIX hadir konsep yang baru, negara kesejahteraan, yang mengedepankan perlindungan bagi rakyatnya dan melindungi kepentingan umum, seperti memberikan pelayanan publik.4

E. Ultrecht menyebutkan, sejak negara turut serta secara aktif dalam pergaulan masyarakat, maka lapangan pekerjaan pemerintah makin lama makinluas. Administrasi negara diserahkan kewajiban untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum.5 Pengejewantahan negara kesejahteraan ini juga berdasarkan bahwa pemerintahan yang demokrasi adalah pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat, untuk itulah maka setiap pemerintahan mempunyai kewajiban memperhatikan serta menjamin kesejahteraan rakyatnya.

Philipus M. Hadjon dan kawan-kawan mengemukakan tugas klasik suatu negara adalah pertahanan, pembentukan dan pemeliharaan hukum serta pembiayaan tugas-tugas negara.6 Selain tugas pokok tersebut, negara juga mengambil tugas-tugas modern yang tergantung beberapa faktor, yaitu berupa hak bantuan hukum, hak kesempatan kerja, hak atas jaminan sosial, hak menghuni lingkungan yang baik, hak untuk mendapatkan perumahan, hak pelayanan kesehatan, hak pengembangan sosial dan kultural serta hak libur dan yang terakhir adalah hak memperoleh pendidikan.7 Dengan hal ini, orang akan melihat bahwa segala macam kegiatan warga negara memperoleh batasan dan mendapat dorongan dengan bantuan campur tangan pemerintah dan melalui hukum administrasi.

Karena fungsi tersebut tidak mungkin dijalankan secara langsung oleh negara yang abstrak, maka tugas tersebut dijalankan oleh pemerintah atau eksekutif suatu negara. Pemerintah dalam menjalankan tugasnya berdasarkan pada konstitusi atau aturan lainnya, fungsi ini biasanya dilakukan oleh Raja, Presiden atau Perdana Menteri.8 Sedangkan menurut Avan Braam, pemerintahan adalah menunjukkan suatu gambaran menjalankan realisasi sosial kesejahteraan masyarakat.9 Pada intinya pemerintahan adalah bentuk konkrit dari negara dalam melaksanakan kesejahteraan bagi masyarakatnya.

Sudah jelas bahwa pemerintahan merupakan bentuk konkret negara dalam melaksanakan tugasnya untuk menjamin dan mewujudkan kesejahteraan sosial, pemerintahan yang dijalankan oleh seorang eksekutif tidak mungkin melayani semua rakyat yang ada di wilayahnya, maka eksekutif tersebut membutuhkan bantuan badan atau lembaga lain untuk melaksanakan tugasnya. Dalam hal ini diperlukan sebuah legalitas bagi setiap bidang eksekutif dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, legalitas diperlukan karena setiap penyelenggaraan pemerintahan harus berdasarkan hukum, agar tidak terjadi kesewenang-wenangan terhadap masyarakat.10

Berdasarkan asas legalitas tersebut, maka substansinya adalah terletak pada wewenang, yaitu kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu,11 tentunya kemampuan ini harus berdasarkan pada hukum yang berlaku dan sesuai dengan legitimasi yang diberikan. H. D. Stout menyatakan bahwa kewenangan merupakan keseluruhan aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh subjek hukum publik di dalam hubungan hukum publik.12 Sedangkan F. P. C. L. Tonnaer berpendapat, kewenangan pemerintah dianggap sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan begitu, dapat diciptakan hubungan hukum antara pemerintah dengan warga negara.13

Sumber kewenangan pemerintah ada pada Peraturan Perundang-undangan atau disebut juga asas rechtmatigheid van bestuur. Secara teoritik, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan diperoleh melalui tiga cara, yaitu melalui atribusi, delegasi dan mandat. Atribusi berarti adanya pemberian suatu wewenang oleh rakyat melalui wakilnya di parlemen kepada pemerintah, dan tindakan pemerintah menjadi sah secara yuridis.14

Delegasi dan mandat pada dasarnya sama saja, yaitu pelimpahan wewenang dari suatu badan/pejabat tata usaha yang satu kepada badan/pejabat tata usaha yang lain dalam lingkungan pemerintahan, contohnya kepala daerah menyerahkan wewenang dalam hal pendidikan untuk diurus oleh Dinas Pendidikan. Perbedaannya terletak pada prosedur pelimpahannya, tanggung jawab dan tanggung gugatnya; serta kemungkinan dipergunakannya kembali wewenang itu.15

H. D. Van Wijk dan Willem Konijnenbelt memberikan defenisi delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan lainnya,16 berarti sama-sama organ eksekutif, baik setingkat maupun berbeda tingkatan struktural. Sedangkan mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya.

Berdasarkan konsep negara hukum kesejahteraan, fungsi utama pemerintah atau eksekutif adalah untuk menjamin dan mewujudkan kesejahteraan bagi warga negara. Pemerintah mulai dari presiden, menteri, gubernur, camat sampai tingkat desa melakukan tugas negara untuk kesejahteraan. Dalam konteks ini camat sebagai kepala SKPD Kecamatan adalah pelaksana teknis berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kewenangan yang diberikan oleh kepala daerah untuk melayani masyarakat, sehingga camat memiliki legitimasi dalam bertindak untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya.

Kewenangan yang bersifat atributif yang dimiliki camat adalah tugas umum pemerintahan,17 meliputi :

  1. Mengkoordinasikan kegiatan masyarakat;

  2. Mengkoordinasikan upaya penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum;

  3. Mengkoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan;

  4. Mengkoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum;

  5. Mengkoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan;

  6. Membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan;

  7. Melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa atau kelurahan.

Berdasarkan bunyi pasal 126 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 di atas, maka kewenangan yang secara langsung didapatkan oleh camat hanya sebatas mengkoordinir beberapa bidang saja, selain yang telah disebutkan harus melalui pelimpahan wewenang yang bersifat delegasi dari kepala daerah. Hal ini menempatkan seorang camat pada posisi yang dilematis, satu sisi camat mempunyai wilayah dan sisi lain tidak mempunyai kewenangan yang luas dalam memimpin bawahannya, seperti kepala desa dan lurah, dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat.

Pelimpahan wewenang dari kepala daerah kepada camat dan kecamatan akan memberikan ruang gerak yang cukup luas dalam melaksanakan tugasnya, namun kebanyakan pelimpahan wewenang ini tidak disertai dengan sarana dan prasarana yang mendukung, sehingga pelaksanaannya belum terlalu maksimal. Secara ringkas ada beberapa alasan tidak maksimalnya camat menjalankan fungsinya terkait dengan kewenangan di atas. Pertama, kewenangan tetap berada pada kepala daerah dan didistribusikan kepada SKPD pendukung pemerintahan, dalam hal ini camat tidak dapat berbuat banyak kalau terjadi kekosongan intervensi di wilayahnya karena camat tidak mendapatkan kewenangan penuh.

Kedua, camat tidak mempunyai political will di wilayahnya dengan keterbatasan wewenang yang dimilikinya, dan yang ketiga, camat kalaupun ada pelimpahan wewenang yang lebih luas dari kepala daerah, biasanya tidak didukung oleh dana, SDM dan sarana yang memadai dalam melaksanakan pelayanan pada masyarakat.

  1. Otonomi Daerah dan Eksistensi Camat

Negara kesatuan dideklarasikan oleh para pendirinya saat kemerdekaan dengan mengklaim seluruh wilayahnya sebagai bagian dari suatu negara, negara tidak dibentuk berdasarkan kesepakatan, setelah itu baru dibentuk wilayah atau daerah di bawahnya. Kewenangan yang didapat oleh daerah merupakan pelimpahan dari pemerintah pusat untuk diatur sebagian.18 Dari konsep negara kesatuan inilah muncul teori desentralisasi dalam hal pengaturan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Desentralisasi menurut Joeniarto merupakan pemberian wewenang dari pemerintah negara kepada pemerintah lokal untuk mengatur dan mengurus urusan tertentu sebagai urusan rumah tangganya sendiri.19 Sedangkan menurut Amrah Muslimin, desentralisasi adalah pelimpahan wewenang kepada badan-badan dan golongan-golongan dalam masyarakat dalam daerah tertentu untuk mengurus rumah tangganya sendiri.20 Menurut Jimly Asshiddiqie, dalam desentralisasi unit pemerintah daerah dipandang sebagai wakil dari pemerintah pusat, sehingga oleh sebab itu, unit-unit kantor wilayah dibutuhkan sebagai perpanjagan tangan menteri yang memimpin departemen pemerintahan. Sementara itu, dalam sistem desentralisasi, tugas-tugas pemerintahan yang terkait dengan urusan tertentu diaggap telah sepenuhnya didelegasikan pelaksanaannya kepada pemerintah daerah, yang oleh karena itu memiliki kewenangan untuk mengurus hal itu sebagai urusan rumah tangganya sendiri.21

Kalangan ilmuwan pemerintahan maupun ilmuwan politik serta kalangan ilmuwan hukum pada umumnya mengidentifikasikan sejumlah alasan desentralisasi diterapkan,22 yaitu :

  1. Peningkatan efisiensi dan effektifitas penyelenggaraan pemerintahan;

  2. Wahana pendidikan politik masyarakat daerah;

  3. Memelihara integrasi nasional;

  4. Mewujudkan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang dimulai dari daerah;

  5. Memberikan peluang kepada masyarakat dalam pembentukan karir politik;

  6. Memberikan peluang bagi masyarakat dalam mendesain pembangunan daerah;

  7. Sarana yang diperlukan dalam mempercepat pembangunan daerah;

  8. Mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Jadi, berdasarkan pendapat beberapa kalangan, desentralisasi merupakan suatu pola hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dalam hal-hal tertentu beberapa kewenangan diserahkan kepada pemerintah daerah untuk dijalankan sepenuhnya berdasarkan kewenangan yang diberikan. Pemerintah daerah tetap bertanggung jawab kepada pemerintah pusat dalam menjalankan urusan rumah tangganya, karena konsep negara kesatuan hanya mengenal satu kedaulatan, yaitu yaitu kedaulatan berada di tangan pemerintah pusat.

Sebagai bentuk desentralisasi dengan prinsip otonomi daerah, maka kewenangan yang lebih besar akan didapatkan oleh pemerintah daerah kabupaten, di mana selain lima hal pokok yang diatur dalam UU maka selebihnya merupakan kewenagan pemerintah daerah. Dalam melaksanakan urusan pemerintahannya, pemerintah kabupaten mempunyai Satuan Perangkat Kerja Daerah yang dinamakan Kecamatan untuk melaksanakan urusannya.23 Sebagaimana dalam penjelasan pasal 26 UU No. 32 Tahun 2004, Kecamatan adalah wilayah kerja Camat sebagai perangkat daerah Kabupaten dan Daerah Kota.

Camat mendapatkan 2 jenis kewenangan sekaligus dalam UU No. 32 Tahun 2004, yaitu bersifat atributif dan delegatif. Kewenangan atributif camat dijelaskan pada pasal 6 ayat (3), yaitu untuk melaksanakan beberapa tugas umum pemerintahan. Mandat delegatif dijelaskan pada ayat (2) pasal tersebut, yakni wewenang delegatif yang diberikan oleh kepala daerah yang bersangkutan. Selanjutnya, pada ayat (4) disebutkan bahwa camat diangkat oleh Kepala Daerah dari Pegawai Negeri Sipil yang menguasai urusan teknis pemerintahan, atas usul Sekretaris Daerah. Ayat (5) menerangkan pertanggung jawaban camat adalah kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah.

Sebagaiman diketahui, dengan titik berat otonomi daerah yang diletakkan pada pemerintah kabupaten pada saat ini, sentralisasi telah berpindah tempat. Titik tolak yang semula berada pada pemerintah pusat dan sekarang berada pada tingkat kabupaten/kota, dengan sentrum berada di tangan kepala daerah dan lembaga perwakilan daerah. Artinya semua pengaturan dan pengurusan pembangunan, pembinaan sosio-kemasyarakatan dan pemerintahan secara umum tersentralisasi di pemerintah daerah.

