Tag Archives: konstitusi

Pengujian Undang-undang terhadap TAP MPR/S

  1. PENDAHULUAN

Hukum dalam arti yang paling sempit merupakan aturan tertulis yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang, hal ini sering juga disebut dengan peraturan perundang-undangan.1 Sebuah aturan merupakan dasar bagi setiap komponen yang terikat dengan aturan itu dalam bertindak, apa lagi pada sebuah negara yang berdasarkan atas hukum, maka posisi hukum yang dibuat oleh pemerintah menjadi suatu karya tertulis yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh segenap komponen dalam negara tersebut. Apapun bentuk aturan itu haruslah dipatuhi, begitupun dengan lapangan aturan tersebut, akan mengikat setiap orang yang berkecimpung dalam bidang yang diatur oleh aturan tersebut.

Agar supaya terciptanya suatu negara hukum maka negara membuat suatu aturan baku tentang UU tata cara dan mekaisme pembentukan peraturan perundang-undangan. Di Indonesia telah ada beberapa regulasi mengenai pengaturan pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Sumber Tertib Hukum, TAP MPR No. III/MPR/2000 dan disempurnakan dengan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Merasa aturan terdahulu belum lengkap, maka pada tanggal 12 Agustus 2011 pemerintah menetapkan UU No. 12 Tahun 2011 pengganti UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

UU No. 12 Tahun 2011 memuat tentang ketentuan baru, yakni masuknya kembali TAP MPR dalam hierarki dalam peraturan perundang-undangan. Dalam pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas UUD 1945, TAP MPR, UU/Perpu, Peraturan pemerintah, Perpres, Paerda Propinsi dan Perda Kabupaten.2 Dalam penjelasan UU ini disebutkan bahwa TAP MPR yang dimaksud adalah TAP MPRS dan TAP MPR yang masih berlaku sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 2 dan 4 TAP MPR No. I/MPR/2003, yaitu TAP MPRS dan MPR sejak tahun 1960 sampai dengan tahun 2002. Contoh TAP MPR yang masih berlaku antara lain adalah TAP MPR No. XXV/MPRS/I966 tentang Pembubaran Partai Kornunis Indonesia dan TAP MPR No. XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.

UU merupakan sebuah produk politik, berarti sangat sarat dengan muatan kepentingan dan ada kemungkinan sebuah UU akan bertentangan dengan konstitusi atau UUD,3 ataupun sebuah peraturan yang ada di bawah UU bisa saja bertentangan dengan UU. Berpijak dari alasa tersebut, untuk check and balances diperlukan sebuah Mahkamah Konstitusi untuk menguji konstitusional sebuah UU ataupun Mahkamah Agung untuk menguji peraturan di bawah UU terhadap UU. Pengujian peraturan perundangan-undangan ini biasa disebut dengan judicial review,4 baik pengujian UU terhadap UUD ataupun pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU.

Sepintas memang tidak ada masalah dengan UU No. 12 tahun 2011 tersebut, namun kalau kita cermati dengan seksama maka akan terlihat kekosongan norma dalam hal pengujian terhadap peraturan perundang-undangan. Walaupun mengenai mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan, Pasal 9 UU 12/2011 menyebutkan bahwa:

a.   Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (“MK”).

b.   Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung (“MA”).

Pada pasal ini tidak jelas mengenai jika UU bertentangan dengan TAP MPR, kemana UU tersebut akan diuji, karena bisa saja suatu UU bertentangan dengan TAP MPR yang masih berlaku. Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi PERMASALAHAN dalam tulisan ini adalah bagaimana pengujian UU terhadap TAP MPR yang masih berlaku?

  1. TEORI PERUNDANG-UNDANGAN DAN JUDICIAL REVIEW

Sebelum berbicara lebih jauh mengenai pengujian UU terhadap TAP MPR, norma merupakan suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya ataupun hubungannya dengan lingkungannya.5 Norma adalah patokan atau ukuran bagi seseorang dalam bertindak dan bertingkah laku, norma adalah segala aturan yang harus dipatuhi. Selanjutnya, seseorang menggabungkan diri dalam masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya atau beberapa individu yang bergabung untuk membentuk masyarakat. Lalu masyarakat merupakan gabungan individu dan negara adalah masyarakat politik yang terorganisir, maka di mana ada masyarakat di situ ada hukum, kata Cicero.

Secara umum norma hukum norma hukum berisi suruhan, larangan dan kebolehan.6 Kelebihan dari norma hukum adalah karena bersifat umum dan norma hukum mempunyai kekuatan untuk memaksa karena dibuat oleh penguasa, Sudikno Mertokusumo mengemukakan, bahwa yang hanya dapat melakukan paksaan terhadap pelanggaran terhadap norma hukum adalah penguasa, karena penguasa memonopoli hukum, sebab hukum ada karena adanya kekuasaan yang sah.7

Setiap UU yang akan diberlakukan dalam sebuah negara harus dibuat oleh lembaga yang berwenang, yaitu lembaga legislatif. Carl J. Friedrich mengemukakan bahwa parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat maka legislasi adalah fungsi utamanya.8 Menurut Montesquieu, lembaga perwakilan rakyat dibentuk untuk membuat Undang-undang, atau untuk melihat apakah Undang-undang tersebut dijalankan semestinya,9 dan menentukan keuangan publik. Frank J. Goodnow mengemukakan bahwa fungsi utama dalam pemerintahan adalah fungsi politik, atau fungsi yang menyatakan keinginan negara dan fungsi administrasi, yang berarti melaksanakan keinginan negara.10

Fungsi legislasi berkenaan dengan kewenangan untuk menentukan peraturan yang mengikat warga negara dengan norma-norma hukum yang mengikat dan membatasi.11 Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa pelaksanaan fungsi legislasi dalam pembentukan UU, menyangkut empat bentuk kegiatan,12 yaitu :

  1. Prakarsa pembuatan Undang-undang;

  2. Pembahasan draft Undang-undang;

  3. Persetujuan dan pengesahan draft Undang-undang;

  4. Pemberian persetujuan atau ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan internasional dan dokumen-dokumen hukum yang mengikat lainnya.

Berdasarkan beberapa uraian di atas, maka menurut penulis dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa perundang-undangan merupakan suatu norma atau aturan yang dibuat oleh lembaga negara yang sah sebagai regulasi dalam suatu negara yang bersifat umum dan konkrit serta berbentuk suruhan, larangan atau kebolehan.

Kaitannya dengan norma hukum, Hans Kelsen mengemukakan bahwa setiap aturan harus ada hierarkinya, dimulai dari yang norma dasar dan menjadi tolak ukur validitas bagi norma yang ada di bawahnya.13 Menurut Kelsen, norma yang ada dalam suatu negara bukanlah berdiri sejajar yang bersifat koordinatif, melainkan masing-masing norma mempunyai tingkatan-tingkatan yang berbeda.14

Di sini Kelsen menempatkan konstitusi sebagai norma dasar bagi setiap peraturan perundang-undangan yang akan dibuat, maka UU yang ada tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Sejalan dengan pendapat Kelsen ini, maka berlaku asas lex superior derogat legi inferiori.15 Dalam hal hierarki norma tersebut, norma dasar merupakan tempat tergantungnya norma yang ada di bawahnya.16

Oleh karena peraturan perundang-undangan mempunyai hierarki, setiap aturan yang lebih rendah tentunya harus disesuaikan dengan peraturan yang ada di atasnya, maka harus ada judicial review yaitu pengujian terhadap peraturan yang di bawah tersebut apakah sudah sesuai atau tidak dengan aturan yang diatasnya.17Judicial review dalam UUD 1945 di Indonesia dilakukan oleh dua lembaga kehakiman, yaitu Mahkaah Konstitusi yang menguji UU terhadap UUD 1945 dan Mahkamah Agung yang menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU.18

  1. PENGUJIAN UU TERHADAP TAP MPR

Secara teoritis hierarki perundang-undangan Indonesia berdasarkan UU No. 12 tahun 2011 terdiri atas Staat fundamentalnorm Pancasila, verfassungnorm UUD 1945, Grundgesetznorm TAP MPRS dan MPR dan Gesetznorm Undang-undang.19 UUD 1945 setelah amandemen hanya memberikan kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan UUD, melantik Presiden dan Wakil Presiden serta memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden,20 secara otomatis konstitusi tidak lagi memberikan kewenangan menentukan GBHN kepada MPR dan dengan begitu maka MPR menjadi lembaga tinggi negara yang setingkat dengan Presiden, DPR, DPR, MA, MK dan KY dalam UUD 1945.

Sebelum menganalisis lebih jauh mengenai pengujian UU terhadap TAP MPR, akan lebih bagus kalau dilihat terlebih dahulu posisi TAP MPR bila dipandang dari lembaga yag membuatnya. Secara konstitusional MPR, yang meruapakan lembaga pembuat TAP MPR, bukan lagi merupakan lembaga tertinggi negara yang di atas lembaga lainnya, melainkan sudah setingkat dengan DPR yang juga lembaga legislatif. Berdasarkan asas bahwa UU yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi akan berkedudukan lebih tinggi pula,21 maka TAP MPR secara teoritis akan lebih cocok setara dengan UU, bukan setingkat di atas UU.

Persoalan tidak berhenti sampai di situ, oleh karena TAP MPR yang masih berlaku merupakan produk MPR yang pada waktu itu merupakan lembaga tertinggi negara, jelas secara otomatis aturan yang dikeluarkannya lebih tinggi pula bila dibandingkan dengan UU yang dibuat oleh DPR bersama Presiden yang merupakan lembaga di bawah DPR. Karena TAP MPR yang masih berlaku merupakan prodeuk dari lembaga yang pada masa penetapannya merupakan lebih tinggi dari lembaga yang menetapkan UU maka TAP MPR tersebut lebih tinggi dari UU dan juga mempunyai sifat regeling karena masih diberikan wewenang oleh konstitusi. Akan tetapi berbeda untuk TAP MPR yang ditetapkan oleh MPR yang dibentuk setelah amandemen UUD 1945, maka Ketetapannya setingkat dengan UU dan hanya berbentuk beshicking untuk administrasi internal MPR saja.22

Secara normatif UU berada di bawah TAP MPR/S dan secara otomatis pula maka UU harus sesuai dengan TAP MPR, jika tidak sesuai maka harus dilakukan pengujian, sayangnya mekanisme pengujian ini tidak diatur dalam UUD 1945, UU No. 12 tahun 2011 maupun UU No. 8 tahun 2011 tentang MK. Sebenarnya ada celah dalam melakukan pengujian tersebut, yakni jika kita tarik dari lembaga yang membuatnya.

Berdasarkan pasal 3 ayat (1) UUD 1945, MPR mempunyai wewenang mengubah dan menetapkan UUD. Berdasarkan pasal tersebut, maka TAP MPR/S kalau dilihat dari lembaga yang membuatnya adalah peraturan yang setingkat dengan UUD 1945, namun karena mengubah dan menetapkan UUD merupakan fungsi MPR yang utama (fungsi konstituante) maka secara hierarki UUD 1945 lebih tinggi dari TAP MPR/S. Dilihat dari lembaga yang membuatnya inilah, maka saya lebih sepakat kalau terjadi pertentangan UU terhadap TAP MPR/S maka yang mengujinya adalah Mahkamah Konstitusi.

Pengujian UU terhadap TAP MPR/S oleh Mahkamah Konstitusi karena mahkamah konstitusi merupakan lembaga tempat pengujian UU terhadap UUD 1945,23 karena TAP MPR dan UUD 1945 bisa dianggap setingkat karena dibuat oleh lembaga yang sama maka pengujian UU terhadap TAP MPR/S juga melalui Mahkamah Konstitusi. Selain itu, karena dibuat oleh lembaga yang sama, TAP MPR/S dan UUD 1945 adalah Aturan Dasar Negara,24 yang membedakan keduanya adalah prosedur perubahannya. UUD 1945 lebih rumit kalau ingin merubahnya, sedangkan TAP MPR tidak begitu sulit.

Perdebatan pasti akan muncul jika pengujian UU terhadap TAP MPR/S dilakukan di Mahkamah Konstitusi, karena tidak adanya aturan yang tertulis mengenai hal ini. Secara normatif kepasyian hukum memang benar, tapi kalau dilihat dari substansinya maka itu dapat dibenarkan, sebab dalam permasalahan ini terjadi kekosongan hukum, maka sebuah kebijaksanaan dapat diambil agar tercipta keadilan.

Pendapat ini bisa beralasan dari pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang tidak lagi memakai kata rechtstaat, berbeda dengan UUD 1945 sebelum amandemen yang dengan jelas mencantumkan kata ini, yang berarti prosedur hukum atau UU (rechstaat) dilaksanakan demi keadilan hukum (rule of law). Mahfud MD mengatakan, bahwa ketentuan tertulis yang menghalangi keadilan dapat ditinggalkan,25 karena hanya merupakan cara untuk mencapai keadilan. Misalkan UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal dianggap beberapa kalangan tidak sesuai dengan ekonomi kerakyatan, berarti UU tersebut bertentangan dengan TAP MPR No. XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.

Andaikan ada yang keberatan dengan UU ini maka pengujian bisa dilakukan karena bertentanngan dengan TAP MPR tersebut, tapi mekanisme pengujiannya belum ada, berarti negara dalam hal ini menelantarkan rakyat yang ingin mencari keadilan karena merasa tidak mendapatkan keadilan akibat berlakunya UU tersebut.26 Bukankah undang-undang berfungsi sebagai pengatur masyarakat, dan persoalan mengatur masyarakat adalah bagaimana mendistribusikan keadilan bisa diterima oleh pihak-pihak dalam masyarakat.27 Jika UU No. 25 Tahun 2007 tidak diterima oleh masyarakat, atau pihak yang merasa haknya dilanggar, maka akan kemana dilakukan pengujian, sedangkan Uud 1945, UU No. 12 Tahun 2012 maupn UU MK sendiri tidak mengaturnya. Secara kepastian hukum persoalan ini belum ada solusinya, tetapi demi menciptakan keadilan maka MK yang paling berwenang mengujinya terhadap TAP MPR No. XVI/MPR/1998.