Secara faktual, UU No. 32 Tahun 2004 hanya memberikan kewenagan yang sempit dan terbatas bagi camat untuk berperan maksimal bagi masyarakatnya. Kewenangan-kewenangan itu hanya berkisar pada fungsi-fungsi pelayanan yang marjinal dan secara politik lokal amat sangat tidak prestisius, kewenangan camat pada saat ini hanyalah sebatas membuat rekomendasi kependudukan ke kabupaten/kota, pembuatan KTP (beberapa daerah sudah diambil oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil), serta surat cuti dan distribusi gaji bagi pegawai kecamatan.

Meskipun ada peluang bagi camat untuk mendapatkan kewenangan lebih berdasarkan UU tersebut, namun pada kenyataannya di kebanyakan daerah camat tidak diberikan, karena ada ketakutan politis dari kepala daerah bahwa camat bisa mengancam posisi politik kepala daerah. Hal ini bisa saja ditakutkan karena berapapun besarnya pelimpahan wewenang akan berpengaruh pada intensif politik, dengan kewenangan yang besar dimiliki oleh para camat kebanyakan sebagian besar kepala daerah merasa ketakutan pengaruh politik aka bergeser dari kepala daerah ke camat dan kepala daerah akan kehilangan pengaruhnya terhadap rakyat di daerahnya.

Perlu diingatkan di sini, meskipun antara kepala daerah dan camat berbeda fungsi dan peranannya menurut peraturan perundang-undangan, tapi di mata publik keduanya tetaplah figur yang publik yang memiliki kharisma politik. Dengan batasan struktural dan psikologikal yang sangat ketat seperti itu, segala macam bentuk inovasi kecamatan yang diharapkan muncul di permukaan, sama sekali tidak akan pernah muncul apalagi berkembang.

Berdasarkan pasal 126 ayat (4) dan (5) UU Pemerintahan Daerah, kedudukan camat berada di bawah Sekretaris Daerah. Pada ayat (4) dijelaskan bahwa camat diangkat oleh kepala daerah berdasarkan usulan Sekretaris Daerah, hal ini berimplikasi posisi seorang camat akan tergantung dengan seorang Sekda, karena mekanisme pengangkatannya harus melalui Sekda terlebih dahulu, keadaan ini juga berpengaruh pada kedekatan camat dengan kepala daerah karena melalui jenjag birokrasi dalam pemerintahan daerah. Koordinasi antara kepala daerah dan camat juga bisa tidak efisien karena harus melalui Sekda terlebih dahulu, sehingga hal ini bisa saja berpengaruh pada laporan pertanggung jawaban seorang camat kepada kepala daerah kalau ada keterkaitan dengan hubungan camat dan Sekretari Daerah tersebut.

  1. Tanggung Jawab Camat

Setiap penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan, tanggung jawab melekat pada jabatan, secara yuridis melekat karena diberikan wewenang. Dalam prinsip hukum publik, kewenangan yang didapatkan inilah yang menyebabkan adanya pertanggungjawaban. Pemberian wewenang tertentu untuk melakukan tindakan hukum tertentu, menimbulkan pertanggungjawaban atas penggunaan wewenang itu. A. D Belinfante mengatakan, tidak seorangpun dapat melaksanakan kewenangan tanpa memikul kewajiban tanggung jawab atau tanpa ada pelaksanaan pengawasan.24

Drs. Sukarna mengatakan bahwa keadilan bukan sebatas sandang dan pangan saja, melainkan juga perihal administrasi kenegaraan, oleh sebab itu dibutuhkan pemimpin yang adil dalam administrasi.25 Sebab, jika pemimpinnya adil, maka kontrol terhadap bawahannya akan lebih mudah.

Dalam hal ini pertanggungjawaban akan lebih banyak dilakukan, dalam administrasi negara, oleh bawahan kepada atasannya. Pertanggungjawaban bawahan kepada pimpinan dilakukan karena bawahan melakukan tugas dan bertindak atas wewenang yang dilimpahkan oleh pimpinannya, karena limpahan wewenang dari atasan tersebut maka bawahan wajib mempertanggung jawabkannya kepada pimpinan yang telah memberikan wewenang tersebut.

Menurut pasal 126 ayat (5) UU No. 32 Tahun 2004, camat bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah. Dari ayat ini jelas bahwa camat adalah pejabat administratif, karena pertanggung jawabannya bersifat internal pemerintahan, bukan pejabat politik dalam wilayahnya, walaupun secara struktural mengepalai sebuah wilayah. Berbeda dengan kepala desa atau lurah yang bertanggung jawab kepada kepala daerah tetapi juga memberikan keterangan pertanggung jawabannya kepada Badan Permusyawaratan Desa. Begitu pula dengan Bupati/Wali Kota dan Gubernur yang bertanggung jawab kepada Presiden, tapi juga memberikan keterangan pada DPRD. Camat hanya bertanggung jawab terhadap kepala daerah saja, tidak ada memberikan keterangan kepada lembaga perwakilan tingkat kecamatan, karena lembaga ini memang tidak ada.

Pertanggung jawaban camat kepada kepala daerah harus diakui memang wajar karena camat, sebagai Satuan Kerja Perangkat Daerah, adalah bawahan kepala daerah. Camat juga tidak akan bisa dan tidak mempunyai legalitas dalam bertindak kalau tidak ada pelimpahan wewenang dari kepala daerah, sehingga karena legalitasnya berdasarkan wewenang dari kepala daerah maka camatpun secara otomatis akan memprtanggung jawabkan kewenangan yang didapatkannya kepada kepala daerah.

Menjadi polemik yang rancu adalah ketika harus melalui sekretaris daerah. Secara struktural camat sudah jelas sebagai kepala SKPD yag berada di bawah kepala daerah, berarti hierarkinya langsung kepada kepada kepala daerah. Seharusnya dalam UU Pemerintahan Daerah tersebut tidak perlu diatur harus melalui Sekda karena akan memperpanjang rantai birokrasi yang akan memakan waktu dan biaya yang percuma. Dilihat dari sisi pemberi kewenangan, camat yang mendapatkan wewenang langsung dari kepala daerah tidak perlu lagi melalui Sekda dalam mempertanggung jawabkan tindakannya, sebab Sekda tidak memberikan wewenang apapun kepada camat.

Di samping itu, regulasi seperti ini akan lebih berpotensi terjadinya KKN, sebab bila camat tidak bisa bertanggung jawab atas wewenang yang diberikan kepadanya, maka di tangan Sekda hal ini bisa duluruskan sehingga seolah-oleh tidak terjadi pelanggaran. Keadaan ini juga memungkinkan seorang Sekda mengintervensi camat demi kepentingan pribadinya, maka mau tidak mau camat haru mengikuti kemauan kehendak Sekda tersebut karena sang camat menginginkan laporan pertanggung jawabnya mulus tanpa hambatan.

  1. Posisi Camat yang Ideal

Dengan diterapkannya prinsip otonomi daerah, maka pemerintah daerah diberikan keleluasaan untuk mengatur dan mengurus daerah dan kepentingan masyarakatnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan daerah bertambah banyak jenisnya dan juga kualitasnya, yang mengharuskan agar aparatur daerah dapat mengurus kewenangan itu untuk tercapainya tujuan dari otonomi daerah, yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat, pelayanan yang lebih prima serta memberdayakan masyarakat.

Konsekuensinya adalah aparatur daerah harus diperkuat baik dari segi manusianya maupun dari segi kelembagaan dan tata kerjanya. Dari segi manusianya, memerlukan perubahan tehadap mind set, wawasan, mental dan perilaku serta semangat kerjanya, sedangkan dari segi kelembagaan dan tata kerja  harus diarahkan kepada pencapaian efektifitas dan efisiensi dalam memberikan pelayanan maupun menyelesaikan program yang telah digariskan.

Urusan pemerintahan yang harus dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota semakin bertambah dan bersifat operasional, dengan demikian pelaksana urusan sudah barang tentu akan bertambah jumlahnya. Sasaran ataupun objek dari urusan tersebut terletak di desa/kelurahan, karena masyarakat yang mau disejahterakan ataupun yang dilayani tersebut berada di situ.

Pada saat ini, pemerintahan desa/kelurahan masih rendah kualitasnya dibanding dengan apa yang harus diselenggarakannya, terkecuali untuk darerah sub-urban yang berada di pulau Jawa, Bali dan Madura, begitu juga masyarakatnya belum banyak yang bisa mengurus kebutuhannya apalagi yang menyangkut dengan urusan-urusan pemerintahan. Mereka memerlukan pelayanan, bimbingan dan arahan. Pertanyaannya, apakah aparatur pemerintah daerah kabupaten/kota dapat secara lansung menangani persoalan di tingkat desa/kelurahan?

Jawabannya jelas tidak, karena begitu banyak persoalan yang timbul di tingkat terbawah itu tidak dapat diketahui aparatur kabupaten/kota secara langsung, yang sudah barang tentu akan menyulitkan dalam penyelesaiannya. Di samping itu, keterbatasan waktu dan tenaga aparatur pemerintah daerah kabupaten/kota mempengaruhi pula terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan di tingkat desa/kelurahan.

Keberadaan kecamatan sebagai SKPD dalam pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan daerah layak untuk ditingkatkan kewenangannya, karena disamping sebagai pembantu kepala daerah dalam melakukan pelayanan, juga sangat berguna dalam hal pembinaan aparatur pemerintahan desa yang belum bisa maksimal. Namun perlu digaris bawahi, perluasan kewenangan camat harus juga diimbangi dengan peningkatan sumber dana, infrastruktur, SDM serta perhatian yang besar dari pemerintah daerah terhadap wilayah kecamatan.

  1. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan diatas, maka terdapat dua kesimpulan besar, yaitu berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 eksistensi camat telah bergeser dari yang dahulunya sebagai kepala wilayah administratif menjadi hanya sebagai kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah yang bersifat teknis administratif. Kewenangan yang dimiliki camat saat ini sangat terbatas, yakni hanya sebatas kewenangan administrasi dari kepala daerah, itupun dengan cakupan yang minimalis pula, sedangkan kewenangan yang diberikan UU hanya terbatas pada beberapa hal saja, itupun hanya bersifat koordinatif.

Selanjutnya, secara yuridis camat bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah, namun hal ini sebenarnya tidak diperlukan karena kewenangan yang dimiliki camat diberikan langsung oleh UU (atributif) dan kepala daerah (delegatif), tanpa melalui sekretaris daerah, sehingga pertanggung jawaban camat seharusnya langsung kepada kepala daerah.

Kedepannya camat dan kecamatan diharapkan mendapat kewengan lebih dalam melakukan pelayanan, hal ini disebabkan belum bisanya pemerintah kabupaten turun secara langsung melakukan pelayanan kepada masyarakat. Di samping itu, pemerintahan aparatur desa/kelurahan belum memiliki kecakapan yang mumpuni dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat. Namun perlu dicatat juga bahwa wilayah kecamatan perlu mendapatkan sumber dana, SDM dan infrastruktur yang memadai dalam melakukan pelayanan terhadap masyarakat.

  1. DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta : Bhuana Ilmu Populer, 2007;

Belinfante, A. D. dan Borhanoeddin Soetan Batoeah, Pokok-pokok Hukum Tata Usaha Negara, Jakarta : Binacipta, 1983;

Hadjon, Philipus M. DKK., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, cet. X, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2008;

Hoadley, Mason C., Quo Vadis Hukum Administrasi Indonesia : Antara Kultur Lokal dan Struktur Barat, Yogyakarta : Graha Ilmu, 2006;

Huda, Ni’matul, “Sejarah Ketatanegaraan Indonesia, Pilihan atas Federalisme atau Negara Kesatuan”, dalam Edy Suandi Hamid dan Sobirin Malian, Memperkokoh Otonomi Daerah : Kebijakan, Evaluasi dan Saran, Yogyakarta : UII Press, 2004;

…………., Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2005;

Kansil, C. S. T. dan Christine S. T. Kansil, Modul Hukum Administrasi Negara, cet. II, Jakarta : Pradnya Paramitha, 2005;

Marbun, S. F. dan Moh. Mahfud MD, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, cet. V, Yogyakarta : Liberty, 2009;

Marbun, S. F., Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, cet. III, Yogyakarta : FH UII Press, 2011;

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, cet. IV, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2011;

Sirajuddin, “Hubungan Pusat-Daerah : Konsepsi, Problematika dan Alternatif Solusi” dalam Mukhtie Fadjar Dkk., Konstitusionalisme Demokrasi : Sebuah Diskursus tentang Pemilu, Otonomi Daerah dan Mahakamah Konstitusi, Malang : TRANS Publishing, 2010;

Sukarna, Capita Selecta Administrasi Negara, Bandung : Alumni, 1986;

Sunggono, Bambang, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, Jakarta : Sinar Grafika, 1994;

Syaukani HR., Afan Gaffar dan Ryas Rasyid, Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, cet. VIII, Yogyakarta : Pustaka Pelajar dan PUSKAP, 2009;

Tjakranegara, Soegijatno, Hukum Tata Usaha dan Birokrasi Negara, Jakarta : Rineka Cipta, 1992;

UU Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok Pemerintahan di Daerah;

UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;

UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

 

1 Lihat : UU Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok Pemerintahan di Daerah.

2 UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

3 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, cet. VI (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2011), hlm. 14.

4 Lhat : S. F. Marbun dan Moh. Mahfud MD, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, cet. V (Yogyakarta : Liberty, 2009), hlm. 45.

5 Dalam Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara…, hlm. 15.

6 Philipus M. Hadjon DKK., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, cet. X (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2008), hlm 18.

7 Tugas-tugas modern negara ini biasanya di Eropa Barat dinamakan hak asasi sosial warga negara, hak-hak ini telah dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar Belanda tahun 1983. Antara hak, tugas bagi negara, yang satu dengan hak yang lain bertalian erat dan tidak bisa dipisahkan. Lihat : Ibid., hlm. 18-20.

8 A. D. Belinfante dan Borhanoeddin Soetan Batoeah, Pokok-pokok Hukum Tata Usaha Negara, (Jakarta : Binacipta, 1983), hlm. 1-2.

9 Dalam Soegijatno Tjakranegara, Hukum Tata Usaha dan Birokrasi Negara, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992), hlm. 3.

10 Dalam Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara…, hlm. 94.

11Ibid., hlm. 98.

12Ibid.

13Ibid.

14 S. F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, cet. III (Yogyakarta : FH UII Press, 2011), hlm. 138.

15 Untuk lebih jelas mengenai perbedaan ini, lihat : Ibid., hlm. 139-142.

16 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara…, hlm. 102.

17 Pasal 126 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

18 Ni’matul Huda, “Sejarah Ketatanegaraan Indonesia, Pilihan atas Federalisme atau Negara Kesatuan”, dalam Edy Suandi Hamid dan Sobirin Malian, Memperkokoh Otonomi Daerah : Kebijakan, Evaluasi dan Saran, (Yogyakarta : UII Press, 2004), hlm. 22.

19 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 307.

20Ibid.

21 Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta : Bhuana Ilmu Populer, 2007), hlm. 423. Lihat juga : Sirajuddin, “Hubungan Pusat-Daerah : Konsepsi, Problematika dan Alternatif Solusi” dalam Mukhtie Fadjar Dkk., Konstitusionalisme Demokrasi : Sebuah Diskursus tentang Pemilu, Otonomi Daerah dan Mahakamah Konstitusi, (Malang : TRANS Publishing, 2010), hlm. 152.

22 Kata Pengantar Syaukani HR., Afan Gaffar dan Ryas Rasyid, Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, cet. VIII (Yogyakarta : Pustaka Pelajar dan PUSKAP, 2009).

23 Pasal 26 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

24 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara…, hlm. 334.

25 Sukarna, Capita Selecta Administrasi Negara, (Bandung : Alumni, 1986), hlm. 21-24.

 

Prospek dan Tantangan Penegakan Hukum Progresif

  1. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan sebuah negara yang unik, di negara ini berdiri kokoh sistem hukum Eropa Kontinental yang diwariskan oleh Kolonial Belanda. Sebelum penjajahan belanda di Indonesia, bangsa Indonesia telah terlebih dahulu menggunakan sistem hukum chthonic yang hidup di gugusan kepulauan Nusantara.1 Terma hukum Chthonic dimaksudkan untuk menyebut hukum asli dari masyarakat Indonesia, Edward Goldsmith menggambarkan terma chthonic sebagai kehidupan yang harmoni antara manusia dan bumi. Selain sistem hukum asli, hukum Islam juga mewarnai perkembangan hukum di gugusan Nusantara, hukum ini yang berkembang serentak dengan agama Islam, disebarkan melalui jalur perdagangan dan hidup di bawah legitimasi beberapa kerajaan Islam di Indonesia.2 Al-Quran sebagai kitab suci umata Islam juga mengatur dan berisi pedoman bagi manusia dalam hidup bermasyarakat dan bernegara.3

Menapaki perjalanan panjang sebuah negara, pada tahun 1998 Indonesia memasuki orde Reformasi yang ditandai dengan jatuhnya rezim Soeharto. Periode awal reformasi Indonesia melakukan amandemen Konstitusinya yang dilakukan sampai empat kali perubahan. Perubahan ini tidak hanya melahirkan beberapa Lembaga Negara baru, namun yang paling fundamental adalah berubahnya negara hukum Indonesia yang dahulunya berorientasi pada sistem hukum civil law beralih pada sistem hukum campuran, peralihan ini dapat dilihat dalam UUD 1945 setelah perubahan yang menghilangkan kata rechstaat pada pasal 1 ayat (3). Penghilangan kata rechstaat ini berakibat pada Indonesia tidak lagi secara utuh memakai sistem hukum eropa kontinental, namun lebih beragam dan membuka peluang bagi sistem hukum lain masuk ke dalamnya.

Civil law merujuk pada sistem hukum yang diturunkan dari hukum Romawi kuno dan pertama kali diterapkan di Eropa berdasarkan jus civile Romawi, secara terminologi civil law merupakan hukum privat yang dapat di aplikasikan terhadap warga negara dan di antara warga negara, di dalam batasan negara dalam konteks domestik. Sistem hukum ini juga disebut jus quiritum,4 dan memiliki kecenderungan kodifikasi yang sama.

Code atau Undang-undang dalam sistem civil law merupakan sekumpulan klausa yang berisikan prinsip-prinsip hukum secara umum yang otoritatif, konfrehensif dan sistematis, yang dimuat dalam kitab atau bagian yang disusun secara logis sesuai dengan hukum yang diperlukan. Ciri utama dari sistem ini, selain kodifikasi hukum, adalah peraturan perundang-undangan merupakan pedoman utama dalam menegakkan hukum, hakim hanya sebatas alat penegakan hukum dan hukum harus dibuat dan disahkan oleh lembaga yang berwenang.5 Sistem hukum civil law dipengaruhi oleh Mazhab Filasafat Hukum Positivisme, menurut pandangan mazhab ini bahwa hukum diciptakan dan dibelakukan oleh orang-orang tertentu di dalam masyarakat yang mempunyai kewenangan untuk membuat hukum.6

Pemakaian positivisme hukum ini mengundang banyak permasalahan di kemudian hari, ketika masyarakat yang dinamis selalu berubah dan orang yang berwenang untuk membuat hukum tidak mempunyai kepekaan melihat perubahan yang tejadi dalam masyarakat. Hukum itu ada untuk masyarakat, begitupun tujuan dari hukum, yaitu untuk menciptakan ketertiban dan kenyamanan bagi masyarakat. Menjadi sebuah permasalahn yang besar ketika hukum yang seyogyanya melayani mayarakat tapi malah masyarakat yang dipaksa mengikuti kehendak hukum, dengan beralasan menegakakkan kepastian hukum, masyarakat dipaksa mengikuti apa yang diperintahkan undang-undang, para hakim, jaksa dan polisi menerapkan hukum secara harfiah saja dari muatan undang-undang tapi tidak mencoba untuk menginterpretasi peraturan itu dengan begitu rupa agar keadilan yang menjadi tujuan utama penegakan hukum.

Penegakan hukum secara formal dan rasional belum tentu akan mendatangkan kebahagiaan bagi masyarakat, karena pelaksanaan hukum secara formal akan menimbulkan anggapan dari para penegak hukum bahwa jika hukum telah ditegakkan sesuai undang-undang maka keadilan telah dilaksanakan. Lebih jauh lagi keadilan yang diinginkan oleh seseorang sebenarnya adalah keadilan yang substantif, bukan keadilan prosedural seperti yang tertera di dalam undang-undang saja. Hukum bukanlah persoalan rasional atau formal, tapi lebih jauh ingin menegakkan keadilan demi kebahagiaan manusia.7

Keadilan prosedural ini berawal dari tawar-menawar antara hukum dan prosedur, sering disebut sebagai historic bargain of automous law atau tawar menawar hukum otonom. Pengadilan setuju menyerahkan kebijakan keadilan substantif kepada pihak lain, sebagai gantinya pengadilan diberi kekuasaan untuk menentukan prosedurnya sendiri, yaitu syarat-syarat untk mendapatkan akses ke dan cara berpartisipasi dalam proses hukum.8 Dengan kekuasaan ini, pengadilan dapat mengajukan tuntutan bahwa siapapun yang menggugat otoritas hukum harus melakukannya dengan cara yang taat asas dengan keteraturan hukum.

Pemahaman tentang hukum yang melaksanakan keadilan hukum secara prosedural ini banyak mendapatkan kritik, kritik bermula karena anggapan bahwa hukum untuk manusia. Hukum pada dasarnya bertujuan untuk kedamaian dan tertib manusia, hukum formil hanyalah cara atau metode, substansinya hukum tetaplah demi kebahagiaan manusia. Hukum tidak saja diartikan proses peradilan semata, tapi lebih ditekankan pada keberhasilan untuk mencapai tujuan hukum, atau dengan kata lain menekankan pada efisiensi.9

Sebagai contoh, Jepang sangat terkenal dengan masyarakatnya yang anti litigasi dalam menyelesaikan permasalahan. Bentuk yang paling menonjol dalam penyelesaian pertikaian di Jepang adalah dengan sarana di luar pengadilan, perbaikan hubungan dan konsiliasi. Proses perbaikan hubungan di mana kedua pihak yang bertikai duduk berunding dan mencapai satu titik di mana mereka dapat setuju dan menciptakan hubungan yang harmonis kembali.10

Prof. Satjipto Rahardjo menggagas suatu teori hukum baru di Indonesia, yaitu teori hukum progresif, inti dari teori ini bahwa hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia.11 Gagasan hukum progresif muncul karena keprihatinan terhadap hukum Indonesia, dikatakan bahwa sistem hukum Indonesia adalah satu yang terburuk di dunia. Prof. Tjip lebih menekankan menemukan keadilan di mana saja, tidak mutlak hanya di pengadilan, karena keadilan ada di mana-mana.12 Pada intinya pemikiran hukum progresif menekankan bahwa hukum harus kembali pada filosofi dasarnya, yaitu hukum untuk manusia.13

Kritikan paling tajam terhadap legalisme hukum oleh pemikiran hukum progresif ditujukan kepada perumusan hukum dengan teks. Menurut pemikiran Prof. Tjip, tuntutan perumusan hukum ke dalam teks bisa menyebabkan hukum terjebak pada persoalan kebahasaan dan dengan demikian memasuki permainan kebahasaan. Kalau hukum itu dituntut untuk membuat rumusan-rumusan, maka pada waktu yag sama hukum sama dengan ditakdirkan untuk gagal menjalankan tugas tersebut. Dalam perspektif ini hukum sudah cacat sejak lahir, inilah tragedi hukum, masyarakat diatur oleh hukum yang cacat karena ketidakmampuannya untuk merumuskan dengan tepat hal-hal yang ada di masyarakat. Maka masyarakatpun diatur oleh hukum yang cacat sejak awal.14

Indonesia yang telah berabad-abad memakai sistem hukum positivistik, karena pengaruh kolonialisme, corak hukumnya lebih pada legal-dogmatik. Penyelesaian masalah dan keadilan hanya dapat dilakukan di pengadilan, hakim dan penegak hukum lainnya bertindak atas nama peraturan. Sedangkan pemikiran Hukum progresif yang menggagas pencarian keadilan di mana saja, di mana ada keadilan di situlah ada hukum. Lalu bagaimana dengan kepastian hukum jika sistem hukum Indonesia melaksanakan hukum progresif seperti pemikiran Prof. Satjipto Rahardjo? Kalau keadilan diterapkan di mana saja, institusi negara hanyalah sebagai penjaga malam, bukankah hal ini akan berakibat pada ketidak pastian hukum.