  1. PENUTUP

Secara normatif UU berada di bawah TAP MPR dalam UU No. 12 Tahun 2011, namun secara teoritis masih diperdebatkan. Jika dilihat posisi MPR dalam UUD 1945 sebelum perubahan, yang mana MPR merupakan lembaga tertinggi negara, maka TAP MPR posisinya memang lebih tinggi dari UU. akan tetapi bila dilihat posisi MPR setelah amandemen UUD 1945, posisi MPR setingkat dan sederajat dengan DPR dan Presiden, yang membuat UU, maka TAP MPR bisa dikatakan setingkat dengan UU. TAP MPR yang dimaksud dalam UU No. 12 Tahun 2011 adalah TAP MPR yang ditetapkan pada saat MPR masih menjadi lembaga tertinggi negara, maka hierarkinya tentu lebih tinggi dari UU yang dibuat oleh DPR bersama Presiden yang hanya lembaga tinggi negara.

TAP MPR/S sebelum amandemen UUD 1945 merupakan aturan hukum dasar di samping UUD 1945 yang memuat norma dasar dan bersifat regeling, posisinya jelas berada diatas UU yang lebih teknis. Setelah amandemen UUD 1945 posisi TAP MPR tidak lagi menjadi aturan hukum dasar, dan UUD 1945 adalah aturan hukum dasa tunggal, serta bersifat beshicking bagi administrasi internal MPR saja.

Berdasarkan lembaga yang membuatnya, TAP MPR secara teoritis setingkat dengan UUD 1945, karena dibuat oleh MPR, yang membedakannya adalah pertama, MPR mengubah dan menetapkan UUD 1945 karena fungsinya sebagai konstituante, sedangkan dalam menetapkan TAP MPR fungsinya hanya sebatas legislasi biasa. Kedua, prosedur amandeman UUD 1945 begitu rumit, sedangkan perubahan TAP MPR tidak begitu sulit, yakni sama seperti UU. oleh karena itulah TAP MPR secara hierarki berada di bawah UUD 1945.

Karena sama-sama ditetapkan oleh MPR, maka dalam judicial review UU terhadap TAP MPR diberikan kewenangan pengujiannya kepada Mahkamah Konstitusi. Kewenangan ini selain karena alasan UUD 1945 dan TAP MPR sama-sama ditetapkan oleh MPR, tapi juga untuk mengisi kekosongan hukum mengenai pengujian UU terhadap TAP MPR. Dalam hal ini keadilan substantif lebih diutamakan dibandingkan dengan kepastian hukum.

  1. DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 2, Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006;

………………, Perihal Undang-undang, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2010;

………………, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta : Bhuana Ilmu Populer, 2007;

Fatmawati, Struktur dan Fungsi Legislasi Parlemen dengan Sistem Multikameral : Studi Perbandingan antara Indonesia dan Berbagai Negara, Jakarta : UI Press, 2010;

Kelsen, Hans, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, terj. Raisul Muttaqien, cet. V, Bandung : Nusa Media, 2010;

Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003;

Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966;

Ketetapan MPR Nomor XVI/MPR/1998;

Mahfud MD, Moh., Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2010;

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, edisi keempat, cet. II, Yogyakarta : Liberty, 1999;

…………….., Penemuan Hukum, Yogyakarta : Penerbit UAJY, 2010;

Montesquieu, The Spirit of Law, alih bahasa oleh M. Khoirul Anam, Bandung : Nusa Media, 2007;

Purbacaraka, Purnadi dan Soekamto, Soerjono, Perundang-undangan dan Yurisprudensi, cet. IV, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993;

Saifudin, Partisifasi Publik dalam Pembentukan Peraturan Parundang-undangan, Yogyakarta : FH UII Press, 2009;

Salman, “Analisi Atas UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal : Berdasarkan Asas Lex Superior Derogat Legi Apriori,” Paper Tugas Mata Kuliah Teori Perundang-undangan, (tidak diterbitkan) Yogyakarta : MH UII, 2011;

Soeprapto, Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan : Dasar-dasar dan Pembentukannya, cet. XI, Yogyakarta : Kanisius, 2006;

Sunggono, Bambang, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, Jakarta : Sinar Grafika, 1994;

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;

Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi;

Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal;

 

1 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekamto, Perundang-undangan dan Yurisprudensi, cet. IV (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 5.

2 Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentuka Peraturan Perundang-undangan.

3 Moh. Mahfud MD., Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2010), hlm. 97-98.

4 Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta : Bhuana Ilmu Populer, 2007), hlm. 589-590.

5 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan : Dasar-dasar dan Pembentukannya, cet. XI, (Yogyakarta : Kanisius, 2006), hlm. 6.

6Ibid., hlm. 24.

7 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, edisi keempat, cet. II (Yogyakarta : Liberty, 1999)hlm. 20.

8 Seperti dikutip oleh Fatmawati, Struktur dan Fungsi Legislasi Parlemen dengan Sistem Multikameral : Studi Perbandingan antara Indonesia dan Berbagai Negara, (Jakarta : UI Press, 2010), hlm. 32.

9 Montesquieu, The Spirit of Law, alih bahasa oleh M. Khoirul Anam, (Bandung : Nusa Media, 2007), hlm.195.

10Op cit.

11Ibid.

12 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 2, Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006, hlm. 44.

13 Teori ini biasa disebut dengan stufentheorie atau hierarki norma. Lihat : Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, terj. Raisul Muttaqien, cet. V, (Bandung : Nusa Media, 2010), hlm. 179.

14Ibid.

15 Aturan yang lebih tinggi mengesampingkan aturan yang lebih rendah. Lihat : Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, (Yogyakarta : Penerbit UAJY, 2010), hlm. 9.

16 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan…, hlm. 26.

17 Menurut Jimly Asshiddiqie, judicial review hanya merupakan mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan (regeling), bukan pengujian peraturan kebijakan (beshicking). Lihat : Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-undang, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2010), hlm. 108. Lihat juga : Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekamto, Perundang-undangan.., hlm. 100.

18 Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.

19 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan…, hlm. 44-45.

20 Pasal 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

21 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekamto, Perundang-undangan…., hlm. 8

22 Jimly Asshiddiqie, Perihal….hlm. 38.

23 Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.

24 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan…, hlm. 42-44.

25 Moh. Mahfud MD., Perdebatan Hukum…, hlm. 52.

26 Pasal 3 ayat (1) huruf d dan pasal 12 UUPM dianggap banyak kalangan tidak sesuai dengan semangat Ekonomi Kerakyatan yang dimaksud dalam pasal 33 UUD 1945, yakni lebih kepada bentuk pasar bebas dan lebih menguntungkan investor asing dibandingkan pemberdayaan ekonomi kecil dan menengah. Lihat : Salman, “Analisi Atas UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal : Berdasarkan Asas Lex Superior Derogat Legi Apriori,” Paper Tugas Mata Kuliah Teori Perundang-undangan, (tidak diterbitkan) Yogyakarta : MH UII, 2011.

27 Lihat : Saifudin, Partisifasi Publik dalam Pembentukan Peraturan Parundang-undangan, (Yogyakarta : FH UII Press, 2009), hlm. 47-50.

Penguatan Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Daerah untuk Penguatan Pelaksanaan Otonomi Daerah

  1. PENDAHULUAN

Tuntutan Reformasi untuk mewujudkan Indonesia baru, yaitu Indonesia yang lebih demokratis, lebih transparan serta menjunjung tinggi Hak-hak Asasi Manusia merupakan suatu tuntutan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Menentang Reformasi berarti menentang kehendak rakyat, pihak-pihak yang ingin menghambat jalannya Reformasi pasti berhadapan dengan rakyat. Hanya saja dalam pelaksanaan Reformasi kita harus tetap berjalan pada koridor konstitusi, agar Reformasi tersebut dapat berjalan dengan damai.

Selama masa Orde Baru maupun masa Orde Lama Indonesia menggunakan paham negara kesatuan yang bersifat sentralistik, yaitu semua kekuasaan tertumpu pada pemerintah pusat, sehingga pemerintah pusat tidak lebih dari hanya sebagai pelaksana. Seiring gaung reformasi pemerintah daerah telah diberikan beberapa kewenangan, orientasi ini berubah menjadi yang bersifat desentralistik yang ditandai dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Sejak saat itu Indonesia melakukan reorientasi sistem pemerintahan daerah.1

Penerapan otonomi daerah di Indonesia tidak terlepas dari tuntutan permasalahan disintegrasi bangsa. Pada masa awal reformasi banyak daerah yang menginginkan perubahan bentuk negara menjadi negara federal atau bahkan menginginkan lepas dari Indonesia, hal ini lebih disebabkan tidak adanya distribusi yang merata antara pusat dan daerah soal pendapatan, di samping juga adanya penyeragaman secara politik dengan cara refresif. Pada masa Orde Baru sering didengar celotehan “daerah menanam Jakarta (Jawa) yang memanen”, maka muncul tuntutan keadilan dalam pembagian hasil alam dan tuntutan agar daerah diberikan keweangan untuk mengatur wilayahnya sendiri.2 Maka dipilihlah sistem desentralisasi sebagai alternatif dengan bentuk otonomi daerah agar keutuhan NKRI tetap terjaga.

Paket kebijakan otonomi daerah yang pertama kali dikeluarkan pada masa pemerintahan B. J. Habibie dianggap beberapa kalangan sebagai bentuk titik balik bagi pelaksanaan pemerintah daerah pada masa Orde Baru yang dinilai sentralistis.3 Meskipun paket kebijakan otonomi daerah tersebut tidak lepas dari tuntutan daerah dan sikap pusat yang akomodatif terhadap tuntutan daerah, suatu yang menggembirakan bahwa kebijakan itu bermaksud untuk mendorong agar daerah lebih mandiri dan demokratis.4

Amandemen UUD 1945 pasca Orde Baru, sebagai bentuk Reformasi konstitusi, tidak hanya merubah bentuk perimbangan kewenangan pusat dan daerah, akan tetapi juga berakibat pada perubahan komposisi parlemen (MPR), yakni lahirnya kamar kedua sebagai bentuk perwakilan daerah, yaitu dengan dibentuknya Dewan Perwakilan Daerah yang diatur dalam dalam Konstitusi.5 DPD dibentuk sebagai wakil daerah di pusat dan diharapkan untuk membawa suara dan aspirasi daerah di panggung pembuatan kebijakan politik di tingkat nasional.

DPD lahir sebagai upaya untuk untuk menjaga integrasi nasional dengan memberikan ruang kepada daerah untuk ikut serta menentukan kebijakan nasional yang menyangkut masalah daerah melalui Utusan Daerah yang disempurnakan menjadi lembaga tersendiri.6 Anggota PAH I BP MPR , Soetjipno, menyatakan bahwa konsep DPD tidak dilatar belakangi oleh konsep bikameral, tetapi unikameral untuk merampungkan pluralitas bangsa, menampung karakteristik daerah secara konprehensif, sekaligus menampung adanya utusan daerah secara de jure dan de facto. DPD merupakana terjemahan dari Bhineka Tunggal Ika secara nyata, bukan hanya sebagai simbol.7

Menurut Ramlan Surbakti, seperti dikutip oleh Rahman Hadi, ada beberapa pertimbangan Indonesia menganut sistem bikameral yang masing-masing mewadahi keterwakilan yang berbeda, yakni distribusi penduduk Indonesia sangat timpang menurut wilayah dan terlampau besar konsentrasi di pulau Jawa, serta sejarah Indonesia menunjukkan aspirasi kedaerahan sangat nyata dan mempunyai basis materil yang sangat kuat.8

Dewan Perwakilan Daerah yang merupakan bagian dari Parlemen tentunya juga mempunyai fungsi legislasi, yaitu kekuasaan untuk membuat Undang-undang. DPD sebagai wakil daerah dan bentuk perwakilan seluruh daerah yang ada di Indonesia tentunya harus memiliki hak dan wewenang dalam menentukan arah kebijakan negeri ini, namun dalam UUD 1945 hak membuat Undang-undang tidak didapatkan oleh DPD. Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 hanya memberikan kewenangan kepada DPD sampai sebatas (kewenang yang paling tinggi didapatkan) pembahasan Rancangan Undang-undang bersama DPR, Rancangan itupun baru sebatas Undang-undang yang hanya menyangkut permasalah otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di samping itu, DPD juga hanya memberikan pertimbangan kepada DPR dalam draft UU APBN serta UU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.9

Bentuk lain dari “mandul” sebuah perwakilan, dalam hal ini DPD, ialah ketika Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang sangat akomodir terhadap daerah, dan sebenarnya di situ memberikan ruang yang besar kepada daerah untuk berkembang, diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Undang-Undang yang baru ini telah memangkas habis kewenangan daerah, dan DPD sebagai wakil daerah tidak bisa berbuat banyak karena tidak mempunyai kewenangan yang banyak layaknya sebuah lembaga legislatif. Contoh lain adalah mengenai kisruh tentang RUUK DIY yang menjadi konflik vertikal antara pemerintah pusat, Presiden dan Menteri Dalam Negeri, dengan rakyat Yogyakarta. Lagi-lagi DPD, khususnya yang mewakili DIY, hanya meneng tanpa bisa berbuat banyak, bukankah DPD dibentuk sebagai wujud kedaulatan daerah dan dengan tujuan meng-uwongke daerah itu sendiri.

Melihat perjalanan Otonomi Daerah dan lembaga khusus yang mewakili daerah di tingkat nasional (DPD), kita bisa melihat suatu ketimpangan bahwa lembaga yang mewakili daerah adalah bentuk kamar banci di parlemen dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Bagaimana mungkin sebuah lembaga perwakilan daerah tidak mempunyai fungsi yang setara dengan lembaga perwakilan lain, sedangkan ia berposisi sebagai wakil wilayahnya yang akan mendengarkan, mengolah, dan menyampaikan aspirasi daerah serta memperjuangkan kepentingan daerah di tingkat nasional? Selanjutnya adalah, bagaimana masa depan serta keberadaan otonomi daerah jika dilihat dari keterwakilan daerah dalam DPD yang kurang fungsinya dalam konstitusi?

  1. DEMOKRASI PERWAKILAN DAN DESENTRALISASI

Demokrasi adalah suatu pemerintahan yang dikendalikan oleh rakyat, yakni pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, kata demos berarti rakyat dan kata kratein yang berarti kekuasaan.10 Rakyatlah yang menentukan kebijakan akhir suatu negara. Demokrasi mengasumsikan bahwa setiap rakyat memiliki kesamaan kedudukan dan memegang kekuasaan untuk memerintah. Jadi kekuasaan untuk memerintah rakyat hanya didapat atas persetujuan rakyat atau legitimasi rakyat itu sendiri.

Demokrasi lahir sebagai bentuk reaksi dari kekuasaan raja yang mutlak akibat pemahaman raja adalah wakil Tuhan di bumi, faham ini diwariskan oleh konsep kedaulatan Tuhan. Sebelum lahirnya teori kedaulatan rakyat, raja dan keturunannya adalah pemegang kekuasaan mutlak, hal ini menimbulkan kesewenang-wenangan terhadap rakyat, dan bahkan lebih banyak menindas rakyat ketimbang mensejahterakan rakyat. Demokrasi berdiri berdasarkan logika persamaan dan gagasan bahwa pemerintahan memerlukan persetujuan dari yang diperintah. Persetujuan memerlukan perwakilan yang hanya bisa diperoleh dengan pemilihan umum.11 Austin Ranney menyatakan, seperti dikutip oleh Eddy Purnama, demokrasi adalah suatu pemerintah yang diorganisir sesuai dengan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat, persamaan politik, peran serta rakyat dan kehendak mayoritas.12

Menurut pelaksanaannya demokrasi dibedakan menjadi dua macam, yaitu demokrasi langsung dan demokrasi tidak langsung. Demokrasi langsung terjadi apabila rakyat berkumpul dan secara bersama-sama menentukan kebijakan, sedangkan demokrasi tidak langsung terjadi dengan cara rakyat memilih wakil-wakilnya untuk mewakilinya dalam menentukan kebijakan negara atas nama rakyat yang diwakilinya.

Parlemen merupakan bentuk manifestasi ataupun refresentasi rakyat, refresentasi ini bisa dijelaskan karena pada pelaksanaan pemilu rakyat memilih para calon anggota parlemen yang dia inginkan sebagai wakilnya untuk duduk di parlemen. Parlemen sebagai bentuk refresentasi rakyat digambarkan oleh Rouseau sebagai bentuk kontrak sosial antara individu-individu yang menghasilkan volumte generale dan dalam pelembagaan parlemen individu-individu tersebut mendelegasikan suaranya kepada orang yang mereka percayai. Selanjutnya Rousseau menyebutkan, masing-masing dari kita menaruh diri dan seluruh kekuatan di bawah pemerintahan tertinggi dari kehendak umum.13

Mengenai kedaulatan rakyat yang ada dalam negara dia menegaskan bahwa negara merupakan gabungan dari seluruh individu pada suatu wilayah untuk berkontrak secara sosial untuk membentuk negara.

Partai atau kelompok ini kemudian menjadi semacam pribadi publik dibentuk oleh persatuan pribadi yang pada mulanya bernama kota….pasifnya persatuan ini dinamakan Negara, aktif dinamakan pemerintahan dan dalam perbandingan dengan kekuatan lain yang sama dinamakan kekuasaan”.14

Dari paparan yang dikemukakan oleh Rousseau di atas, jelaslah kiranya bahwa esensi pemerintahan, khususnya dalam pembahasan ini lembaga legislatif, merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat yang tercipta melalui mekanisme Pemilu dan merupakan bentuk dari perwakilan yang tidak secara langsung.

Bukan hanya Rousseau yang berpendapat bahwa kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat dan kewenangannya dijalankan oleh suatu lembaga, dalam kaitan ini Montesquieu juga berpendapat bahwa suatu negara yang republik demokratis kekuasan tertinggi dijalankan oleh suatu badan.15 Selanjutnya Montesquieu mengatakan bahwa syarat legitimasi suatu kekuasaan adalah dengan dipilihnya wakil-wakil rakyat yang bertugas untuk menjalankan pemerintahan, baik sebagai pembuat maupun pelaksana Undang-undang,16 dalam konteks ini rakyat pada satu sisi adalah pemegang kedaulatan, namun di sisi yang lain rakyat merupakan yang diperintah.

Legitimasi pemerintahan ada karena dipilih oleh rakyat, dalam hal ini Montesquieu menegaskan bahwa perlunya suatu badan yang menjadi refresentasi rakyat dan badan tersebut berhak memberikan perintah kepada rakyat yang memilihnya, karena badan tersebut sudah terlegitimasi melalui mekanisme pemilihan itu.

Suatu negara yang bebas setiap orang dipandang sebagai pihak yang bebas dan harus menjadi pengatur bagi dirinya sendiri, tetapi hal ini hampir mustahil bagi negara yang besar dan dalam negara yang kecil selalu menemui hambatan, maka dipandang tepat apabila rakyat melimpahkannya melalui wakil-wakil mereka apa yang tidak bisa mereka lakukan sendiri. Para penduduk sebuah wilayah lebih mengenal kebutuhan dan kepentingan mereka dibandingkan dengan penduduk wilayah lain, sehingga para anggota badan legislatif dipilih dari wilayah itu sendiri. Kelebihan dengan adanya perwakilan dengan demikian mereka lebih bisa mendiskusikan berbagai urusan, karena masalah ini tidak mugkin dilakukan oleh rakyat secara bersama, yang merupakan hambatan terbesar dalam demokrasi.17

Jika tidak mungkin dilaksanakannya demokrasi langsung, maka harus diusahakan agar kepentingan dan kehendak warga negara tetap dapat menjadi bahan pembuatan keputusan melalui orang-orang yang mewakili mereka. Muncullah sistem perwakilan rakyat, dan kumpulan para wakil rakyat ini dinamakan parlemen atau lembaga legislatif atau legislature.18 Demokrasi perwakilan yang konstitusional merupakan cara untuk melaksanakan demokrasi, Robert A. Dahl menyebutnya dengan istilah Poliarki.19 Stuart Mill menggambarkan bahwa demokrasi perwakilan meruapakan penemuan terbesar di zaman modern, karena dengan cara ini demokrasi dapat dipraktekkan dalam jangka waktu yang lama dan mampu mencakup wilayah yang sangat luas sekalipun.20

Pelaksanaan kedaulatan rakyat dilakukan dengan memencarkan kekuasaan, baik secara horizontal maupun secara vertikal. Pemencaran kekuasaan secara horizontal dilakukan dengan cara membagi kekuasaan menjadi tiga bagian, yaitu kekuasaan eksekutif yang dijalankan oleh presiden dan/atau oleh perdana menteri, kekuasaan legislatif dijalankan oleh parlemen dan kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung secara sendiri atau bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi. Pemisahan kekuasaan ini sangat diperlukan karena jika dua cabang kekuasaan dipegang oleh satu badan atau orang, maka dikhawatirkan akan melahirkan pemerintah yang tirani.

Secara umum di dunia mengenal dua bentuk parlemen kalau dilihat dari jumlah badannya, yaitu sistem parlemen monokameral atau unicameral dan sistem parlemen bicameral atau dwikameral.21 Sistem monokameral ialah parlemen yang hanya punya satu kamar dalam bagunan parlemennya dan hanya ada komisi-komisi, contoh sistem satu kamar ini terdapat pada Kongres Rakyat Nasional di China atau yang diterapkan di Thailand. Sedangkan sistem bikameral yaitu parlemen tersebut terdiri dari dua kamar, biasanya masing-masing kamar mewakili entitas yang berbeda dalam suatu negara. Contoh sistem parlemen dua kamar bisa dilihat pada Congres Amerika Serikat yang terdiri dari House of Refresentative dan Senate, dapat juga dilihat dalam parlemen Inggris yang terdiri atas House of Commons dan House of Lord.22

Gagasan parlemen dua kamar yang paling terkenal adalah gagasan yang dicetuskan oleh Montesquieu, menurut Montesquieu badan perwakilan rakyat atau lembaga legislatif harus dijalankan oleh badan yang terdiri atas kaum bangsawan dan orang-orang yang dipilih untuk mewakili rakyat, yang masing-masing memiliki majelis dan pertimbangan mereka sendiri-sendiri, juga pandangan dan kepentingan sendiri-sendiri.23 Sistem parlemen dua kamar memungkinkan terjadinya double check pada setiap proses legislasi di parlemen dan bisa menutup celah kongkalikong antara legislatif dan pihak eksekutif, hal ini dikarenakan parlemen tidak hanya berisi wakil dari partai politik, yang notabene sama seperti presiden, tapi juga ada unsur perwakilan daerah yang terlepas dari kepentingan partai politik tertentu.

Dewasa ini sistem bicameral merupakan sistem yang paling populer, hal ini dikarenakan sistem ini memiliki beberapa keuntungan,24 yaitu :

  1. Secara Resmi mewakili beragam pemilih, yaitu rakyat dan wilayah

  2. Memfasilitasi pendekatan yang bersifat musyawarah terhadap penyusunan perundang-undangan

  3. Mencegah disyahkannya perundang-undangan yang cacat atau ceroboh

  4. Melakukan pengawasan atau pengendalian yang lebih baik terhadap lembaga eksekutif.

Jimly Asshiddiqie menyebut sistem parlemen bikameral bisa menciptakan kontrol intra parliament dalam hal pembuatan produk legislasi, atau di kalangan para ahli disebut double check, sehingga terjamin kualitas dari setiap kebijakan yang dihasilkan dan sesuai dengan aspirasi seluruh rakyat.25 Akan tetapi, syaratnya jelas keanggotaan kedua kamar tersebut harus berasal dari entitas yang berbeda, sehingga membawa aspirasi yang berbeda pula, dan pada akhirnya akan memperjuangkan kepentingan dan aspirasi dari seluruh rakyat. Maka komposisi parlemen bikameral bisa berbentuk satu kamar (DPR) mewakili seluruh rakyat, atau biasa disebut political representation, dan kamar satunya lagi (DPD) merupakan perwakilan dari daerah, biasa disebut dengan territory repsentation.26

C. F. Strong mendefenisikan demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang kekuasaannya dalam mengambil keputusan untuk negara ditetapkan secara sah, bukan menurut golongan atau beberapa golongan, tetapi menurut anggota-anggota dari suatu komunitas sebagai suatu keseluruhan.27 Menurut Strong, demos dalam bahasa Yunani diartikan sebagai rakyat sebagai secara keseluruhan, bukan sebagai perwakilan politik saja, akan tetapi lebih kepada rakyat secara keseluruhan termasuk perwakilan fungsional dan juga perwakilan teritorial. Parlemen sebagai wakil dari seluruh rakyat hendaknya menjadi suatu tujuan bersama yang dilakukan melalui pemilihan yang representatif. Kamar kedua (perwakilan wilayah) dibuat sedemikian rupa untuk mewujudkan dan melindungi setiap rakyat dari setiap daerah, yang berbeda artinya dengan kehendak pusat sebagai suatu keseluruhan.28

Pemencaran kekuasaan secara horizontal melahirkan kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif, biasa dikenal dengan trias politica. Sedangkan pemencaran kekuasaan secara vertikal adalah pemencaran kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pembagian kekuasaan secara vertikal ini melahirkan beberapa pilihan formasi yang berbeda, disesuaikan dengan bentuk negara, ada yang berbentuk federatif, kesatuan dengan sentralisasi atau kesatuan dengan desentralisasi.