Di samping itu, jika secara baku hukum diartikan dengan sempit, seperti hukum adalah Undang-undang dan keadilan hanya di pengadilan, akan timbul suatu permasalahan yang paling akut dalam hukum, yaitu hukum akan cacat karena bisa jadi hukum yang ada dalam peraturan tidak bisa menjawab tantangan zaman dan dinamika yang berkembang dalam masyarakat.

Permasalahn itu perlu diselesaikan dengan dialektika intelektual, agar nantinya hukum Indonesia bisa mencapai tujuan dari hukum itu sendiri, yaitu menciptakan ketertiban dalam masyarakat dan memberikan rasa damai.

  1. POSITIVISTIK, CIVIL LAW DAN HUKUM PROGRESIF

Pada hakekatnya hukum mengandung sesuatu ide dan konsep yang abstrak, termasuk bastrak adalah ide tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial. Apabila bicara tentang hukum maka sekaligus juga bicara tentag penegakan ide dan konsep yang abstrak tersebut. Dirumuskan secara lain, penegakan hukum merupakan sesuatu untuk mewujudkan ide menjadi kenyataan.15 Penegakkan hukum bertujuan untuk menegakkan keadilan bagi rakyat, maka diaturlah cara serta mekanisme tertentu dalam mendapatkan keadilan tersebut.

Aliran teori hukum murni berpendapat, bahwa norma memberikan arahan atau ancangan pada manusia dalam bertindak. Hukum positif merupakan sebuah tatanan normatif yang mengatur sikap tindak manusia dalam cara tertentu.16 Norma adalah sebuah pernyataan mengenai apa yang seharusnya dilakukan dalam keadaan tertentu, norma yang berlaku akan tergantung dengan norma yang ada diatasnya, yaitu grundnorm.

Aliran positivisme yuridis menyatakan hukum hanya ditangkap sebagai aturan yuridis. Hukum yang sah adalah hukum yang dibuat oleh negara, jika hukum telah dibuat oleh negara maka rakyat wajib mematuhinya, jika tidak dipatuhi akan menerima sanksi. Adil atau tidak bukanlah persoalan, relevan atau tidak bukanlah urusan hukum, yang penting adalah sah atau tidaknya secara yuridis. Hukum bukanlah dasar dalam kehidupan sosial, bukan pula bersumber dari jiwa bangsa, tapi hukum itu ada karena bentuk positifnya dari yang berwenang.17 Penganut kuat aliran ini adalah John Austin.

Hans Kelsen, seperti Austin sebagai pendahulunya, mengatakan bahwa norma adalah perintah. Perintah merupakan suatu pernyataan kehendak dari seseorang yang objeknya adalah perbuatan dari seseorang lainnya.18 Perintah adalah suatu pernyataan kehendak seseorang, berbeda dengan permohonan, berbentuk suatu keharusan. Terminologi ini sangat terpengaruh dengan filsafat hukum yang bermazhab positivistik, di mana pandangan mazhab ini bahwa hukum akan valid jika dibuat oleh pihak yang berwenang. Namun demikian, teori hukum murni berbeda dengan mazhab positivistik dalam hal kemurnian hukum. Teori hukum murni menganggap hukum bebas nilai, hukum hanyalah hukum, sedagkan mazhab hukum positivistik masih memberikan ruang pada nilai, agama serta sosiologi dalam ilmu hukum.

Aliran positivistik sangat mempengaruhi keluarga hukum Eropa-Kontinental, atau yag lebih dikenal dengan sistem civil law, hingga akhirnya berpengaruh juga pada sistem hukum Indonesia. Civil law dikembangkan dari hukum-hukum yang tertuang dalam Corpus Iuris Civilis yang dikodifikasi pada masa Kaisar Iustianus. Sistem hukum ini berkembang dari Romawi, terus diikuti oleh Jerman dan selanjutnya Perancis, karena Belanda pernah menjadi jajahan Perancis pada masa Napoleon Bonaparte maka Belanda pun memakai sistem hukum ini, akibat kolonialisme Belanda di Indonesi, maka Indonesia juga penganut sistem hukum civil law.19

Ciri-ciri utama dari sistem civil law adalah hukum berbentuk peraturan-perturan yang dibuat oleh legislatif, hakim atau pengadilan hanyalah membuat keterangan terhadapt undang-undang atau sebagai corong undang-undang saja, tidak ada istilah judge made law.20 Umumnya peraturan dalam sistem hukum ini selalu dikodifikasi, tidak mengenal dualisme hukum, hukum yang berlaku adalah hukum yang dibuat oleh pemerintah. Semenjak suatu peraturan telah disahkan, maka saat itu juga hukum yang termaktub dalam peraturan tersebut dinyatakan berlaku bagi umum.21

Walaupun di Indonesia ada sistem hukum lain selain civil law, yang berlaku adalah hukum yang ditetapkan oleh pemerintah. Hukum adat yang telah hidup beribu-ribu tahun yang lalu dalam masyarakat Indonesia hanya menjadi hukum kedua setelah hukum positif nasional. Kendati demikian, sesungguhnya di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk sebenarnya hukum adat masih dipertahankan menurut kebiasaan masing-masing daerah, meskipun kemudian akan terjadi dualisme hukum, satu sisi hukum nasional diberlakukan demi kepastian hukum namun sisi lainnya hukum adat juga diberlakukan demi keharmonisan.

Hukum adat pada umumnya tidak berbentuk positif, bersifat interaksionalis dan masih kaburnya batasan das sein dan das sollennya, hukum adat juga lebih tersirat dari pada tersurat. Secara umum Unger mendefinisikan hukum adat merupakan setiap pola interaksi yang muncul berulang-ulang di antara banyak individu dan kelompok, diikuti pengakuan yang relatif eksplisit dari kelompok dan individu tersebut bahwa pola-pola interaksi demikian memunculkan ekspektasi perilaku timbal-balik yang harus dipenuhi.22

Pemikiran hukum progresif yang dicetus oleh Prof. Satjipto Rahardjo, seorang Guru Besar Emiritus Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, mencoba untuk membongkar tradisi civil law yang statis tersebut. Pemikiran hukum progresif bertolak dari fungsi hukum sebagai pelayan manusia, bukan sebaliknya. Titik tolak pemikiran hukum progresif adalah prilaku (behaviour), bukan logika semata.23 Manusia memegang peran utama dalam hukum, sejarah hukum penuh dengan jejak-jejak pergulatan manusia untuk menemukan tatanan yang ideal.24

Perubahan hukum demi tujuan utama mengatur hidup manusia mutlak diperlukan, hal ini dilakukan karena hukum yang tertulis telah mengalami kesenjangan.25 Kesenjangan ini disebabkan oleh sarana yang dilakukan oleh manusia dalam mencapai tujuan hukumnya, yaitu kekakuan hukum tertulis yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan perubahan masyarakat. Hukum tertulis yang statis ini tidak dapat melepaskan diri dari bahan-bahan yang diaturnya, sedangkan bahan-bahan yang diaturnya selalu berubah dan ini dari hukum tertulis tersebut tetap dan tidak berubah, maka kesenjangan itupun terjadi. Sehingga terdapat suatu ketimpangan yang mencolok antara hukum di satu pihak dan masyarakat di lain pihak mengenai perbuatan yang seharusnya dilakukan.

Intisari dari pemikiran hukum progresif yaitu hukum merupakan suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia.26 Hal yang paling penting didapatkan dari hukum adalah bagaiana tujuan-tujuan hukum itu dapat tercapai, hukum hanyalah sebatas sarana untuk mendapatkan keadilan. Penegakan hukum, menurut teori ini, bukanlah menjalankan hukum sebagaimana mestinya, akan tetapi lebih pada cara sosiologis sebagai bentuk alternatif untuk mencapai tujuan hukum yang berbentuk keadilan dengan pertimbangan efisiensi.27

Dikatakan bahwa profesional hukum yang menguasai bisnis lawyering dibuat tertidur nyenyak dengan posisi pikiran hukum dominan. Prof. Tjip mengusulkan suatu pendekatan dan metodologi lain selain dari hukum yang dominan dalam mendapatkan keadilan, karena pikiran dominan ini dianggap telah gagal menyembuhkan krisis hukum yang dialami Indonesia. Krisis hukum yang dimaksud adalah kehilangan pamor hukum sebagai pemberi keadilan yang disebabkan hukum tidak lagi menata dan mengendalikan proses ekonomi, sosial, politik dan sebagainya, tapi lebih sebagai alat kepentingan dan kekuasaan. Kerja hukum tidak lagi otentik.

Hukum progresif berpandangan bahwa hukum ada kaitannya dengan perubahan sosial, maka hukum mempunyai dua tujuan, yaitu hukum sebagai sarana pengendalian sosial dan sebagai sarana social engineering.28 Sebagai pengendali sosial, hukum bertugas untuk mempertahankan suatu tertib atau pola yang telah ada. Sedangkan fungsinya sebagai social engineering, hukum digunakan sebagai alat untuk melakukan perubahan dalam masyarakat, fungsi ini lebih dinamis dibandingkan dengan fungsi sebelumnya.

  1. PROBLEMATIKA PENEGAKAN HUKUM

Apapun faham, teori ataupun mazhabnya, hukum ditegakkan tetaplah mempunyai tujuan yang mulia, yaitu demi ketertiban serta kedamaian manusia untuk mendapatkan keadilan yang substantif. Penegakkan hukum memanglah menjadi persoalan klasik sejak manusia diciptakan, entah itu prosedurnya maupun bentuknya.

Penegakan hukum positif di Indonesia dimulai secara resmi sejak diberlakukannya Op Heid Beleid der Regering van Nederlands-Indie pada tahun 1854, yaitu satu setengah abad yang lalu.29 Supremasi hukum merupakan titik tolak penegakan hukum positiv, maka hukum adalah di atas segala-galanya.

Berdadarkan cirinya yang dibuat oleh legislatif, maka hukum positif merupakan produk politik, karena lagislatif lahir dari proses politik. Sebagai produk politik, maka hukum amat kental dengan kepentingan, rasanya pandangan equality before the law akan sulit diterapkan, sebab logika politik adalah harus ada yang berkuasa dan ada yang dikuasai. Akibatnya hukum akan memandang status sosial subjek hukum, penegakakan hukumpun akan mengalami diskriminasi terhadap manusia itu sendiri.30

Para penguasa di sisi yang mengatur dan diuntungkan, sisi pinggirannya manusia yang lemah. Bentuk seperti ini mengakibatkan hukum dijadikan sebagai alat rekayasa untuk manipulasi sosial, hukum dijadikan oleh kelompok yang berkepentingan untuk mengendalikan negara demi kepentingannya sendiri.31 Maka hukum akan menjadi otoritatif, objektif bukan dibuat untuk merumuskan kebaikan menurut konsepsi negara atau masyarakat secara umum.