Bentuk negara federal berangkat dari asumsi bahwa negara dibentuk oleh beberapa negara bagian-negara bagian yang independen, sejak awal merdeka dan mempunyai kedaulatan pemerintahan sendiri, kemudian menggabungkan diri menjadi suatu negara yang baru. Biasanya pemerintah federal mempunyai kekuasaan di bidang moneter, pertahanan, peradilan dan hubungan luar negeri. Pemerintahan negara bagian biasanya sangat menonjol dalam urusan domestik selain urusan yang menjadi bagian pemerintah federal.29

Negara kesatuan dideklarasikan oleh para pendirinya saat kemerdekaan dengan mengklaim seluruh wilayahnya sebagai bagian dari suatu negara, negara tidak dibentuk berdasarkan kesepakatan, setelah itu baru dibentuk wilayah atau daerah di bawahnya. Kewenangan yang didapat oleh daerah merupakan pelimpahan dari pemerintah pusat untuk diatur sebagian.30 Dari konsep negara kesatuan inilah muncul teori desentralisasi dalam hal pengaturan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Desentralisasi menurut Joeniarto merupakan pemberian wewenang dari pemerintah negara kepada pemerintah lokal untuk mengatur dan mengurus urusan tertentu sebagai urusan rumah tangganya sendiri.31 Sedangkan menurut Amrah Muslimin, desentralisasi adalah pelimpahan wewenang kepada badan-badan dan golongan-golongan dalam masyarakat dalam daerah tertentu untuk mengurus rumah tangganya sendiri.32 Menurut Jimly Asshiddiqie, dalam desentralisasi unit pemerintah daerah dipandang sebagai wakil dari pemerintah pusat, sehingga oleh sebab itu, unit-unit kantor wilayah dibutuhkan sebagai perpanjagan tangan menteri yang memimpin departemen pemerintahan. Sementara itu, dalam sistem desentralisasi, tugas-tugas pemerintahan yang terkait dengan urusan tertentu diaggap telah sepenuhnya didelegasikan pelaksanaannya kepada pemerintah daerah, yang oleh karena itu memiliki kewenangan untuk mengurus hal itu sebagai urusan rumah tangganya sendiri.33

Kalangan ilmuwan pemerintahan maupun ilmuwan politik serta kalangan ilmuwan hukum pada umumnya mengidentifikasikan sejumlah alasan desentralisasi diterapkan,34 yaitu :

  1. Peningkatan efisiensi dan effektifitas penyelenggaraan pemerintahan;

  2. Wahana pendidikan politik masyarakat daerah;

  3. Memelihara integrasi nasional;

  4. Mewujudkan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang dimulai dari daerah;

  5. Memberikan peluang kepada masyarakat dalam pembentukan karir politik;

  6. Memberikan peluang bagi masyarakat dalam mendesain pembangunan daerah;

  7. Sarana yang diperlukan dalam mempercepat pembangunan daerah;

  8. Mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Jadi, berdasarkan pendapat beberapa kalangan, desentralisasi merupakan suatu pola hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dalam hal-hal tertentu beberapa kewenangan diserahkan kepada pemerintah daerah untuk dijalankan sepenuhnya berdasarkan kewenangan yang diberikan. Pemerintah daerah tetap bertanggung jawab kepada pemerintah pusat dalam menjalankan urusan rumah tangganya, karena konsep negara kesatuan hanya mengenal satu kedaulatan, yaitu yaitu kedaulatan berada di tangan pemerintah pusat.

  1. DPD SEBAGAI WAKIL DAERAH DI PUSAT

Kedaulatan rakyat dalam sebuah negara bukanlah pelaksanaan pemerintahan dan penentuan kebijakan berdasarkan suara mayoritas saja, akan tetapi perlu juga mendengarkan aspirasi dari golongan-golongan yang menjadikan negara itu besar. Untuk itu dalam sebuah parlemen yang merepresentasikan rakyat, perwakilan rakyat melalui mekanisme Partai politik toidaklah cukup, perwakilan territorial juga diperlukan. Karena gabuangan wilayah-wilayah dalam negara itulah yang menjadikan negara itu besar, terlepas sengaja dengan sadar menggabungkan diri atau hanya bergabung menurut klaim para pendiri bangsa. Kedaulatan rakyat Indonesia secara politik digambarkan oleh perwakilannya di DPR, maka DPD adalah representasi rakyat perspektif kedaerahan. Tidaklah adil jika kewenangan yang dimiliki rakyat secara umum jika DPD sebagai wakil daerah tidak mempunyai fungsi yang relatif sama dengan DPR, kan kedua lembaga tersebut sama-sama wakil rakyat.

Pembatasan kewenangan DPD sebagai lembaga legislasi merupakan pemerkosaan terhadap asas-asas demokrasi, dimana rakyat secara keseluruhan adalah yang menentukan peraturan bagi dirinya sendiri, bukankah rakyat jika dipandang asal kedaerahan juga merupakan bagian rakyat Indonesia. Rakyat di masing-masing daerah memilih para wakilnya yang duduk di parlemen tentunya dengan tujuan untuk melindungi dan memperjuangkan hak daerahnya, sekarang bagaimana mungkin para anggota DPD akan menjalankan kontrak sosialnya sebagai wakil rakyat daerah jika kewenangannya dipangkas.35 Sebagai contoh, kisruh pembahasan RUUK DIY baru-baru ini tidak mungkin menjadi besar jika DPD, khususnya perwakilan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, punya kewenangan yang sama seperti DPR dalam pembuatan UU. Bagaimanapun ngototnya pemerintah mengusulkan pemilihan, toh nantinya di parlemen juga yang menentukan, di parlemen DPR bersama DPD akan bertarung kepentingan dan pemikiran untuk membahas UU tersebut, dengan demikian anggota DPD dari DIY bisa memperjuangkan kepentingan daerahnya. Jika keadaannya seperti sekarang ini, anggota DPD dari DIY tidak lebih dari sekadar penonton di rumahnya sendiri, karena kewenangan DPD hanya sebatas mengusulkan atau membahas rancangannya saja, belum bisa ikut serta membahas UU.

Ada dua tujuan yang paling urgen mengapa desentarilsasi dengan otonomi daerah mesti diterapkan di Indonesia,36Pertama, untuk pemantapan demokrasi politik. Demokrasi tanpa ada penguatan politik di tingkat lokal akan menjadi sangat rapuh, karena tidak mungkin demokrasi dibangun dengan haya memperkuat elite politik nasional. Hal ini dimaksudkan agar ada kalangan atau elite daerah berjibaku di kancah politik nasional, pintu masuk utamanya adalah melalui DPD. Tidaklah mungkin kematangan skill politik yang berasal dari daerah akan tercapai jika lembaga yang mereka duduki tidak punya peran yang signifikan di tingkat nasional, DPR yang lebih tua dan lebih berpengalaman akan terus mendominasi politisi-politisi “lokal” yang ada dalam DPD di tingkat politik nasional. Hal ini akan berakibat pada lemahnya peran daerah dalam menopang politik nasional, bisa jadi ancaman disintegrasi akan muncul kembali karena kekecewaan yang didapatkan oleh para wakil daerah tersebut.

Kedua, terjadinya keadilan dalam pemanfaatan sumber daya alam. Sumber daya yang terdapat di sebuah daerah sudah seharusnya dipelihara, dijaga dan dinikmati oleh masyarakat daerah itu sendiri. Mana mungkin masyarakat daerah akan menikmati sumber kekayaan alamnya jika produk legislasi nasional yang menyangkut sumber daya alama sama sekali tidak memihak kepada mereka, yang ada semua keayaan yang dimiliki daerah diangkut ke pusat, akibatnya daerah hanya gigit jari tanpa berbuat apa-apa. Hal yang perlu diharapkan untuk memperjuangkan itu adalah para senator yang ada di senayan, namun karena tidak punya fungsi legislasi yang kuat maka hal itu tidak memberikan jawaban yang baik kepada rakyat di daerah. Misalkan pertambangan, jiak DPD punya fungsi legislasi yang sama dengan DPR maka DPD akan mati-matian agar Undang-undang pertambangan lebih memihak daerah, namun yang terjadi dengan regulasi pertambangan nasional adalah rakyat daerah tidak bisa menikmati hasil perut bumi mereka sendiri.

Contoh ketidakberdayaan DPD sebagai wakil daerah adalah mengenai perubahan Undang-undang tentang Pemerintah Daerah, jiak sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, daerah mempunya kewenangan yang besar dalam mengurus rumah tangganya, maka dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, kewenangan yang dimiliki daerah dipangkas habis-habisan oleh DPR. Pemangkasan ini tentunya tidak akan terjadi, minimal perlawanan akan sedikit lebih sengit, andai kata DPD juga ikut membahas serta menetapkan Undang-undang tersebut, sebab DPD sebagai wakil daerah akan berjuang demi kepentingan daerah, karena telah nyata Undang-undang yang baru tersebut tidak menguntungkan daerah sama sekali.

Begitupun dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, dalam UU ini terlihat jelas adanya usaha pemerintah pusat untuk menguasai setiap aset yang bernilai tinggi dan hanya aset yang bernilai rendahlah yang bagi hasilnya lebih besar untuk daerah, sedangkan sumber daya alam seperti pertambangan bagi hasilnya lebih besar untuk pusat. Sekali lagi saya katakan, anggota DPD yang berasal dari daerah hasil tambang hanya bisa diam dan tak mampu berbuat banyak melihat penjajahan dalam negeri ini, bukankah dalam pembukaan UUD 1945 telah disebutkan “..Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan..”. Perimbangan yang tidak adil seperti ini akan menimbulkan konflik vertikal dan juga sentimen kedaerahan yang kuat, di mana daerah yang merasa dirugikan dengan bagi hasil seperti itu akan beranggapan bahwa pemerintah hanya untuk kaum mayoritas, dan pada akhirnya disintegrasi nasional dan ide-ide federalisme atau separatis yang akan terjadi di Indonesia. Gejolak daerah sebagian besar disebabkan oleh ketidak adilan dalam pemanfaatan seumber daya alam, bukankah Indonesia merdeka dari Belanda karena tidak suka Tanah Air-nya dikeruk habis-habisan oleh kolonial Belanda??

Melihat mekanisme perekrutannya DPD sudah merupakan refresentasi daerah dan parlemen Indonesia mengarah pada sistem parlemen bicameral, namun kalau dilihat dari sisi kewenangannya, DPD tidak lebih dari sebagai deputi bagi DPR. Alasan sebagian besar Fraksi di MPR memberikan kewenangan yang tidak seimbang antara DPR dan DPD lebih dikarenakan Indonesia adalah negara kesatuan. Fraksi paling konservatif waktu itu adalah Fraksi PDI-P dan TNI/Polri yang tetap pada pendirian DPD harus memunyai kewenangan yang terbatas, sedangkan Fraksi Golkar adalah yang paling moderat yang menginginkan Indonesia menganut sistem bikameral yang sejajar.37

Sekali lagi saya katakan, bahwa antara DPD dan pemerintah daerah mempunyai hubungan yang erat. Bila difahami konsep otonomi daerah sebagaimana yang dikemukakan dalam perubahan UUD 1945 maka terdapat keterkaitan yang erat antara DPD dan pemerintah daerah, peran DPD tidak hanya sebatas pada isu yang terkait politik luar negeri, pertahanan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal serta agama, karena jika urusan tersebut berdasarkan pasal 10 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004 merupakan urusan pemerintah pusat, akan tetapi jika hal itu terkait dengan kepentingan daerah, maka DPD berhak untuk memberikan pandangan dan pendapat, serta pertimbangan.38

Penggunaan sistem parlemen satu atau dua kamar, begitu juga dua kamar sama kuat atau tidak sama kuat, tidaklah tergantung dengan bentuk dan susunan negaranya.39 Penggunaannya tergantung dengan pertimbangan negara tersebut, baik pertimbangan historis, sosiologis maupun pertimbangan kemanfaatannya. Terlalu naif bila berpandangan penguatan fungsi dan wewenang DPD disamakan dengan DPR akan melahirkan negara federal Indonesia, pembentukan parlemen dua kamar yang sejajar lebih diarahkan pada sisi kemanfaatan dan pemberdaaan parlemen itu sendiri.

Perlu diingat, bahwa latar belakang pembentukan DPD sebagai lembaga negara adalah sebagai bentuk penguatan bingkai NKRI itu sendiri, dengan adanya lembaga tersendiri yang mewakili daerah maka daerah merasa aspirasinya dapat tersalurkan melalui lembaga tersebut, dengan demikian disintegrasi bangsa bisa dihindarkan karena daerah sudah merasa puas dan hak-haknya sebagai bagian NKRI bisa terlindungi dan terjaga dengan baik. Namun sebaliknya, jika daerah tidak merasa puas dengan kebijakan pusat dan daerah tidak bisa menyalurkan aspirasinya, terlebih lagi kepentingan daerah kadang diabaikan, usaha-usaha pemisahan dari NKRI dan gerakan saparatis akan semakin menjamur. Hal ini belum lagi diperparah dengan tidak meratanya pembangunan pada masa lampau, serta upaya Jawaisasi oleh rezim Orde Baru, konflik yang terjadi akan semakin besar dan isu berbau SARA akan menjadi lebih sering terjadi.

  1. PENUTUP

Pelaksanaan demokrasi perwakilan harus benar-benar diwujudkan dalam sebenar-benarnya perwakilan, tidak hanya komposisi tapi juga fungsi perwakilan itu sendiri yang lebih penting. Lembaga yang mewakili daerah haruslah mempunyai fungsi yang sama, atau hampir sama, dengan lembaga yang yang menjadi perwakilan politik agar terjadi keseimbangan dalam perwakilan itu sendiri dan semua unsur dalam negara merasa bisa memperjuangkan kehendak dan aspirasinya melalui wakil-wakilnya, tidak hanya merasa ada yang mewakili tapi yang mewakili bisa berbuat banyak untuk yang diwakilinya.

Perlunya penguatan kelembagaan DPD adalah suatu kebutuhan demi kelangsungan otonomi daerah, sekaligus kelangsungan Negara kesatan Republik Indonesia. DPD perlu diberikan fungsi legislasi yang relatif sama dengan DPR, khususnya menyangkut kebijakan otonomi daerah, keuangan negara, perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta persoalan-persoalan dalam negeri lainnya. Perluasan fungsi legislasi ini dimaksudkan ialah memberikan kewenangan kepada DPD untuk merancang, membahas sampai pada pengesahan produk hukum yang menyangkut persoalan-persoalan di atas. Hal ini diperlukan karena DPD sebagai wakil wilayah mutlak harus memperjuangkan daerah yang diwakilinya.