Adalah salah jika beranggapan bahwa kepatuhan terhadap hukum sama dengan kesadaran hukum, kepatuhan hukum lebih disebabkan oleh keterpaksaan karena ada institusi negara yang memaksanya, sedangkan kesadaran hukum lahir dari dalam jiwa yang ikhlas untuk mengikuti hukum yang diyakininya benar. Kepatuhan terhadap hukum karena terpaksa bisa jadi akan berubah jika subjek hukum mempunyai kekuatan dan legitimasi untuk melanggarnya, sedangkan kesadaran akan hukum berlaku untuk selamanya karena subjek hukum menerima hukum dengan ikhlas.

Sebagai contoh, seorang pengendara sepeda motor akan memakai seluruh atribut tertib lalu lintas seperti helm, kaca spion dan lain sebagainya, jika akan melewati Pos Polisi atau saat ada razia tertib lalu lintas karena takut ditilang. Namun di tempat lain, dengan orang yang sama, pengendara tersebut dengan sadar melepaskan semua atribut tersebut karena dia merasa tidak akan ditilang, sebab tidak ada polisi yang akan menangkapnya. Deskripsi tersebut merupakan kepatuhan hukum, bukan kesadaran hukum. Jika pengendara tersebut sadar hukum, maka dia akan tetap menggunakan seluruh atribut itu demi keselamatannya dalam berkendara, dimanapun dia berkendara, baik ada polisi atau tidak. Tujuan dari peraturan mewajibkan memakai helm dan spion demi keselamatan pengendara itu sendiri.32

Di samping itu, masyarakat yang merupakan subjek utama hukum, sangatlah dinamis, karena sebagai makhluk sosial maka manusia akan selalu berubah. Di satu sisi hukum positif bersifat statis dan baku, maka hukum pada saatnya nanti akan tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat. Belum lagi permasalahan yang muncul tentang miskin kepekaan yang dialami oleh para pembuat peraturan,33 para legislator membuat undang-undang hanya sebatas mengejar target Program Legislasi Nasional, bukan berdasarkan substansi dari tujuan pembuatan peraturan itu sendiri, masyarakat yang menjadi subjek peraturan itu tidak dijadikan pertimbagan, sehingga bertambah cacatlah hukum yang dilahirkan.

Mengenai kekakuan prosedural legalistik hukum positif, Lawrence M. Friedman menyatakan hukum bukanlah satu-satunya yang bisa memberikan hukuman atau imbalan, masih ada keluarga, teman-teman, rekan kerja dan seluruh subjek hidup masyarakat.34 Salah penilaian jika menganggap hukum adalah segala-galanya, manusia yang menjadi subjek hukum bukanlah mesin, tapi makhluk sosial yang memiliki ide dan nilai sendiri. Di samping itu, manusia bukanlah sesuatu yang statis, tapi makhluk yang dinamis, bisa saja sanksi yang aka dijatuhkan oleh hukum diarahkan pada hal tertentu.35

Hukum formal legalis yang prosedural biasanya mendengungkan slogan persamaan hukum, namun pada pralteknya hukum formal sulit memberikan keadilan bagi masyarakat yang lemah, sebab kelas yang lebih kaya akan lebih diperhatikan.36 Pemberlakuan hukum dengan karakter informal yang lebih luas, dengan menegedepankan pemenuhan fungsi hukum sebagai sumber keadilan, maka hukum akan berfungsi sebagaimana mestinya.

Transformasi sosial manusia Indonesia yang begitu cepat akan sulit terkejar oleh hukum positif yang kaku, maka hukum terkesan tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga boleh dikatakan hukum telah gagal menjalankan perannya sebagai pengatur pranata masyarakat. Kekakuan hukum menyebabkan sulitnya keadilan ditegakkan, karena dia tidak dapat lagi menentukan hukuman ataupun kewajiban yang semestinya dan dengan layak sebab dalam setiap tata kebijakan semuanya telah diatur secara terperinci oleh peraturan tertulis, kalaupun ada inisiatif untuk mengubahnya akan memerlukan dana, tenaga dan waktu tambahan sehingga hukum akan jauh dari kata efektif, efisien serta terkesan boros anggaran. Pada akhirnya apa yang tidak tertulis bukanlah hukum. Inilah apa yang disebut hukum cacat oleh pemikiran hukum progresif.

Penegakan hukum yang kaku bisa mengarah pada penegakan hukum yang refresif, Durkheim menggambarkan hukum refresif biasanya ditegakkan pada masyarakat mekanis. Masyarakat mekanis merupakan masyarakat yang dibentuk secara paksa dengan mekanisme tertentu. Hal ini akan menimbulkan hukuman yang berat terhadap pelanggaran, walaupun hukuman itu tidak sesuai dengan kejahatan yang dilakukan, konsep hukum ini akan melahirkan ketidakseimbangan penghukuman dalam hukum pidana.37 Hukum seperti ini juga disebut sebagai tindakan sosial strategi, di mana satu pihak ingin pihak lain melakukan apa yang dia inginkan, usaha mempengaruhi pihak lain ini bisa dilakukan dengan cara memaksa atau memberlakukan sanksi.38 Tindakan hukum yang seperti ini tidak berdasarkan atas pemahaman bersama tentang keadilan, apa yang adil menurut masyarakat belum tentu keadilan menurut pemerintah, jadinya hukum yang adil hanyalah hukum menurut perspektif pembuat peraturan, yatu pemerintah.

Sebenarnya banyak sekali kelemahan hukum positif dalam sistem hukum, khususnya dalam sistem hukum Indonesia, namun ada juga kelebihan yang dimilikinya. Kelebihan utama hukum positif terletak pada kepastian hukumnya, hukum memiliki suatu standart tertulis dan manusia tidak bisa lepas dari keterikatan terhadap hukum tersebut. Pada kepastian hukum inilah sebenarnya terletak kelemahan dari pemikiran hukum progresif.

Hukum progresif menganggap bahwa keadilan tidak hanya di pengadilan, tapi ada di mana-mana, dan itulah kelebihan utama dari pemikiran hukum progresif. Anggapan ini bisa menjerumuskan jika diartikan secara artifisial dan tidak bertanggung jawab, sebab pemberian diskresi yang berlebihan akan menyebabkan hukum akan kehilangan fungsinya sebagai kontrol sosial. Hukum tidak dapat lagi mengatur masyarakat karena penafsiran yang bebas terhadap keadilan, maka jadilah suatu struktur sosial kembali pada hukum rimba, siapa kuat dia yang menang karena aturan bersifat flleksibel.

Penegakan hukum berdasarkan perubahan dalam masyarakat juga bisa berakibat pada sulitnya keteraturan itu diciptakan, sebab masyarakat selain mempunyai sifat selalu berubah, juga terbentuk dari banyak entitas dan unsur serta bersifat majemuk tentang pemahaman keadilan. Kondisi ini akan melahirkan hukum yang bisa melahirkan ketimpangan juga, karena hukum yang berlaku adalah kehendak mayoritas, maka akan terjadi terhadap diskriminasi terhadap kelompok mayoritas. Keadaan ini lahir disebabkan hukum hanya melihat perubahan makro, sedangkan perubahan yang mikro diabaikan begitu saja karena penelitian dalam ilmu sosial hanya melihat gejala, sedangkan gejala yang tampak pada perubahan itu adalah gejala yang umum.

Pemberian diskresi yang luas, sehingga aparat hukum dapat berbuat selalu fleksibel, adaptif dan selalu mawas diri. Pada posisi ini akan terjadi kekaburan tanggung jawab yang harus diemban oleh penegak hukum, karena mereka telah kehilangan kepastian. Dengan demikian, hukum progresif bisa berakibat pada berubahnya hukum menjadi suatu yang bersifat oportunis, yaitu adaptasi yang tidak terarah terhadap berbagai peristiwa dan tekanan.

Jean Jacque Rousseau dalam Du Contracy Social mengatakan, bahwa jika hanya menuruti nafsu naluriah berarti perbudakan, sedangkan kepatuhan terhadap hukum yang kita tentukan untuk diri kita sendiri adalah kebebasan.39

  1. PENUTUP

Setiap ilmu atau teori pasti memiliki kelebihan dan kekurangan, biasanya kekurangannya terletak tidak jauh dari kelebihannya itu sendiri. Begitupun pemahaman hukum positif di Indonesia dan pemikiran hukum progresif, masing-masing mempunyai kelebihan sekaligus kekurangan, dan kekurangan dari masing-masing pemikiran hukum ini terletak pada kelebihannya juga.

Hukum positif mempunyai kelebihan karena dibukukan dan baku, sehingga sulit hukum untuk dimanipulasi karena setiap aturan sudah tertera dengan jelas di atas kertas. Kelebihan lainnya adalah hukum positif lebih sistematis karena telah terkodifikasi, sehingga membutuhkan prosedur khusus dalam penegakannya. Namun kekurangannya juga terletak pada kodifikasinya, sebab hukum yang telah terkodifikasi akan bersifat kaku, sehingga sulit untuk menyesuaikan diri dengan perubahan dalam masyarakat. Disamping itu, karena sangat prosedural, hukum positif juga dinilai lamban dalam memberikan keadilan pada manusia, sehingga sebelum mendapatkan keadilan, seorag pencari keadilan harus membayar ongkos mahal dari keadilan itu. Maka timbul suatu anekdot “mencari seekor kambing yang hilang harus dibayar dengan seekor sapi”.

Pemikiran hukum progresif yang bertolak pada pengertian bahwa hukum untuk manusia menjadikan manusia sebagai tujuan penegakan hukum yang utama. Kepastian hukum yang dianggap tidak adil, pada konteks tertentu, dapat diabaikan asalkan bisa menemukan keadilan dengan metode yang lain. Itinya keadilan tidak hanya berada di pengadilan dan yang tertulis dalam Undang-undang, tapi keadilan berada di mana-mana. Kelemahan pemikiran hukum progresif ini ialah pada sifatnya yang fleksibel, terlalu adaptif, sehingga akan mengundang kekaburan tanggung jawab bagi aparat penegak hukum. Adaptasi hukum yang digagas hukum progresif akan menyebabkan adaptasi yang tidak terarah, yaitu akan sukar memilah tekanan yang baik dan buruk, karena konsepnya lebih diarahkan pada gejala perubahan sosial.

Prospek yang dimiliki hukum progresif di Indonesia karena masyarakat Indonesia sangatlah plural, baik hukum maupun gejala sosialnya, hal ini memungkinkan pemikiran hukum progresif sesuai dengan typikal masyarakat Indonesia yang lebih mengutamakan harmonis dan mendahulukan penerapan keadilan yang sebenarnya, bukan keadilan yang sesuai peraturan.

Setiap prospek yang dimiliki oleh sesuatu hal, tentunya tantangannya juga mengiringinya. Tantangan paling utama terhadap penegakan hukum progresif sebenarnya datang dari mengakarnya civil law yang positivistik dalam sistem hukum Indonesia, di mana sistem hukum Indonesia lebih mementingkan penegakan hukum yang berdasarkan kepastian hukum daripada menerapkan keadilan. Di samping itu, masyarakat Indonesia ke pengadilan bukanlah untuk mencari keadilan, namun lebih pada untuk memenangkan perkara yang lebih parahnya hal ini diikuti oleh para penegak hukum (Polisi, Jaksa, Pengacara dan Hakim).

Menurut saya, penegakan hukum di Indonesia harus diarahkan untuk menegakkan keadilan dengan cara menjalankan kepastian hukum yang bermanfaat untuk masyarakat demi tercapainya kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Apapun model penegakan hukum, harus berorientasi pada nilai-nilai keadilan dan bertujuan demi kesejahteraan rakyat, karena hukum bukan hanya untuk ketertiban maupun kedamaian, tapi semuanya akan bermuara pada kesejahteraan yang hakiki dan kesejahteraan secara umum.

  1. DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin, Studi Agama : Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, cet. IV, 2004.

Arinanto, Satya dan Ninuk Triyanti (ed.), Memahami Hukum : Dari Konstruksi sampai Implementasi, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2009.

Cahyadi, Antonius dan E. Fernando M. Manullang, Pengantar ke Filsafat Hukum, Jakarta : Kencana, cet. II, 2008.