Sebagai lembaga yang mewakili daerah dan bertanggung jawab kepada daerah, pemberian kewenangan legislasi kepada DPD, jika dilihat dari pelaksanaan otonomi daerah, yang relatif setara dengan DPR akan mempunyai manfaat ganda. Manfaat pertama ialah sebagai pendidikan politik bagi masyarakat daerah di kancah perpolitikan nasional, selain itu juga komunikasi dan sosialisasi politik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan berjalan dengan baik melalui wakil-wakil daerah yang ada di DPD. Manfaat kedua yaitu bisa meredam gejolak yang timbul akibat ketidak adilan pemanfaatan hasil alam, sebab pemerintah pusat tidak bisa disalahkan lagi karena wakil-wakil daerah telah mempunyai kewenangan yang sepadan dalam memperjuangkan nasip daerahnya, yang terjadi hanya pertarungan politik di parlemen yang dilakukan oleh para senator. Dengan begitu konflik yang mengarah pada disintegrasi bangsa tidak perlu terjadi.

Sebagaimana dijelaskan bahwa anggota DPD merupakan wakil rakyat berdasarkan perspektif daerah yang mewakili daerah dengan latar belakang pembentukan lembaganya secara umum adalah untuk mewakili daerah dalam parlemen agar dapat memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah NKRI dan memperteguh persatuan kebangsaan seluruh daerah, meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah, serta mendorong percepatan demokrasi, pembagunan dan kemajuan daerah secara serasi dan seimbang, maka pemberian kewenangan pembentukan UU dan pengawasan terkait dengan kepentingan daerah merupakan hal yang seharusnya agar tujuan pembentukan DPD sebagai lembaga yang mewakili daerah tercapai.

Otonomi daerah tetap merupakan pilihan terbaik bagi Indonesia, karena pelaksanaan Federalisme atau memecah Indonesia menjadi kecil belumlah pada waktunya karena butuh kematangan konsep dan waktu yang lama agar lebih mapan untuk mewujudkan kesejahteraan. Namun otonomi daerah ini tidak serta merta bisa dilaksanakan begitu saja menurut kehendak pusat, tapi juga perlu adanya musyawarah untuk mencapai mufakat dengan wakil-wakil daerah yang ada di pusat yang direpresentasikan oleh DPD. Untuk itu DPD harus mempunyai fungsi legislasi yang lebih luas, bukan hanya sebatas merancang saja, tapi juga mengesahkan.

Bulat air dikarenakan pembuluh

Bulat kata karena mufakat”

  1. DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Rozali, Pelaksanaan Otonomi Luas dan Isu Federalisme Sebagai Suatu Alternatif, Jakarta : RajaGrafindo Persada, cet. III, 2002.

Anshori, Abdul Ghofur dan Sobirin Malian (edt.), Membangun Hukum Indonesia : Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum, Yogyakarta : Kreasi Total Media, 2008.

Anwar, Chairil, Konstitusi dan Kelembagaan Negara, Jakarta : Novindo Pustaka Mandiri, 1999.

Asshiddiqie, Jimly, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta : Bhuana Ilmu Populer, 2007.

………………, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi : Serpihan Pemikiran Hukum, Media dan HAM, Jakarta : Konstitusi Press, cet. II, 2005.

Bako, Ronny Sautma Hotma, Hak Budget Parlemen Indonesiai, Jakarta : Yarsif Watampone dan PSHTN-FH UI, 2005.

Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik (edisi revisi), Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, cet. IV, 2010.

Eko, Sutoro, Transisi Demokrasi Indonesia : Runtuhnya Rezim Orde baru, Yogyakarta : APMD Press, 2003.

Fadjar, Mukhtie dkk. (edt.), Konstitusionalisme Demokrasi : Sebuah Diskursus tentang Pemilu, Otonomi Daerah dan Mahakamah Konstitusi, Malang : TRANS Publishing, 2010.

Fatmawati, Struktur dan Fungsi Legislasi Parlemen dengan Sistem Multikameral : Studi Perbandingan antara Indonesia dan Berbagai Negara, Jakarta : UI Press, 2010.

Hamid, Edy Suandi dan Sobirin Malian (edt.), Memperkokoh Otonomi Daerah : Kebijakan, Evaluasi dan Saran, Yogyakarta : UII Press, 2004.

Haryanto, Kekuasaan Elite : Suatu Bahasan Pengantar, Yogyakarta : PLOD UGM, 2005.

Huda, Ni’matul, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2005.

Indrayana, Denny, Negara Antara Ada dan Tiada : Reformasi Hukum Ketatanegaraan, Jakarta : Kompas Media Utama, 2008.

Kurniaty, Yulia, “Peran DPD dalam Sistem Ketatanegaraan yang Lebih Aspiratif”, Jurnal Konstitusi, Volume 3 Nomor 1, Juni 2010, Jakarta : Mahkamah Konstitusi, 2010.

Losco, Joseph dan Leonard Williams , Political Theory (Kajian Klasik dan Kontemporer) : Pemikiran Machiavelli – Rawls, Volume II, alih bahasa Aris Munandar, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005.

Manan, Bagir, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta : FH UII Press, cet. II, 2004.

…………………, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945 : Perumusan dan Undang-undang Pelaksanaannya, Jakarta : UNSIKA, 1993.

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Buku Keempat Jilid 2 A : Risalah Rapat Komisi A ke-2 (lanjutan) s/d ke-5 tanggal 06 November s/d 08 November 2001, masa Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001, Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2001.

Montesquieu, The Spirit of Law, alih bahasa oleh M. Khoirul Anam, Bandung : Nusa Media, 2007.

Purnama, Eddy, Negara Kedaulatan Rakyat : Analisis Terhadap Sistem Pemerintahan Indonesia dan Perbandingannya dengan Negara-negara Lain, Bandung : Nusamedia, 2007.

Ramses M., Andi dan La Bakry (edt.), Politik dan Pemerintahan Indonesia, Jakarta : MIPI, 2009.

Romli, Lili, Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007.

Rousseau, Jean Jacques, Du Contract Social, alih bahasa Vincent Bero, Jakarta : Visimedia, 2007.

Strong, C. F., Konstitusi-konstitusi Politik Modern : Studi Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk, terj. Derta Sri Widowatie, Bandung : Nusa Media, cet. II, 2010.

Subekti, Valina Sungka, Menyusun Konstitusi Transisi : Pergulatan Kepentingan dan Pemikiran dalam Proses Perubahan UUD 1945, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008.

Suprayitno, Mencoba (Lagi) Menjadi Indonesia : Dari Federalisme ke Unitarisme (Studi tentang Negara Sumatera Timur 1947-1950), Yogyakarta : Yayasan Untuk Indonesia, 2001.

Syafa’at, Muchammad Ali, Parlemen Bikameral : Studi Perbandingan di Amerika Serikat, Perancis, Belanda, Inggris, Austria dan Indonesia, Malang : UB Press, 2010.

Syaukani HR., Afan Gaffar dan Ryas Rasyid, Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar dan PUSKAP, cet. VIII, 2009.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 04 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Williams, Howard, Filsafat Politik Kant, alih bahasa Muhammad Hardani, Jakarta dan Surabaya : DPP IMM dan JP-Press, 2003.

Yuda AR., Hanta, Presidensialisme Setengah Hati : Dari Dilema ke Kompromi, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2010.

 

1 Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas dan Isu Federalisme Sebagai Suatu Alternatif, Jakarta : RajaGrafindo Persada, cet. III, 2002, hlm. 7.

2 Ahmad Mujahid Darlan, “Relevankah Federalisme di Indonesia?” dalam Edy Suandi Hamid dan Sobirin Malian, Memperkokoh Otonomi Daerah : Kebijakan, Evaluasi dan Saran, Yogyakarta : UII Press, 2004, hlm. 5. Jimly Asshiddiqie menyebutkan bahwa pada awal Reformasi Indonesia berada pada persimpangan jalan mengenai integritas Nasional, untuk itu perlu dikeluarkan kebijakan untuk meredam gejolak di berbagai daerah akibat ketidak adilan yang diterima selama masa Orde baru, Otonomi Daerah lebih bertujuan agar tidak terjadi disintegrasi bangsa. Lihat : Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta : Bhuana Ilmu Populer, 2007, hlm. 408-409.

3 Pada masa Orde Baru berlaku Undang-Undang Nomor 05 Tahun 1974 yang sangat sentralistik, sehingga Undang-undang ini mendapat berbagai kritikan dari berbagai ahli politik, hukum dan pemerintahan. Lihat : Syaukani HR., Afan Gaffar dan Ryas Rasyid, Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar dan PUSKAP, cet. VIII, 2009, hlm. 165-166.

4 Lili Romli, Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007, hlm. 4.

5 Pasal 22C dan 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perubahan dari Sistem Parlemen Unikameral pada masa Orde Baru menjadi Parlemen Bikameral pada masa pasca Reformasi dijelaskan oleh C. F. Strong sebagai bentuk reaksioner setelah gagal pada saat revolusioner, Strong menggambarkan bahwa bentuk unikameral kebanyakan dipakai pada masa revolusioner. Lihat : C. F. Strong, Konstitusi-konstitusi Politik Modern : Studi Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk, terj. Derta Sri Widowatie, Bandung : Nusa Media, cet. II, 2010, hlm. 266.

6 Muchammad Ali Syafa’at, Parlemen Bikameral : Studi Perbandingan di Amerika Serikat, Perancis, Belanda, Inggris, Austria dan Indonesia, Malang : UB Press, 2010, hlm. 93-94.

7 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Buku Keempat Jilid 2 A : Risalah Rapat Komisi A ke-2 (lanjutan) s/d ke-5 tanggal 06 November s/d 08 November 2001, masa Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001, Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2001, hlm. 227.

8 Rahman hadi, “Bikameralisme di Indonesia dan Penguatan DPD RI”, dalam Andi Ramses M., dan La Bakry (edt.), Politik dan Pemerintahan Indonesia, Jakarta : MIPI, 2009, hlm. 379.

9 Pasal 22D ayat (2) UUD 1945.

10 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (edisi revisi), Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, cet. IV, 2010, hlm. 105.

11 Muchammad Ali Syafa’at, Parlemen Bikameral…., hlm. 16.

12 Eddy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat : Analisis Terhadap Sistem Pemerintahan Indonesia dan Perbandingannya dengan Negara-negara Lain, Bandung : Nusamedia, 2007, hlm. 12.

13 Jean Jacques Rousseau, Du Contract Social, alih bahasa Vincent Bero, Jakarta : Visimedia, 2007, hlm. 25. Lihat juga Joseph Losco dan Leonar Williams , Political Theory (Kajian Klasik dan Kontemporer) : Pemikiran Machiavelli – Rawls, Volume II, alih bahasa Aris Munandar, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005, hlm. 221-315.

14Ibid .

15 Montesquieu, The Spirit of Law, alih bahasa oleh M. Khoirul Anam, Bandung : Nusa Media, 2007, hlm. 98.

16Ibid.

17Ibid. Hlm. 194.

18 Parlemen kadang juga disebut dengan istilah assembly atau sebutan lainnya, tergantung dengan bahasa dan kebiasaan suatu negara. Lihat : Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik…., hlm. 315.

19 Muchammad Ali Syafa’at, Parlemen Bikameral…., hlm. 20.

20 Mill menyatakan yang paling perlu adalah pemerintahan atau kekuasaan tetap berada di bawah kendali dan kekuasaan rakyat. Lihat : Joseph Losco dan Leonar Williams , Political Theory (Kajian Klasik dan Kontemporer) : Pemikiran Machiavelli – Rawls…., hlm. 645-758.

21 Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, hlm.155. Lihat Juga : Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta : FH UII Press, cet. II, 2004, hlm. 59-61. Sebenarnya ada lagi beberapa type parlemen, yaitu sistem trikameral, tetrakameral, serta pentakameral. Namun secara umum memang hanya dikenal dan kebanyakan digunakan adalah sistem unicameral dan bicameral. Lihat juga : Fatmawati, Struktur dan Fungsi Legislasi Parlemen dengan Sistem Multikameral : Studi Perbandingan antara Indonesia dan Berbagai Negara, Jakarta : UI Press, 2010, hlm. 34.

22 Chairil Anwar, Konstitusi dan Kelembagaan Negara, Jakarta : Novindo Pustaka Mandiri, 1999, hlm. 46-63.

23 Jenis Parlemen ini paling terlihat pada masa sekarang yang dipraktekkan Inggris, dimana Parlemen Inggris terdiri dari Majelis Tinggi (House of Lord) yang mewakili para bangsawan dan kamar satunya diisi oleh para wakil rakyat yang dipilih melalui mekanisme Pemilu yang disebut Majelis Rendah (House of Commons). Pendapat Montesquieu ini, menurut saya, menggambarkan dan berdasarkan konteks Perancis pada masa transisi dari masyarakat feodal ke masyarakat demokratis pada masa itu. Montesquieu, The Spirit of Law…, hlm. 195.

24 Lihat : pidato pengukuhan guru besar Prof. Dr. Dahlan Thaib, SH., “Menuju Parlemen Bikameral (Studi Konstitusional Perbahan ketiga UUD 1945)”, disampaikan pada Rapat Senat Terbuka Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. dalam Abdul Ghofur Anshori dan Sobirin Malian (edt.), Membangun Hukum Indonesia : Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum, Yogyakarta : Kreasi Total Media, 2008, hlm. 196-197. dan Bagir Manan, op. cit.

25 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi : Serpihan Pemikiran Hukum, Media dan HAM, Jakarta : Konstitusi Press, cet. II, 2005, hlm. 22.

26Ibid., hlm. 23. Sebagian ahli menambahkan juga apa yang disebut perwakilan fungsional atau functional representation. Lihat juga : Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik…, hlm. 317 dan Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok…, hlm. 154.

27 C. F. Strong, Konstitusi-konstitusi…, hlm. 234.

28 Konsepsi Strong tentang kamar kedua ini sebenarnya lebih ditekankan pada bentuk negara federal, namun melihat perkembangan selanjutnya negara yang besar atau luas wilayahnya bisa bahkan harus menerapkan parlemen dua kamar. Ibid., hlm. 267.

29 Ni’matul Huda, “Sejarah Ketatanegaraan Indonesia, Pilihan atas Federalisme atau Negara Kesatuan”, dalam Edy Suandi Hamid dan Sobirin Malian, Memperkokoh Otonomi Daerah.., hlm. 21-22.

30Ibid., hlm. 22.

31 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2005, hlm. 307.

32Ibid.

33 Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok…, hlm. 423. Lihat juga : Sirajuddin, “Hubungan Pusat-Daerah : Konsepsi, Problematika dan Alternatif Solusi” dalam Mukhtie Fadjar Dkk., Konstitusionalisme Demokrasi : Sebuah Diskursus tentang Pemilu, Otonomi Daerah dan Mahakamah Konstitusi, Malang : TRANS Publishing, 2010, hlm. 152.

34 Kata Pengantar dalam Syaukani HR., Afan Gaffar dan Ryas Rasyid, Otonomi Daerah….

35 Ramlan Surbakti, “Demokrasi Deliberatif dan Partisipatif” dalam Andi Ramses M. dan La Bakry, Politik dan Pemerintahan Indonesia.., hlm 34. Lihat juga : Montesquieu, The Spirit of Law..dan Roesseau, Du Contract Social…, Serta Howard Williams, Filsafat Politik Kant, alih bahasa Muhammad Hardani, Jakarta dan Surabaya : DPP IMM dan JP-Press, 2003, hlm. 14-16.

36Ibid., hlm. 42-45.

37 PDI-P semula tidak sepakat DPD menjadi sebuah lembaga, dengan alasan hal ini bisa mengarah pada pembentukan negara federal. Ketakutan PDI-P ini juga karena alasan politis, dimana sebagian besar kursi PDI-P didapatkan di daerah Jawa, sedangkan jika DPD menjadi lembaga maka kekuatan yang paling besar di MPR nantinya adalah kekuatan dari luar jawa, hal ini tentu akan mempersulit PDI-P sendiri. Walau bagaimanapun, pada masa itu permasalahan Jawa dan luar Jawa merupakan persoalan yang urgen, dan mengarah pada dis-integrasi bangsa. Lihat : Valina Sungka Subekti, Menyusun Konstitusi Transisi : Pergulatan Kepentingan dan Pemikiran dalam Proses Perubahan UUD 1945, Jakarta : Raja Grarafindo Persada, 2008, hlm. 209-223.

38 Fatmawati beralasan bahwa setiap regulasi yang berkaitan dengan kepentingan daerah merupakan kewenangan DPD juga, sebab DPD merupakan pengawal utama otonomi daerah. Hal ini terkait dengan 2 pendapat tentang konsep otonomi daerah dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, yakni pendapat yang mengatakan tidak ada hubungan antara DPD dengan pemerintah daerah dan pendapat yang menyatakan bahwa antara DPD dan pemerintah daerah erat kaitannya. Lihat : Fatmawati, Struktur dan Fungsi Legislasi…, hlm. 346-347.

39 Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi…, hlm. 59.

Perdebatan Bentuk Negara dalam UUD 1945

  1. PENDAHULUAN

Perdebatan bentuk negara selalu menjadi sesuatu hal yang menarik dalam Hukum Tata Negara, meskipun perdebatan ini merupakan sangat klasik sekali, yakni sejak awal sebuah negara didirikan bentuk negara selalu menjadi sebuah nuansa tersendiri bagi para pendiri negara dalam menentukannya. Persoalan ini selalu terselesaikan dengan kompromi tingkat tinggi, menentukan pilihan yang tepat demi kedaulatan, keutuhan, dan keberlangsungan suatu negara. Sebab, jika persoalan ini tidak ada kata sepakat maka akan berakibat pada kurangnya legitimasi negara itu sendiri terhadap rakyat dan wilayah-wilayahnya.

Pemakaian kata bentuk negara berbeda dengan bentuk pemerintahan, bentuk negara pada umumnya kita dihadapkan pada pilihan negara kesatuan, federal, konfederasi atau negara multi federal. Sedangkan pemakaian istilah bentuk pemerintahan, kita dihadapkan pada pilihan republik atau monarki. Penggunaan istilah bentuk negara dan bentuk pemerintahan memang masih menjadi perdebatan di kalangan ahli Hukum Tata Negara mengenai mana yang cocok dipakai untuk istilah bangunan negara tersebut, namun di sini penulis akan lebih memilih istilah bentuk negara atas pilihan negara kesatuan atau federal.

Sejak awal kemerdekaan Indonesia, para pounding fathers memperdebatkan tentang bentuk negara Indonesia, apakah menggunakan bentuk negara kesatuan atau federal. Perdebatan ini bisa difahami karena para anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) terdiri dari berbagai unsur, latar belakang keilmuan, etnis dan agama yang berbeda. Di samping itu, bentuk negara merupakan sesuatu yang harus diatur langsung dalam konstitusi, di samping ketentuan-ketentuan mengenai kedaulatan negara dan wilayah negara.1 Pengaturan secara langsung bentuk negara dalam konstitusi karena konstitusi merupakan sebuah dokumen hukum yang tertinggi di atas peraturan-peraturan hukum biasa yang mengatur pemerintahan negara, sedangkan pemerintahan negara berhubungan langsung dengan bentuk negara, bentuk pemerintahan dan sistem pemerintahan.

Bentuk negara merupakan identitas jati diri suatu bangsa, maka selayaknya bentuk negara diatur langsung dalam konstitusi. Jazim Hamidi dan Malik menganalogikan negara sebagai sebuah organisasi, sedangkan konstitusi adalah Anggaran Dasarnya. Biasanya anggaran dasar suatu organisasi berisi tentang identitas organisasi, struktur organisasi, pembagian kekuasaan serta mengatur hak dan kewajiban pengurus dan anggota.2 Berdasarkan pendapat tersebut, bentuk negara merupakan identitas suatu negara, maka bentuk negara harus disebutkan secara jelas dalam konstitusi negara tersebut. Maka dalam tulisan ini akan lebih khusus mengangkat tentang bentuk negara Indonesia dalam UUD 1945.

Pada sidang BPUPKI yang membahas naskah persiapan Konstitusi Indonesia yang mau diidirikan, usulan negara kesatuan dikeluarkan oleh Prof. Soepomo yang mendasarkan pikirannya pada pemikiran filsuf barat seperti Spinoza, Adam Miller dan Hegel dan berkaca pada bentuk negara Jerman di bawah Hitler dan Jepang dengan Tenno Haika-nya, mengemukakan ide negara integralistik bagi Indonesia.3 Ide negara kesatuan yang dilontarkan Soepomo tidak disetujui oleh semua anggota BPUPKI, ide ini ditentang oleh Mohammad Hatta yang lebih menyetujui bentuk negara federal. Mohammad Hatta menyatakan bahwa Indonesia terdiri dari masyarakat yang majemuk, sehingga membutuhkan bentuk negara federal bagi Indonesia untuk mempersatukan segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia.4

Berdasarkan hasil sidang BPUPKI itulah maka UUD 1945 mengatur bentuk negara Indonesia dalam Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi,

Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.”

Penempatannya pada bagian paling awal dari konstitusi menandakan ketentuan ini dianggap sangat penting dan utama, sehingga perumusannya mendahului perumusan ketentuan yang lainnya. Bentuk negara kesatuan ini bahkan pada saat UUD 1945 mau diamandemen setelah bergulirnya reformasi 1998 masih diperdebatkan oleh berbagai pihak, karena ketakutan beberapa kalangan tentang berubahnya bentuk negara, namun ada kesepakatan politik yang dilakukan oleh elemen bangsa agar negara kesatuan tetap dipertahankan,5 bahkan pada amanedemen keempat UUD 1945 lebih dipertegas dalam pasal 37 ayat (5) yang berbunyi,

Khusus tentang bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.”

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, tidak semua elemen bangsa Indonesia menginginkan atau menyetujui bentuk negara Kesatuan untuk Republik ini, sebab Indonesia adalah negara dengan tingkat kemajemukan yang tinggi, baik dilihat dari agama, suku, etnis, budaya, bahasa, geografis dan latar belakang historis. Selain itu, konsep integralistik yang melahirkan negara kesatuan juga bisa berpotensi pemarginalan kelompok minoritas oleh mayoritas. Kalau itu sudah terjadi, maka tujuan negara Indonesia yang ingin mensejahterakan kehidupan umum dan untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia akan sulit terwujud.

Melihat latar belakang permasalahan di atas, maka dalam tulisan ini akan mencoba untuk menjawab permasalahan yang timbul. Permasalahan yang timbul adalah :

  1. Bagaimana perdebatan tentang bentuk Negara Republik Indonesia dalam pembahasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945?

  1. TEORI KONSTITUSI DAN BENTUK NEGARA

  1. Teori Konstitusi

K. C. Wheare mendefenisikan konstitusi dalam dua arti, dalam arti yang luas konstitusi digambarkan sebagai seluruh sistem ketatanegaraan suatu negara, kumpulan peraturan yang membentuk dan mengatur atau mengarahkan pemerintahan, ada yang tertulis dan ada yang tidak tertulis. Sedangkan dalam arti sempit konstitusi merupakan hasil seleksi dari peraturan-peraturan hukum yang mengatur pemerintahan negara tersebut, dan telah dihimpun dalam suatu dokumen.6 Berarti Wheare mendefenisikan Konstitusi sebagai aturan umum pemerintahan suatu negara, baik yang tertulis dalam suatu dokumen maupun yang tidak tertulis. Hans Kelsen mengartikan konstitusi dalam arti formal sebagai suatu dokumen resmi, seperangkap aturan hukum yang hanya dapat diubah di bawah pengawasan ketentuan-ketentuan khusus, yang tujuannya adalah untuk menjadikan perubahan-perubahan norma ini menjadi lebih sulit. Sedangkan dalam arti material, konstitusi terdiri atas peraturan-peraturan yang mengatur pembentukan norma hukum yang bersifat umum, terutama pembentukan undang-undang.7 Kelsen menarik pengertian konstitusi ini dari Grundnorm yang menjadi hukum tertinggi dari suatu negara, dari grundnorm inilah menurut Kelsen hukum-hukum yang lain dalam suatu negara berdasar, dan tidak boleh bertentangan dengannya. Namun Kelsen hanya menyetujui konstitusi tertulis saja.

Mengacu pada pendapat James Bryce, C. F. Strong menyebut konstitusi merupakan kumpulan prinsip-prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintahan, hak-hak pihak yang diperintah, dan hubungan diantara keduanya.8 Jazim Hamidi dan Malik secara sederhana mendefenisikan konstitusi merupakan suatu pernyataan tentang bentuk dan susunan suatu negara, yang dipersiapkan sebelum amaupun sesudah berdirinya negara yang bersangkutan.9

Berdasarkan beberapa defenisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa secara garis besar konstitusi merupakan aturan umum, tertinggi dan mengikat suatu negara yang memuat tentang bentuk negara dan sistem pemerintahan, pembagian kekuasaan secara vertikal dan horizontal, hak dan kewajiban warga negara serta hubungan negara dan warga negara.

Konstitusi secara umum memiliki fungsi sebagai berikut :

  1. Konstitusi sebagai dokumen nasional;

  2. Konstitusi sebagai piagam kelahiran negara baru;

  3. Konstitusi sebagai hukum tertinggi;

  4. Sebagai identitas nasional dan lambang persatuan;

  5. Konstitusi sebagai alat untuk membatasi kekuasaan;

  6. Sebagai pelindung HAM dan kebebasan warga negara.10

Adanya fungsi-fungsi ini bertujuan agar konstitusi menjadi suatu instrumen hukum untuk mengawasi dan membatasi kekuasaan, serta konstitusi bertujuan untuk membebaskan kekuasaan dari kontrol mutlak dari penguasa, serta menetapkan bagi para penguasa tersebut batas-batas kekuasaan mereka.11

Sedangkan muatannya, menurut Wheare adanya dua pendapat yang berbeda. Pertama, konstitusi hanya merupakan dokumen hukum dan isinya hanya berupa aturan-aturan hukum. Kedua, konstitusi tidak hanya sebagai dokumen hukum saja, tetapi juga berisi tentang prinsip-prinsip, keyakinan dan cita-cita negara.12 Wheare tidak secara jelas mengemukakan tentang apa yang harus diisi dalam konstitusi itu, dia hanya mengemukakan tentang konstitusi itu harus sesiangkat mungki dan harus difahami serta dilakasanakan oleh setiap komponen.13

Terlepas dari berbagai macam pendapat mengenai isi konstitusi, saya lebih sepakat dengan pendapat Prof. Miriam Budiardjo yang menyatakan konstitusi memuat ketentuan tentang organisasi negara, yakni mengatur mengenai soal pemisahan atau pembagian kekuasaan, bentuk dan susunan negara dan masalah pelanggaran yuridiksi. Selanjutnya konstitusi memuat tentang Hak-hak Asasi Manusia, prosedur mengubah UUD, adakalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari UUD, serta memuat aturan yang tertinggi untuk mengikat seluruh warga negara tanpa terkecuali.14

Strong mengklasifikasikan konstitusi menurut sifatnya menjadi konstitusi kaku dan konstitusi fleksibel. Konstitusi kaku ialah konstitusi yang mensyaratkan adanya prosedur khusus untuk mengubahnya, sedangkan konstitusi fleksibel ialah konstitusi yang dalam mengamandemennya tidak diperlukan prosedur yang khusus.15 Konstitusi yang kaku memang memberikan suatu manfaat yang bisa meminimalisir kewewenangan oleh penguasa, sebab kalau konstitusi itu mudah diubah maka akan bisa diubah kapan saja oleh penguasa demi tujuan kekuasaanya, dan hal ini akan menimbulkan tindakan kesewenang-wenangan, penumpukan cabang-cabang kekuasaan pada satu tangan dan diabaikannya hak-hak warga negara serta bentuk dan susunan negara bisa saja tidak begitu jelas karena begitu statis demi kepentingan penguasa, bukan kepentingan rakyat banyak.