Cruz, Peter De, Perbandingan Sistem Hukum : Civil Law, Common Law dan Socialist Law, alih bahasa Nurulita Yusron, Bandung dan Jakarta : Nusa Media dan Diadit Media, 2010.

Edkins, Jeny, dan Nick Vaughan Williams, Teori-teori Kritis : Menantang Pandangan Utama Studi Politik Internasional, terj. Teguh Wahyu Utomo, Yogyakarta : Baca, 2010.

Friedman, Lawrence M., Sistem Hukum : Perspektif Ilmu Sosial, terj. M. Khozim, Bandung: Nusa Media, cet. III, 2009.

Gunawan, Ahmad dan Munawar Ramadhan, Menggagas Hukum Progresif, Yogyakarta dan Semarang : Pustaka Pelajar, IAIN Wali Songo dan Program Doktor Ilmu Hukum Undip, 2006.

Hart, H.L.A., Law, Liberty and Morality, terj. Ani Mualifatu Maisah, Yogyakarta : Genta Publishing, 2009.

Kelsen, Hans, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, terj. Raisul Muttaqien, Bandung : Nusa Media, cet. V, 2010.

Khaldun, Ibnu, Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha, Jakarta : Pustaka Firdaus, cet. IV, 2003.

Lauer, Robert H., Perspektif tentang Perubahan Sosial, terj. Alimandan, Jakarta : Rineka Cipta, cet. IV, 2003.

Lukito, Ratno, Tradisi Hukum Indonesia, Yogyakarta : Teras, 2008.

Manan, Abdul, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Jakarta : Kencana, cet. III, 2009.

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, Yogyakarta : Liberty, edisi IV, cet. II, 1999.

Nonet, Philippe dan Philip Selznick, Hukum Responsif, terj. Raisul Muttaqien, Bandung: Nusa Media, cet. 2008.

Peters, A.A.G., dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial : Buku Teks Sosiologi Hukum, Jakarta : Sinar Harapan, 1988.

Rahardjo, Satjipto, Membedah Hukum Progresif, Jakarta : Kompas Media Nusantara, cet. III, 2008.

……………, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Jakarta : Kompas Media Nusantara, cet. II, 2006.

……………., Hukum Progresif : Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Yogyakarta : Genta Publishing.

……………., Penegakan Hukum Progresif, Jakarta : Kompas Media Nusantara, 2010.

…………….., Hukum dalam Jagad Ketertiban, Jakarta : UKI Press, 2006.

………………, Penegakan Hukum : Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta : Genta Publishing, 2009.

………………, Biarkan Hukum Mengalir : Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, Jakarta : Kompas Media Nusantara.

………………., Hukum dan Perubahan Sosial : Suatu Tinjauan Teoritis serta Pengalaman-pengalaman di Indonesia, Yogyakarta : Genta Publishing, cet. III, 2009.

………………., Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial bagi Pengembangan Ilmu Hukum, Yogyakarta : Genta Publishing, 2010.

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi : Dari Teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, terj. Nurhadi, Yogyakarta : Kreasi Wacana, cet. V, 2010.

Rousseau, Jean Jacques, Du Contract Social, alih bahasa Vincent Bero, Jakarta : Visimedia, 2007.

Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta : UI Press, Edisi V, 1993.

Strong, C. F., Konstitusi-konstitusi Politik Modern : Studi Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk, alih bahasa Derta Sri Widowatie, Bandung : Nusa Media, cet. III, 2010.

Tanya, Bernard L., dkk., Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Waktu, Yogyakarta : Genta Publishing, cet. III, 2010.

Unger, Roberto M., Teori Hukum Kritis : Posisi Hukum dalam Masyarakat, terj. Dariyatno dan Derta Sri Widowatie, Bandung : Nusa Media, cet. IV, 2010.

Weber, Max, Sosiologi, terj. Noorkholis, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, cet. II, 2009.

Wignjosoebroto, Soetandyo, Hukum : Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Jakarta : Elsam dan Huma, 2002.

Catatan Kaki

1 Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, Yogyakarta : Teras, 2008, hlm. 3.

2 Amin Abdullah, Studi Agama : Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, cet. IV, 2004, hlm. 5.

3 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta : UI Press, Edisi V, 1993, hlm. 4.

4 Peter De Cruz, Perbandingan Sistem Hukum : Civil Law, Common Law dan Socialist Law, alih bahasa Nurulita Yusron, (Bandung dan Jakarta : Nusa Media dan Diadit Media, 2010), hlm. 61-62.

5 C. F. Strong, Konstitusi-konstitusi Politik Modern : Studi Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk, alih bahasa Derta Sri Widowatie, (Bandung : Nusa Media, cet. III, 2010), hlm. 185.

6 Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manullang, Pengantar ke Filsafat Hukum, Jakarta : Kencana, cet. II, 2008, hlm, 58.

7 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Jakarta : Kompas Media Nusantara, cet. III, 2008, hlm. 10.

8 Philipe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, terj. Raisul Muttaqien, Bandung: Nusa Media, cet. 2008, hlm. 74.

9 Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Jakarta : Kompas Media Nusantara, cet. II, 2006, hlm. 194.

10 A. A. G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial : Buku Teks Sosiologi Hukum, Jakarta : Sinar Harapan, 1988, hlm. 105.

11 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif : Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Yogyakarta : Genta Publishing, 2009, hlm. 2.

12 Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, Jakarta : Kompas Media Nusantara, 2010, hlm. 4.

13 Bernard L. Tanya dkk., Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Waktu, Yogyakarta : Genta Publishing, cet. III, 2010, hlm. 212.

14 Satjipto Rahardjo, Hukum dalam Jagad Ketertiban, Jakarta : UKI Press, 2006, hlm. 168.

15 Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum : Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta : Genta Publishing, 2009, hlm. 12.

16 Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manullang, Pengantar ke Filsafat….., hlm. 81.

17 Bernard L. Tanya dkk., Teori Hukum…, hlm. 119-121

18 Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, terj. Raisul Muttaqien, Bandung : Nusa Media, cet. V, 2010, hlm. 40.

19 Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Jakarta : Kencana, cet. III, 2009, hlm. 31-33.

20Ibid. Hlm. 34. Soetandyo menyebutkan bahwa positivisme dikonsepkan sebagai law in book, hukum yang mengatur manusia demi tertib hukum harus patuh terhadap undang-undang. Lihat juga : Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum : Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Jakarta : Elsam dan Huma, 2002, hlm. 164.

21 Hans Kelsen, Teori Umum…, hlm. 44.

22 Roberto M. Unger, Teori Hukum Kritis : Posisi Hukum dalam Masyarakat, terj. Dariyatno dan Derta Sri Widowatie, Bandung : Nusa Media, cet. IV, 2010, hlm. 63-64.

23 Satjipto Rahardjo, “Hukum Progresif sebagai Dasar Pembangunan Ilmu Hukum Indonesia”, dalam Ahmad Gunawan dan Munawar Ramadhan, Menggagas Hukum Progresif, Yogyakarta dan Semarang : Pustaka Pelajar, IAIN Wali Songo dan Program Doktor Ilmu Hukum Undip, 2006, hlm. 9.

24 Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir : Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, Jakarta : Kompas Media Nusantara, cet. II, 2008, hlm. 8.

25 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial : Suatu Tinjauan Teoritis serta Pengalaman-pengalaman di Indonesia, Yogyakarta : Genta Publishing, cet. III, 2009, hlm. 50-51.

26 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif : Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Yogyakarta : Genta Publishing, 2009, hlm. 2.

27 Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi…, hlm. 194. Pemikiran hukum progresif hampir sama dengan teori hukum responsif yang digagas oleh Nonet dan Selznick, yaitu upaya untuk menempatkan hukum sebagai respon terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik. Hukum responsif juga mengkritik hukum otonom yang kaku, kekakuan ini menurutnya akan berakibat aparat hukum tidak siap menghadapi perubahan masyarakat. Lihat : Philipe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif……, hlm. 86-87.

28 Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial bagi Pengembangan Ilmu Hukum, Yogyakarta : Genta Publishing, cet. II, 2010, hlm. 124.

29 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum : Paradigma.., hlm. 457.

30 Ibnu Khaldun menamakan hukum yang seperti ini dengan nama hukum binatang, karena hukum yang dibuat menyimpang dari keadilan dan mengabaikan kepentingan rakyat, penguasa membuat hukum hanya dengan tujuan dan kepentingannya sendiri. Hukum seperti ini akan berakibat ketidak patuhan pada hukum oleh rakyat dan memancing terjadinya pemberontakan. Ibnu Khaldun mengusulkan agar hukum yang digunakan berdasarkan hukum Agama Islam, karena hukum Islam ditentukan Allah demi ketertiban dan keadilan bagi manusia itu sendiri. Lihat : Ibnu Khaldun, Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha, Jakarta : Pustaka Firdaus, cet. IV, 2003, hlm. 232-234.

31 Roberto M. Unger, Teori Hukum Kritis…., hlm. 82.

32 Hart menyebut jenis ini adalah ketaatan tunggal, karena takut mendapatkan sanksi terhadap pelanggaran hukum, bukan karena kesadaran pribadi. Lihat : H.L.A. Hart, Law, Liberty and Morality, terj. Ani Mualifatu Maisah, Yogyakarta : Genta Publishing, 2009, hlm. 80-81.

33 Miskin kepekaan di sini bisa juga diartikan dengan rendahnya kualitas anggota legislatif, kita tentu ingat disertasi Idrus Marham yang mengatakan bahwa 60% anggota DPR RI periode 2004-2009 memiliki kualitas yang rendah. Kompas, Edisi Minggu, 18 Januari 2009.

34 Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum : Perspektif Ilmu Sosial, terj. M. Khozim, Bandung: Nusa Media, cet. III, 2009, hlm. 139.

35 Perilaku ini bisa dinamakan dengan tawar menawar atau interaksi, interaksi yang lebih ekstrim lagi seorang pelaku kejahatan bisa menggalang revolusi untuk mengubah hukum. Friedman menyebutkan hukum yang kaku bisa berimplikasi pada beberapa jenis prilaku, yaitu tawar menawar atau interaksi, reaksi dan yang terakhir adalah efek samping dari hukum. Lihat : Ibid, hlm. 140.

36 Lihat : Max Weber, Sosiologi, terj. Noorkholis, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, cet. II, 2009, hlm. 264-265.

37 George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi : Dari Teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, terj. Nurhadi, Yogyakarta : Kreasi Wacana, cet. V, 2010, hlm. 92.

38 Jeny Edkins dan Nick Vaughan Williams, Teori-teori Kritis : Menantang Pandangan Utama Studi Politik Internasional, terj. Teguh Wahyu Utomo, Yogyakarta : Baca, 2010, hlm. 248-249.

39 Jean Jacques Rousseau, Du Contract Social, alih bahasa Vincent Bero, Jakarta : Visimedia, 2007, hlm. 32.

Menimbang Sistem Rekruitmen Parpol

Sebelum memulai tulisan ini untuk pembahasan lebih jauh, saya sangat terganggu dengan pertanyaan perbedaan mendasar Ilmu Politik dan Hukum Tata Negara itu apa? Banyak yang saya temukan jawabannya, namun yang menjadi dasar saya memberanikan diri menulis pembahasan ini adalah jawaban seorang teman yang mengatakan bahwa Hukum Tata Negara berdiri pada dua ranah ilmu, satu kaki berpijak pada Ilmu Politik dan kaki yang lain berada pada ranah Ilmu Hukum. Pertanyaan selanjutnya adalah kaki mana saja yang berada pada Ilmu Politik dan kaki yang mana berada di wilayah Ilmu Hukum? Biarlah pertanyaan itu menjadi sebuah kegelisahan dan memupuk semangat intelektual untuk mencari tahu.