Konstitusi, karena merupakan resultan politik, menurut Wheare selalu mencerminkan kekuatan yang dominan, dalam hal ini konstitusi bisa berubah bila mayoritas memilih untuk merubahnya.16 Perubahan konstitusi dilakukan dengan tiga cara, yakni melalui amandemen formal, keputusan yudisial serta dengan cara terbentuknya adat dan kebiasaan.17 Setidaknya secara umum ada dua macam bentuk perubahan konstitusi, yakni dengan cara remewel pada negara penganut sistem Eropa Kontinental dan amandemen pada negara Anglo-saxon. Cara pertama yaitu apabila suatu konstitusi dilakukan perubahan, maka yang berlaku adalah konstitusi yang baru secara keseluruhan. Sedangkan amandemen masih memberlakukan konstitusi yang lama, sedangkan hasil perubahan merupakan bagian atau dilampirkan dalam konstitusi.18

Perubahan suatu konstitusi tidak boleh asal ubah saja, khususnya perubahan dengan jalan amandemen formal, perubahan ini harus memenuhi beberapa syarat yakni perubahan harus dengan pertimbangan yang matang, pendapat rakyat harus didengarkan terkait perubahan konstitusi tersebut, dalam negara federal tidak bisa satu fihak dalam mengubah unit-unit dan pemerintah pusat. Terakhir, perubahan konstitusi harus melindungi hak-hak individu atau masyarakat.19

  1. Defenisi Negara Kesatuan dan Negara Federal

Dua hal penting yang diatur dalam konstitusi biasanya adalah mengenai pemisahan kekuasaan dan bentuk negara. Pemisahan kekuasaan bisa disamakan dengan pemencaran kekuasaan secara horizontal, sedangkan bentuk negara melahirkan pola pemencaran kekuasaan secara vertikal. Pemencaran kekuasaan secara horizontal melahirkan kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif, biasa dikenal dengan trias politica. Sedangkan pemencaran kekuasaan secara vertikal adalah pemencaran kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pembagian kekuasaan secara vertikal ini melahirkan beberapa pilihan formasi yang berbeda, disesuaikan dengan bentuk negara, ada yang berbentuk federatif, kesatuan dengan sentralisasi atau kesatuan dengan desentralisasi.

Bentuk negara adalah salah satu hal utama yang diatur dalam sebuah konstitusi, sebagai contoh Indonesia memuat tentang bentuk negara pada pasal 1 ayat (1) UUD 1945, hal ini menandakan betapa penting dan sifat keutamaan dari bentuk negara itu sendiri. Namun, setiap negara harus memilih satu ebntuk negara saja, pilihan harus dijatuhkan kepada salah satu dari bentuk negara kesatuan, negara federal atau konfederatif. Dewasa ini, pilihan seringkali hanya pada dua bentuk, yakni antara bentuk negara kesatuan atau negara federal.

Negara kesatuan dideklarasikan oleh para pendirinya saat kemerdekaan dengan mengklaim seluruh wilayahnya sebagai bagian dari suatu negara, negara tidak dibentuk berdasarkan kesepakatan, setelah itu baru dibentuk wilayah atau daerah di bawahnya. Kewenangan yang didapat oleh daerah merupakan pelimpahan dari pemerintah pusat untuk diatur sebagian.20 Miriam Budiardjo menyatakan, bahwa negara kesatuan hanya ada satu pemerintah saja, dalam negara ini ikatan serta integrasi sangat kokoh.21

Menurut Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, disebut negara kesatuan apabila pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak sama dan tidak sederajat, kekuasaan pusat lebih menonjol dan tidak ada saingan bagi badan legislatif pusat dalam membuat Undang-undang, kekuasaan pemerintah daerah hanya bersifat derivatif.22 Intinya negara kesatuan tidak mengenal ada negara dalam negara, pemerintahan yang yang berdaulat hanya satu yakni pemerintah pusat. Kekuasaan yang ada di tangan pemerintah daerah merupakan mandat atau wewenang dari pusat dan tidak boleh hukum daerah bertentangan dengan hukum nasional, peraturan pusat tidak lagi memerlukan pengakuan dari daerah.

Strong mengemukakan ciri utama negara federal adalah adanya rekonsiliasi kedaulatan nasional dan kedaulatan negara bagian, selanjutnya syarat utama negara federal adalah adanya rasa kebangsaan dari negara-negara yang membentuk federasi dan tidak adanya niat untuk menjdi satu kesatuan, karena jika mempunyai kehendak bersatu berarti bukan negara federal, tapi telah menjadi negara kesatuan.23 Dalam hal ini kedaulatan keluar, seperti pertahanan keamanan, kebijakan fiskal dan kebijakan luar negeri ada ditangan peerintahan nasional, sedangkan kedaulatan kedalam tetap berada di tangan pemerintah negara bagian.24

Mengenai tentang cara pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dengan pemerintah negara bagian, masing-masing negara mempunyai cara tersendiri. Namun secara umum ada dua cara yaitu disebutkan secara rinci semua yang menjadi kewenangan pemerintah federal dan sisanya menjadi kewenangan pemerintah negara bagian, atau disebutkan satu persatu secara rinci wewenang negara bagian dan sisanya diurusan pemerintah federal.25 Apapun cara yang digunakan, pada intinya negara federal membagi secara jelas kewenangan antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian, dan kedaulatan masing-masing negara tidak dapat diganggu oleh yang lainnya, baik oleh sesama negara bagian maupun oleh pemerintah federal.

  1. Perdebatan Bentuk Negara dalam Sidang BPUPKI

Perdebatan yang terangkat dalam penentuan bentuk negara Indonesia dalam rapat BPUPKI adalah menentukan pilihan pada federali atau kesatuan. Pioner gagasan negara kesatuan di Indonesia adalah Prof. Soepomo, pendapatnya dalam sidang BPUPKI diikuti oleh tokoh nasional lainnya seperti Soekarno dan Mr. Muhammad Yamin, walaupun sebenarnya konsep negara integralistik yang tidak menjamin HAM dari Soepomo dsedikit ditentang oleh Yamin yang menghendaki pengakuan dan jaminan terhadap HAM dalam UUD Negara Indonesia nantinya.

Soepomo berpendapat bahwa negara didirikan atas sebuah teori, di dunia mengenal tiga teori tentang dasar berdirinya negara, yaitu teori individulistik, teori kelas dan teori integralistik. Teori individulistik negara adalah masyarakat hukum yang disusun atas kontrak antara masyarakat itu sendiri.26 Sedangkan teori golongan menganggap negara merupakan alat suatu golongan untuk menindas golongan yang lain, golongan kuat menindas yang lemah.27 Aliran ketiga menurut Soepomo adalah teori integralistik, menurut teori ini negara tidak menjamin kepentingan perorangan atau kelompok, tapi negara harus mencakup kepentingan seluruh komponen, negara adalah suatu susunan masyarakat yang integral, segala golongan mempunyai ikatan yang erat dan berhubungan satu sama lainnya dan merupakan persatuan masyarakat yang organis.28

Soepomo berpendapat bahwa integralistik adalah faham yang cocok untuk bangsa indonesia, bukan faham kenegaraan individualistik seperti yang diajarkan Thomas Hobbes, John Lacke, Jean Jacques Roesseau, Helbert Spencer dan J. Laski, maupun negara kelas yang dianut oleh Karl Marx, Engels dan Lenin. Selanjutnya Soepomo mengatakan bahwa jika kita hendak mendirikan negara Indonesia yang sesuai dengan sifat dan ciri khas masyarakat Indonesia, maka negara kita harus didirikan atas dasar pikiran tentang negara (staatside) yang integralistik.29

Gagasan negara kesatuan yang dipelopori Soepomo ini juga diikuti oleh Mr. Muh. Yamin, Yamin berpendapat bahwa bentuk negara yang yang sesuai untuk Indonesia adalah negara kesatuan, bukan negara serikat. Dalam sidang BPUPKI pada tanggal 29 Mei 1945, Yamin mengusulkan Indonesia menjadi negara persatuan yang tidak terpecah, dibentuk kedalam dan keluar badan bangsa Indonesia yang tidak terbagi-bagi.30 Alasan Yamin menolak federalisme karena negara federal lebih banyak memerlukan pegawai dibandingkan negara kesatuan, negara federal mengarah pada perpecahan, sedangkan negara kesatuan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.

Menurut Yamin, bentuk negara kesatuan diperlukan untuk memperkuat Indonesia yang dimerdekakan dengan jalan revolusi, federalisme hanya akan melemahkan Indonesia.31 Lebih jauh Yamin mengungkapkan bahwa ide negara kesatuan sudah muncul sejak Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928, karena telah ada kebulatan tekad seluruh pemuda Indonesia tentang adanya satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa. Oleh sebab itu, Indonesia tidak dengan bentuk negara kesatuan bukan hanya ide pada saat sidang BPUPKI, tetapi memang telah dicita-citakan sejak lama.

Ide negara kesatuan tidak serta-merta diterima oleh seluruh anggota BPUPKI, Mohammad Hatta lebih setuju dengan negara federal. Namun dalam mekanisme pengambilan keputusan mengenai bentuk negara, Hatta harus menerima bentuk negara kesatuan untuk Indonesia, sebab Hatta kalah suara dan mayoritas anggota BPUPKI lebih menginginkan bentuk negara kesatuan.32

Hatta mengemukakan bahwa karena Indonesia terbagi atas beberapa pulau dan golongan bangsa, maka perlu tiap-tiap golongan kecil atau besar, mendapat otonomi, mendapat hak untuk menentukan nasipnya sendiri. Satu-satunya dapat mengatur pemerintahan sendirimenurut keperluan dan keyakinan sendiri, asal saja peraturan masing-masing tidak berlawanan dengan dasar-dasar pemerintahan secara umum.33 Selanjutnya Mohammad Hatta menyatakan bahwa Indonesia terdiri dari masyarakat yang majemuk, sehingga membutuhkan bentuk negara federal bagi Indonesia untuk mempersatukan segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia.34 Sekali lagi, karena konstitusi adalah resultan politik, maka pada waktu itu ditetapkan bentuk negara Indonesia adalah negara kesatuan, negara kesatuan atau federal bukan soal baik atau buruk, tapi persoalan pilihan yang diambil oleh para pendiri bangsa waktu itu. Wacana pembentukan negara federal di Indonesia sampai saat ini tidak pernah tertutup, asalkan sesuai dengan konteks zaman, tidak merampas hak warga negara dan yang paling penting tetap berorientasi pada kesejahteraan rakyat.

  1. PERDEBATAN BENTUK NEGARA DALAM UUD 1945

Sebagai resultan pendirinya, konstitusi suatu negara tidak lepas dari pengaruh keadaan politik, ekonomo, sosial dan budaya pada masa konstitusi itu dibuat. Anggota BPUPKI yang merancang UUD 1945 boleh dikatakan mewakili seluruh wilayah Indonesia, namun perlu dicatat bahwa mayoritas anggotanya berasal dari ningrat Jawa, dam sedikit dari wilayah lainnya. Berdasarkan kenyataan inilah, maka jelas pilihan bentuk negara kesatuan akan menjadi pilihan mayoritas para anggota BPUPKI dibandingkan bentuk negara federal, hal ini bisa dikarenakan orang Ningrat Jawa memang lebih menginginkan bentuk yang integralistik, manunggaling kawulo gusti antara rakyat dan negara, antara masyarakat dan penguasa. Sebab, orang Jawa menilai kekuasaan itu konkret dan homogen, sehingga orang Jawa melihat kekuasaan, atau kedaulatan, tidak dapat diraba dan dirasakan serta kekuasaan mempunyai sumber yang sama dan harus bersatu. Menurut falsafah orang Jawa, persatuan adalah lambang kekuatan, sedangkan federal adalah perpecahan sehingga bentuk negara federal akan mengakibatkan perpecahan, dan ada akhirnya akan melemah.35

Seperti yang telah dijelaskan di atas, Soepomo memajukan ide konsep negara (staatside) bagi Indonesia adalah ide negara integralistik, ide ini dilatarbelakangi oleh type masyarakat paguyuban yang ada di desa-desa pulau Jawa, sehingga Soepomo berkesimpulan bahwa negara kesatuan adalah bentuk negara yang paling cocok untuk Indonesia. Menurut Adnan Buyung Nasution, pendapat Soepomo ini hanya didasarkan pada masyarakat Jawa saja, yaitu suku Soepomo itu sendiri, tidak melihat keaneka ragaman suku, budaya dan agama di Indonesia, dan bahkan Soepomo dianggap mengabaikan keragaman yang ada dalam suku Jawa itu sendiri.36 Jadi ini semakin jelas bahwa keinginan untuk menetapkan bentuk negara Indonesia sebagai negara kesatuan lebih karena pertimbangan satu budaya saja, bukan berdasarkan pertimbangan keragaman budaya yang ada di Indonesia.