  1. PENDAHULUAN

Lembaga perwakilan rakyat seperti Dewan Perwakilan Rakyat secara konstitusional diposisikan sebagai sebuah lembaga yang terhormat, dalam tata krama persidangan disebutkan “..Ibu dan Bapak anggota dewan yang terhormat..”. Perkataan ini menandakan suatu posisi khusus yang tidak didapatkan orang kebanyakan dan merupakan posisi bagi orang-orang terpilih, mereka bukanlah manusia biasa seperti rakyat jelata karena hak dan kewenangannya diatur langsung oleh konstitusi dan peraturan di bawahnya.

Keinginan untuk menjadi seorang anggota legislatif tidak hanya datang dari seorang “job seeker” yang ingin mendapatkan pekerjaan dan pendapatan yang lebih layak, namun juga posisi ini juga sangat diminati oleh kalangan yang telah mapan secara ekonomi maupun popularitas, seperti para selebristis dan para pengusaha juga sangat menginginkan posisi ini. Wajar jika segala sumber daya dikerahkan dalam setiap momentum Pemilu demi kedudukan ini, karena posisi ini menjanjikan sebuah popularitas yang diikuti oleh sumber pendapatan dan tentunya kehormatan sebagai negarawan dengan segala hak dan keistimewaannya.

Suatu keprihatinan yang mendalam melihat kenyataan dalam banyak kasus bahwa moral, kualitas intelektual maupun kemampuan kenegaraan anggota parlemen Indonesia, baik DPR, DPD maupun DPRD, sangatlah lemah. Tidak sampai di situ, informasi yang sampai bocor di ruang publik menandakan bahwa lembaga ini adalah lembaga yang paling korup dan tidak dapat dipercaya. Jadi wajar Pong Harjatmo menuliskan sebuah kritik di atas Gedung Keong dan musisi Slank melantunkan sebuah lagu Gosip Jalanan yang keduanya bermaksud menyampaikan kritik dan saran kepada negarawan yang ada di DPR, sungguh ini merupakan tamparan keras kalau mereka sadar dengan aspirasi rakyat, tentunya seluruh rakyat Indonesia juga masih punya berbagai uneg-uneg yang belum sempat disampaikan. Idrus Marham, dalam ujian desertasi Doktor bidang Ilmu Politik di UGM, menyatakan bahwa 60% anggota DPR periode 1999-2004 berkualitas rendah.1

Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai fungsi utama sebagai pembuat kebijakan negara (legislasi) dan fungsi mengawasi pelaksanaan kebijakan yang telah dibuat (control)2 dan fungsi membuat anggaran negara.3 Fungsi lain yang tidak kalah pentingnya adalah parlemen berfungsi edukatif, di mana parlemen merupakan forum kerjasama antar berbagai golongan yang memungkinkan penyampaian pendapat di depan umum, sedangkan fungsi lainnya adalah sebagai rekruitmen politik, parlemen merupakan training ground bagi generasi muda untuk belajar politik sampai ke tingkat nasional.4

Sistem demokrasi yang dianut di Indonesia memberikan posisi yang begitu urgen bagi Partai Politik, Partai Politik merupakan sarana bagi warga negara untuk dapat berpartisipasi dalam pengelolaan negara. Lahirnya Partai Politik tidak lepas dari kenyataan bahwa rakyat harus diikut sertakan dalam setiap proses politik.5 Terkait fungsi seperti ini Partai Politik mempunyai status sebagai institusi publik semu, karena Partai Politik bukanlah lembaga pemerintah tapi juga bukan lembaga swasta yang seutuhnya.6

Namun dalam kenyataannya Partai Politik di Indonesia telah mengabaikan fungsi-fungsi umum sebagai Partai Politik. Sering dengan euphoria politik, maka keberadaan Partai Politik tidak lebih dari sekedar media untuk meraih kepentingan politik semata, yakni menduduki jabatan untuk kekuasaan politik. Sehingga yang dominan adalah Partai Politik sebagai sarana pendidikan kekuasaan, di mana sebuah institusi Partai Politik hanya dijadikan tempat belajar untuk mendapatkan, menggunakan dan menjalan kekuasaan demi kepentingan pribadi, kelompok, keluarga dan Partai itu sendiri serta mengabaikan kepentingan nasional dan seluruh rakyat.

Partai politik lebih mengutamakan dimensi popularitas serta kekuatan ekonomi kadernya untuk dijadikan elit politik, dalam hal ini menjadi seorang negarawan di lembaga legislatif, dengan mengabaikan dimensi kualitasnya. Dengan demikian Partai Politik telah mengabaikan dua fungsi utama Partai Politik, yaitu sebagai sarana sosialisasi politik dan sarana rekruitmen politik. Lalu bagaimanakah seharusnya partai politik difungsikan agar nantinya menghasilkan negarawan yang berkualitas dan tentunya juga melahirkan produk legislasi yang berkualitas juga?

Pembahasan dalam tulisan ini akan coba menerangkan tentang fungsi dan peran Partai Politik serta analisis tentang fungsinya, lebih khusus lagi analisis akan dikerucutkan mengenai fungsi rekruitmen polotik yang dilakukan oleh Partai untuk seleksi kepemimpinan di dalam lembaga legislatif.

  1. LEMBAGA LEGISLATIF DAN FUNGSI PARTAI POLITIK

Lembaga legislatif atau legislature merupakan lembaga negara yang fungsi utamanya sebagai pembuat peraturan yang berlaku bagi seluruh unsur negara. Legislatif mempunyai banyak nama dan istilah, di antaranya assembly yang berarti berumpul, nama lain adalah parliament yang mengandung makna bicara.7 Lembaga Perwakilan atau Lembaga Legislatif lahir berdasarkan teori, bahwa rakyat adalah pemegang kekuasaan yang tertinggi, rakyat mempunyai kehendak dan peraturan-peraturan yang dibuat oleh lembaga legislatif merupakan kehendak umum atau volumte generale dari seluruh rakyat karena lembaga tersebut adalah refresentasi rakyat.8

Wakil-wakil rakyat duduk dalam lembaga legislatif (DPR) dipilih melalui mekanisme Pemilu. Pemilu merupakan arena kompetisi untuk mengisi jabatan-jabatan politik di pemerintahan yang didasarkan pada pilihan formal dari warga negara yang memenuhi syarat.9

Sebuah Partai Politik dibentuk dengan maksud baik,10 yakni menampung, mengolah dan menyuarakan aspirasi rakyat yang memilihnya agar kepentingan rakyat tidak dilupakan oleh penguasa. Kita tidak akan membayangkan ada kehidupan demokrasi tanpa Partai Politik, pada sebuah negara Monarki Partai Politik akan dianggap sebagai kelompok yang memecah belah dan merintangi niat besar Sang Raja,11 Partai Politik dianggap sebagai pihak yang selalu menghasut dan anti pembagunan yang telah didesain oleh Sang Raja.

Partai berasal dari bahasa Latin, partire yang berarti membagi.12 Partai Politik secara umum berarti suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita yang sama.13 Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik. Pendirian Partai Politik berangkat dari anggapan bahwa dengan membentuk wadah organisasi mereka bisa menyatukan orang-orang yang mempunyai pikiran serupa sehingga pikiran dan orientasi mereka bisa dikonsilidasikan. Dengan begitu pengaruh pengaruh mereka lebih besar dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan.14 Perebutan dan cara mempertahankan kedudukan politik dilakukan dengan mekanisme konstitusional.

Menurut Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2011 Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.15

Secara umum dikenal beberapa fungsi utama Partai Politik dalam sebuah negara demokrasi, fungsi pertama adalah sebagai sarana komunikasi politik, yaitu Partai Politik sebagai perantara antara kekuatan-kekuatan dan pendapat yang ada dalam masyarakat dengan lembaga resmi pemerintah. Pertama Partai melakukan penggabungan kepentingan yang berasal dari masukan berbagai fihak, selanjutnya dilakukan perumusan kepentingan yang selanjutnya disampaikan kepada pemerintah.

Fungsi kedua yaitu sebagai sarana sosialisasi politik, bisa diartikan masyarakat belajar mengenai sistem politiknya melalui Partai Politik. Dimensi lain dari fungsi ini adaalah sebagai proses yang melaluinya masyarakat “budaya politik” yaitu norma-norma dan nilai-nilai, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian sosialisasi politik merupakan faktor penting dalam membentuk budaya politik suatu bangsa.

Ketiga Partai Politik berfungsi sebagai Rekruitmen politik, yaitu Partai Politik dijadikan sebagai lembaga awal yang melakukan seleksi kepemimpinan. Seleksi kepemimpinan mencakup seleksi kepemimpinan di internal Partai, kepemiminan wilayah serta yang paling penting adalah seleksi kepemimpian tingkat nasional. Fungsi keempat adalah sebagai sarana pengatur konflik.16 Konflik yang terjadi di suatu negara membutuhkan peran Partai Politik untuk membantu mengatasinya, atau setidaknya dapat diatur sedemikian rupa sehingga dampak negatifnya dapat diminimalisir. Elit Partai dapat menumbuhkan pengertian di antara mereka dan brsamaan dengan itu dapat meyakinkan pendukungnya.

Roskin juga menjabarkan bahwa Partai Politik berfungsi sebagai jembatan pemerintah dan rakyat, agregrasi kepantingan, integrasi ke dalam sistem politik, sosialisasi politik, mobilitas pemilih dan seagai sebuah lembaga yang mampu untuk mengorganisir pemerintahan.17

Partai Politik di negara-negara berkembang lebih difungsikan, atau setidaknya harapan kepada Partai Politik, sebagai sebuah organisasi yang dapat mempersatukan setiap golongan, agama, suku dan berbagai latar belakang yang ada dalam satu negara. Fungsi ini diharapkan Partai mampu mengintegrasikan seluruh kekuatan nasional serta memupuk identitas nasional. Partai Politik juga diharapkan berfungsi untuk meningkatkan kemiskinan dan keterbelakangan pada negara yang baru berkembang, lebih khusus negara yang baru mendapatkan kemerdekaan, karena di negara berkembang kemiskinan dan pemerataan merupakan persoalan yang urgen dan sangat riskan.18

  1. RELEFANSI FUNGSI REKRUITMEN POLITIK PADA PARTAI POLITIK DENGAN PRODUK LEGISLATIF

Fungsi Partai Politik saat ini mengalami gradasi dan mengalami disfungsi yang sangat akut, sehingga orientasi utama sebuah Partai Politik bukan untuk kepentingan anggota dan masyarakat. Tapi lebih kepada kepentingan elitnya serta kelompok tertentu sehingga citra Partai terkesan jelek dan tidak sedikit yang mengusulkan agar ada mekanisme lain menuju kekuasaan selain melalui Partai, yakni mekanisme calon independen.19 Namun untuk penjaringan anggota legislatif nampaknya masih sulit gagasan calon independen akan terealisasi, karena sistem kepartaian masih dianggap cocok sebagai mekanisme perekrutan anggota legislatif.

Sebelum seseorang didaftarkan sebagai calon anggota legislatif oleh partai politik, calon tersebut perlu diberi perlakuan khusus menurut mekanisme partai, untuk menjadi seorang calon legislatif seseorang seharusnya telah mendapatkan pendidikan politik sehingga ia menjadi seseorang yang melek politik. Salah besar jika rakyat yang sebagai pemilih yang disalahkan jika hasil Pemilu legislatif buruk, terutama kualitas orang yang dipilihnya, yang patut disalahkan adalah partai politik peserta Pemilu-lah karena sebelum seseorang dimasukkan sebagai calon anggota legislatif partai tidak atau jarang sekali melakukan pem-back up-an calon yang diusungnya, hal ini akhirnya berakibat buruknya kinerja lembaga legislatif tersebut. Seandainya calon yang diusung telah terbukti kualitasnya, maka hasilnyapun tentu berkualitas, toh dalam konteks sekarang rakyat dipaksa memilih yang terbaik diantara yang terburuk.

Persoalan mendasar sekarang dalam hal pencalonan lembaga legislatif adalah banyak partai yang lebih memilih calon yang mempunyai popularitas dan dukungan dana yang melimpah, maka tidak heran jika sekarang yang banyak jadi negarawan di Senayan adalah kaum selebritis yang sebenarnya tidak tahu politik, dan kalau boleh dikatakn manusia yang asosial, serta para bisnisman yang tujuan utamanya menjadi pejabat bukan untuk kesejahteraan rakyat, tapi lebih pada melancarkan bisnisnya.