Pilihan atas Negara kesatuan merupakan pilihan mayoritas dan lebih mementingkan kemerdekaan dibandingkan memikirkan bentuk negara, sebab pada masa itu usaha lebih difokuskan untuk mendirikan suatu negara yang merdeka, sehingga para pendiri bangsa yang federalist tidak mau terlalu memaksakan ide mereka. Bagi mereka, negara kesatuan ataupun federal hanyalah sebagai alat untuk mewujudkan tujuan dan cita-cita Indonesia merdeka, kalau pilihan dijatuhkan pada bentuk negara federal maka energi para pendiri waktu itu akan banyak terkuras karena selain mendirikan negara nasional Indonesia, juga harus mendirikan negara-negara bagian, belum lagi sulitnya koordinasi dalam sebuah federasi dan tentunya yang paling penting adalah ancaman bagi revolusi karena perpecahan yang disebabkan berpencarnya kekuasaan negara.

Walaupun pada pasal 1 ayat (1) UUD 1945 telah dinyatakan dengan jelas bahwa bentuk negara Indonesia adalah negara kesatuan, dan dipertegas lagi dalam pasal 37 ayat (5) bahwa bentuk ini tidak dapat dilakukan perubahan, namun dalam pembukaan UUD 1945 tidak ada satu kalimatpun dengan tegas menyatakan bentuk negara Indonesia adalah negara kesatuan. Pembukaan UUD 1945 yang berisi cita-cita dan tujuan negara Indonesia menyebutkan 11 (sebelas) kali kata Indonesia, tapi tidak ada yang mengatakan Negara kesatuan Republik Indonesia, yang ada disebutkan tentang bentuk pemerintahan, yakni Negara Republik Indonesia.

Berdasarkan fakta yuridis ini, bentuk negara dalam UUD 1945 tidaklah harus negara kesatuan, slogan “NKRI harga mati” lebih berupa usaha yang berlebihan bagi pendukung konsep negara integralistik. Kalau bentuk negara kesatuan adalah bentuk baku dan tidak dapat ditawar lagi, maka hal ini harusnya secara jelas dsebutkan dalam Pembukaan UUD 1945, tapi hal ini tidak ditemukan. Berbeda dengan bentuk pemerintahan republik yang secara jelas disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945, berarti Indonesia harus berbentuk republik, jika ingin mengubahnya berarti hars mengubah dasar negara juga. Sedangkan bentuk negara kesatuan masih dapat ditawar, lebih tepatnya diubah, walaupun telah dikunci dalam pasal 37 ayat (1) tapi bukankah pasal tersebut juga dapat diubah atau dihapuskan asalkan ada kesepakatan politik dalam MPR yang mempunyai kewenangan untuk mengubahnya.

Karena tidak secara nyata dicantumkan dalam Pembukaan, yang memuat hal-hal yang paling prinsipil dari negara Indonesia, maka perubahan bentuk negara kesatuan ke bentuk yang lain, khususnya federasi, masih dapat dimungkinkan. Perubahan ini harus terlebih dahulu mendapatkan dukungan politik yang ada dalam MPR, karena konstitusi merupakan resultan politik, menurut UUD 1945 tersebut serta harus terlebih dahulu menghapus pasal 37 ayat (5) UUD 1945. Upaya seperti ini pernah dilakukan oleh MPR periode 1999-2004 yang menghapus terlebih dahulu TAP MPR Nomor IV tahun1983 tentang Referendum dalam perubahan UUD 1945, hal ini dilakukan sebelum upaya amandemen UUD 1945. Sebab, jika TAP MPR tersebut tidak dicabut, maka amandemen UUD 1945 akan sulit dilakukan, karena syarat yang berat dalam TAP MPR tersebut mengenai prosedur perubahan UUD 1945.

  1. PENUTUP

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 merupakan produk zaman, di amana UUD ini dibentuk dan dibuat pada zaman awal kemerdekaan Indonesia, disesuaikan juga dengan zaman itu pula. Sebagai produk zaman, UUD 1945 tidak bisa dikatakan dokumen abadi karena zaman selalu berubah, masyarakatpu berubah, maka perubahan atas sebuah konstitusi masih diperlukan untuk menyesuaikan dengan zaman pada masa berlakunya.

UUD 1945 juga merupakan resultan politik, maka isinyapun merupakan refresentasi keinginan dan kepentingan politik pembuatnya, sehigga dalam penentuan bentuk negara UUD 1945 lebih menggambarkan keinginan politik mayoritas pembuatnya. Pilihan atas bentuk negara kesatuan bukan dilihat dari aspek baik atau buruk, bagus atau jelek, akan tetapi karena suara mayoritas anggota BPUPKI lebih memilih bentuk negara kesatuan dibandingkan bentuk yang lain. Oleh sebab itu, jika akan mengubah bentuk negara kesatuan Republik Indonesia, maka yang paling penting adalah konsilidasi kekuatan politik di dalam badan yang akan mengubahnya, dalam hal ini MPR. Sebab, kalau ini tidak tercapai, maka cita-cita sebagian kalangan untuk mendirikan negara federal Indonesia akan sisa-sia.

Di samping itu, para anggota BPUPKI khususnya yang lebih setuju federalisme seperti Mohammad Hatta atau pendukung bentuk negara kesatuan seperti Muh. Yamin, lebih mementnigkan usaha untuk memerdekakan Indonesia dari pada mempersoalkan bentuk negara. Merdeka dan berjalannya pemerintahan negara demi mencapai cita-cita dan tujuan negara lebih penting bagi mereka, bentuk negara hanyalah instrumen untuk mencapai itu. Wajar mereka berfikir seperti itu, meributkan bentuk negara dan bisa jadi sangat menguras energi, sedangkan penjajah masih bercokol akan sia-sia, maka ereka berfikir alangkah lebih baiknya energi yang ada dicurahkan dalam upaya merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Sesuai dengan pepatah orang China : “tidak maslah kucing itu putih atau hitam, yang penting bisa menangkap tikus”.

Sebagai produk zaman dan resultan politik, UUD 1945 memang lebih sesuai dan cocok untuk zaman itu dan hasil kesepakan politik masa UUD itu dibuat. Persoalan lain muncul pada masa sesudahnya, maka suatu konstitusi harus disesuaikan dengan keadaan sekarang, termasuk dalam bentuk negara. Bentuk negara kesatuan dalam UUD 1945 masih bisa diubah, karena Pembukaan secara spesifik menyebutkan negara republik tapi tidak menyebutkan negara kesatuan, berarti pasal 1 ayat (1) bisa diubah tapi harus lebih dulu ubah pasal 37 ayat (5).

  1. DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Rozali, Pelaksanaan Otonomi Luas dan Isu Federalisme Sebagai Suatu Alternatif, Jakarta : RajaGrafindo Persada, cet. III, 2002;

Anwar C., Teori dan Hukum Konstitusi : Paradigma Kedaulatan dalam UUD 1945 (Pasca Amandemen), Implikasi dan Implementasinya pada Lembaga Negara, Malang : Instrans Publishing, cet. II, 2011;

Asshiddiqie, Jimly, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta : Bhuana Ilmu Populer, 2007;

Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik (edisi revisi), Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, cet. IV, 2010;

…………….., Masalah Ketatanegaraan, Jakarta : Gramedia, 1982;

Cipto, Bambang , Politik dan Pemerintahan Amerika, Yogyakarta : Lingkar Buku, cet. II, 2007;

Guruh LS., Syahda, Menimbang Otonomi vs. Federal : Mengembangkan Wacana Federalisme dan Otonomi Luas Menuju Masyarakat Madani Indonesia, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2000;

Hamid, Edy Suandi dan Sobirin Malian, Memperkokoh Otonomi Daerah : Kebijakan, Evaluasi dan Saran, Yogyakarta : UII Press, 2004;

Hamidi, Jazim dan Malik, Hukum Perbandingan Konstitusi, Jakarta : Prestasi Pustaka, 2009;

Kelsen, Hans, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, terj. Raisul Muttaqien, Bandung : Nusa Media, cet. V, 2010;

Kusnardi, Moh. dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2000;

Mahfud MD, Mohammad, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta : Rajawali Pers, 2010;

Nasution, Adnan Buyung, Demokrasi Konstitusional, Jakarta : Kompas Media Nusantara, 2011;

Purnama, Eddy, Negara Kedaulatan Rakyat : Analisis Terhadap Sistem Pemerintahan Indonesia dan Perbandingannya dengan Negara-negara Lain, Bandung : Nusamedia, 2007;

Strong, C. F., Konstitusi-konstitusi Politik Modern : Suatu Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk, terj. Derta Sri Widowatie, Bandung : Nusa Media, cet. III, 2010;

Thaib, Dahlan, Jazim Hamidi dan Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta : RajaGrafindo Persada, cet. IV, 2004;

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945

Wheare, K. C., Konstitusi-konstitusi Modern, terj. Imam Baehaqie, Bandung : Nusamedia, cet. V, 2011;

Yamin, Muhammad, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 : Disiarkan dengan dibubuhi catatan , Jakarta : Prapantja, 1959;

………………….., Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, Jakarta : t.p., 1960.

 

1 Jazim Hamidi dan Malik, Hukum Perbandingan Konstitusi, Jakarta : Prestasi Pustaka, 2009, hlm. 116.

2Ibid. Hlm. 119.

3 Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 : Disiarkan dengan dibubuhi catatan , Jakarta : Prapantja, 1959, hlm. 111.

4 Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta : Bhuana Ilmu Populer, 2007, hlm. 286.

5 Mahfud MD menamakannya dengan kompromi politik. Lihat : Mohammad Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta : Rajawali Pers, 2010, hlm. 40.

6 K. C. Wheare, Konstitusi-konstitusi Modern, terj. Imam Baehaqie, Bandung : Nusamedia, cet. V, 2011, hlm. 1-3.

7 Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, terj. Raisul Muttaqien, Bandung : Nusa Media, cet. V, 2010, hlm. 180.

8 C. F. Strong, Konstitusi-konstitusi Politik Modern : Suatu Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk, terj. Derta Sri Widowatie, Bandung : Nusa Media, cet. III, 2010, hlm. 15.

9 Jazim Hamidi dan Malik, Hukum Perbandingan….., hlm. 87.

10 Anwar C., Teori dan Hukum Konstitusi : Paradigma Kedaulatan dalam UUD 1945 (Pasca Amandemen), Implikasi dan Implementasinya pada Lembaga Negara, Malang : Instrans Publishing, cet. II, 2011, hlm. 63-65.

11 Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta : RajaGrafindo Persada, cet. IV, 2004, hlm. 24.

12 K. C. Wheare, Konstitusi-konstitusi…, hlm. 49-79.

13Ibid., hlm. 52.

14 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (edisi revisi), Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, cet. IV, 2010, hlm. 177-178.

15 C. F. Strong, Konstitusi-konstitusi…., hlm. 90.

16 K. C. Wheare, Konstitusi-konstitusi…, hlm. 104. Kerena sebagai resultan politik, ekonomi, sosial dan budaya inilah maka konstitusi disebut produk pada zamannya, sehingga isi dan muatannya disesuaikan dengan pada masa konstitusi itu ditetapkan. Oleh sebab itu, maka konstitusi harus terbuka untuk diubah, agar konstitusi tersebut sesuai dengan perkembangan zaman. Lihat juga dalam : Mohammad Mahfud MD, Perdebatan.., hlm. 20.

17 K. C. Wheare, Konstitusi-konstitusi…, hlm. 126.

18 Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan Ni’matul Huda, Teori dan…, hlm. 67.

19 K. C. Wheare, Konstitusi-konstitusi…, hlm. 128.

20 Ni’matul Huda, “Sejarah Ketatanegaraan Indonesia, Pilihan atas Federalisme atau Negara Kesatuan”, dalam Edy Suandi Hamid dan Sobirin Malian, Memperkokoh Otonomi Daerah : Kebijakan, Evaluasi dan Saran, Yogyakarta : UII Press, 2004, hlm. 22.

21 Menurut saya, pendapat Miriam Budiardjo ini sangat terpengaruh oleh konsep negara integralistik yang diutarakan Prof. Soepomo. Lihat : Miriam Budiardjo, Dasar-dasar…, hlm. 270.

22 Kusnardi, M. dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2000. Hlm. 207.

23 C. F. Strong, Konstitusi-konstitusi…., hlm. 139.

24 Lihat : Miriam Budiardjo, Dasar-dasar…, hlm. 270.

25 Kusnardi, M. dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara…, hlm. 210-211.

26 Muhammad Yamin, Naskah Persiapan ….., hlm. 110.

27Ibid., hlm. 11.

28Ibid.

29Ibid., hlm. hlm. 113. Lihat juga : Adnan Buyung Nasution, Demokrasi Konstitusional, Jakarta : Kompas Media Nusantara, 2011, hlm. 89.

30 Muhammad Yamin, Naskah Persiapan ….., hlm. 100.

31 Muhammad Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, Jakarta : t.p., 1960, hlm. 286-287.

32 Mohammad Mahfud MD, disampaikan pada kuliah Sistem Politik Indonesi, BKU Hukum Tata Negara/Hukum Administrasi Negara Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, pada tanggal 05 Juni 2011

33 Syahda Guruh LS., Menimbang Otonomi vs. Federal : Mengembangkan Wacana Federalisme dan Otonomi Luas Menuju Masyarakat Madani Indonesia, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2000, hlm. 45. Lihat juga dalam : Mohammad Hatta, “Ke Arah Indonesia Merdeka”, dalam Miriam Budiardjo, Masalah Ketatanegaraan, Jakarta : Gramedia, 1982, hm. 44-45.

34 Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok…, hlm. 286.

35 Syahda Guruh LS., Menimbang Otonomi…, hlm. 70-73.

36 Adnan Buyung Nasution, Demokrasi…, hlm. 89.