Beberapa kritik tajam yag dilontarkan beberapa kalangan tidak lepas dari buruknya kinerja serta citra legislatif Indonesia saat ini, hal ini tidak lepas dari rasa ketidakpuasan rakyat. Rakyat yang seharusnya dilayani, didengarkan aspirasinya dan mendapatkan perhatian lebih dari DPR tapi malah dijadikan kambing hitam, kadang mereka dengan enaknya berkata “demi konstituen..” untuk memuluskan argumen mereka yang bertujuan oportunis pribadi mereka sendiri.

Geoff Mulgan menggambarkan bahwa para profesional pelayan masyarakat akan lebih cenderung mengubah penyediaan, memaksimalkan anggaran belanja dan meminimalkan tanggung jawab.20 Kenyataan yang digambarkan Mulgan ini benar-benar terjadi saat ini di Indonesia, di mana anggaran belanja negara lebih banyak diserap dalam bidang belanja pegawai dan para anggota DPR secara bersamaan juga mau membangun gedung baru, walaupun belum diperlukan, dan studi banding ke luar negeri saat rakyanya banyak kelaparan dan studi banding itu dilakukan pada masa reses, bukan seharusnya mengunjungi dan menyerao aspirasi konstituennya tapi pergi plesir ke luar negeri.

Perlakuan seperti di atas bisa diminimalisir pada periode politik tertentu jika anggota legislatifnya memiliki kualitas yang tinggi, bukan hanya kualitas intelektual, tapi juga diperlukan tingginya kualitas moral agar para legislator tersebut lebih peka terhadap aspirasi serta kebutuhan rakyat.

DPR RI yang berisi manusia terpilih dari partai masing-masing seharusnya menjadi tolak ukur rakyat Indonesia. Partai politik yang berfungsi sebagai sarana pengatur konflik mestinya tercermin dari para anggotanya di parlemen, tapi sayangnya konflik besar malah lahir dari dalam parlemen itu sendiri. Tidak jarang kita melihat gontok-gontok-an sesama anggota Dewan, padahal mereka dari partai dan partai politik adalah sarana pengatur konflik tapi malah mereka melakukan konflik fisik, bagaimana mungkin partai akan mengatur konflik yang terjadi dalam masyarakat jika anggotanya saja selalu berkonflik.

Etika dalam politik dan pembuatan kebijakan sangatlah penting, bukan hanya kepentingan semata, karena etika yang baik akan melahirkan sebuah kebijakan yang baik pula.

Richard C. Snyder dengan teori pembuatan keputusan membagi faktor yang melatar belakangi pembuatan keputusan, yaitu keadaan intern, keadaan ekstern dan proses pembuatan keputusan.21 Berdasarkan teori dari Snyder ini, pembuatan keputusan didukung oleh tiga faktor utama, yaitu kemampuan, komunikasi-informasi dan motivasi. Kemampuan anggota legislatif Indonesia bisa dikatakan sangat rendah, baik intelektual maupun etikanya.22

Jean Jacques Roesseau mengatakan, dibutuhkan intelegensi yang tinggi untuk untuk menemukan peraturan-peraturan, peraturan itu lahir dari keinginan terbesar manusi. Inteligensi itulah yang nantinya akan mampu menarik para Dewa untuk memberikan hukum terbaik bagi manusia.23 Hukum yang lahir dari orang bodoh, akan bodoh pulalah substansi hukum itu.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal sebagai contoh, dalam pembuatan UU ini jelas faktor eksternal yang paling dominan, karena UU ini sangat sarat kepentingan asing.24 Kepentingan nasional dan kesejahteraan rakyat yang semestinya lebih diperhatikan tapi malah diabaikan, hal ini lebih disebabkan oleh kemampuan menganalisa dan menagkap keinginan rakyat dari anggota legislatif yang rendah, yang lebih parah lagi adalah motivasi mereka adalah memperkaya diri dan meminimalkan tanggung jawab agar UU tersebut cepat selesai serta yang penting mereka telah mendapatkan intensf dari setiap UU yang diselesaikan. Seharusnya UU tersebut dibuat demi kepentingan nasional dan untuk memejukan kesejahteraan rakyat, karena DPR lahir dari kehendak rakyat secara umum (volumte generale).

  1. PENUTUP

Seleksi yang ketat dan melelui mekanisme yang rumit mutlak diperlukan oleh sebuah partai politik dalam menjaring calon legislatif yang akan didaftarkan pada Pemilu. Hal ini akan berimplikasi pada bagusnya hasil Pemilu, yaitu berupa lembaga legislatif yang memang tahu politik dan nantinya akan mengeluarkan produk legislasi yang berkulitas pula.

Idealnya sebelum seorang calon didaftarkan oleh partai, partai perlu mempertimbangkan beberapa kriteria sebagai berikut :

  1. Dalam diri calon tersebut harus mempunyai kepedulian terhadap kehidupan yang lebih baik bagi rakyat Indonesia;

  2. Calon harus mempunyai moralitas dan kejujuran dalam menjalankan amanah rakyat;

  3. Calon tersebut harus mempunyai kemuliaan pribadi dan sosial;

  4. Calon tersebut mempunyai visi yang jauh ke depan;

  5. Calon harus rela berkorban demi bangsa dan negara;

  6. Harus seseorang yang mempunyai nation and social responsibility;

  7. Calon legislatif tersebut harus mempunyai nation pride and dignity sebagai refresentasi masyarakat;

  8. Calon tersebut harus mempunyai kematangan sosial dan mampu bekerja team work;

  9. Calon tersebut mutlak mempunyai kemampuan politik sebagai negarawan, bukan sebagai politisi semata.

Kriteria-kriteria di atas harus benar-benar dimiliki oleh para calon anggota legislatif, diamati dengan seksama oleh partai dan mereka merupakan kader-kader yang telah lama berproses di partai. Ketenaran dan kekuatan ekonomi calon bukanlah jaminan utama kualitas lembaga legislatif, tapi integritas moral, skill, kewiraan dan kematangan adalah syarat yang paling penting.

  1. DAFTAR PUSTAKA

Arba MF., Syarofin, Demitologisasi Politik Indonesia : Mengusung Elitisme dalam Orde Baru, Jakarta : Pustaka Cidesindo, 1998

Arinanto, Satya dan Ninuk Triyanti (ed.), Memahami Hukum : Dari Konstruksi sampai Implementasi, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2009.

Asshiddiqie, Jimly, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta : Buana Ilmu Populer, 2007.

Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, edisi revisi, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, cet. IV, 2010.

Cipto, Bambang Politik dan Pemerintahan Amerika, Yogyakarta : Lingkar Buku, cet. II, 2007.

………………., Prospek dan Tantangan Partai Politik, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996.

Faturohman, Deden dan Wawan Sobari, Pengantar Ilmu Politik, Malang : UMM Press, 2002.

Huntington, Samuel P. dan Joan Nelson, Partisipasi Politik, terj. Sahat Simamora, Jakarta : Rineka Cipta, cet. II, 1994.

Mulgan, Geoff, Politik dalam Sebuah Era Anti Politik, terj. Hartuti Purnaweni, Jakarta : YOI, 1995.

Mustofa (ed.), Memilih Partai Mendambakan Presiden : Belajar Berdemokrasi di Ufuk Milenium, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1999.

Pamungkas, Sigit, Perihal Pemilu, Yogyakarta : Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan dan Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL UGM, 2009.

Mohammad Amien Rais, Agenda Mendesak Bangsa : Selamatkan Indonesia !, Yogyakarta : PPSK Press, 2008.

Rousseau, Jean Jacques, Du Contract Social, alih bahasa Vincent Bero, Jakarta : Visimedia.

Sukmana, Oman, “Mengingatkan Kembali Peran dan Fungsi Partai Politik”. Dalam Jurnal Sosiologi Reflektif. Vol. IV, April 2010.

Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2011 Tentang Partai Politik.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia Rahun 1945.

Varma, SP., Teori Politik Modern, terj. Yohanes Kristiarto dkk., Jakarta : RajaGrafindo Persada, cet. IX, 2010.

Catatan Kaki

1 Kompas, edisi Minggu : 18 Januari 2009.

2 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, edisi revisi, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, cet. IV, 2010, hlm. 322.

3 Pasal 20A ayat (1) UUD tahun 1945.

4 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar….hlm. 327.

5Ibid. Hlm. 397-398.

6 Bambang Cipto, Politik dan Pemerintahan Amerika, Yogyakarta : Lingkar Buku, cet. II, 2007, hlm. 62.

7 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar…hlm. 315.

8 Jean Jacques Rousseau, Du Contract Social, alih bahasa Vincent Bero, Jakarta : Visimedia, 2007, hlm. 25.

9 Sigit Pamungkas, Perihal Pemilu, Yogyakarta : Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan dan Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL UGM, 2009, hlm. 3-5.

10 M. Amien Rais, “Korupsi Politik”, dalam kata pengantar Mustofa (ed.), Memilih Partai Mendambakan Presiden : Belajar Berdemokrasi di Ufuk Milenium, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1999.

11 Bambang Cipto, Prospek dan Tantangan Partai Politik, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996, hlm. 3.

12Ibid. hlm. 2.

13 Oman Sukmana, “Mengingatkan Kembali Peran dan Fungsi Partai Politik”. Dalam Jurnal Sosiologi Reflektif. Vol. IV, April 2010, hlm. 135-137.

14 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar….hlm. 403.

15 Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2011 Tentang Partai Politik.

16 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar…hlm. 405-412.

17 Deden Faturohman dan Wawan Sobari, Pengantar Ilmu Politik, Malang : UMM Press, 2002.

18Miriam Budiardjo, Dasar-dasar….. hlm. 413.

19 Afan Gaffar pada masa menjelang runtuhnya orde baru pernah menyatakan, bahwa rendahnya kualitas DPR sampai DPRD akan berkibat fatal, yaitu semakin lemahnya partisipasi politik masyarakat. Menurut saya hal ini akan berakibat lagi pada tingkat legitimasi pemerintahan, pemerintahan akan akan semakin berkurang legitimasinya jika semakin menurun partisipasi politik masyarakat dalam Pemilu. Afan Gaffar, “Merangsang Partisipasi Politik Rakyat” dalam Syarofin Arba MF., Demitologisasi Politik Indonesia : Mengusung Elitisme dalam Orde Baru, Jakarta : Pustaka Cidesindo, 1998,hlm. 239-254.

20 Geoff Mulgan, Politik dalam Sebuah Era Anti Politik, terj. Hartuti Purnaweni, Jakarta : YOI, 1995, hlm. 204.

21 SP. Varma, Teori Politik Modern, terj. Yohanes Kristiarto dkk., Jakarta : RajaGrafindo Persada, cet. IX, 2010, hlm 393.

22 Buruknya kemampuan DPR dikritik oleh kalangan DPR itu sendiri, Idrus Marham mengatakan dalam desrtasinya bahwa 60% anggota DPR RI periode 2004-2009 adalah rendah. Saya rasa kualitas anggota DPR Pemilu 2004 dibandingkan Pemilu 2009 tidak jauh berbeda.

23 Jean Jacques Rousseau, Du Contract Social…., hlm. 66-67.

24 Pemerintah dalam arti luas, bukan hanya dalam bidang eksekutif tapi juga legislatif, menurut Prof. Moh. Amien Rais merupakan bagian korpotokrasi besar yang mengekploitasi alam Indonesia yang selanjutnya dibawa ke luar negeri dan tidak ada sama sekali kepentingan rakyat dalam kebijakan pemerintah tersebut, semuanya berorientasi pada kepentingan asing. Mohammad Amien Rais, Agenda Mendesak Bangsa : Selamatkan Indonesia !, Yogyakarta : PPSK Press, 2008, hlm. 89-93.