Pengaruh Partai Politik Terhadap Pelaksanaan Prinsip Pemisahan Kekuasaan di Indonesia

  1. PENDAHULUAN.

Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai fungsi utama sebagai pembuat kebijakan negara (legislasi) dan fungsi mengawasi pelaksanaan kebijakan yang telah dibuat (control)1 dan fungsi membuat anggaran negara.2 Berkaitan dengan fungsi-fungsi lembaga perwakilan inilah maka suatu negara bisa dikatakan negara hukum atau tidak, sebab dengan tiga fungsi utama tersebut lahir check and balances pemerintahan antara legislatif dan eksekutif serta badan yudikatif.

Sistem demokrasi yang dianut di Indonesia memberikan posisi yang begitu urgen bagi Partai Politik, Partai Politik merupakan sarana bagi warga negara untuk dapat berpartisipasi dalam pengelolaan negara. Lahirnya Partai Politik tidak lepas dari kenyataan bahwa rakyat harus diikut sertakan dalam setiap proses politik.3 Terkait fungsi seperti ini Partai Politik mempunyai status sebagai institusi publik semu, karena Partai Politik bukanlah lembaga pemerintah tapi juga bukan lembaga swasta yang seutuhnya.4

Anggota DPR dipilih melalui mekanisme pemilihan umum, peserta Pemilu DPR maupun DPRD adalah Partai Politik,5 melalui suatu pemilihan umum. Selanjutnya, dari rahim partai politik jugalah calon pemimpin eksekutif, atau lebih tepatnya presiden disiapkan, karena menurut sistem ketatanegaraan Indonesia pasangan presiden dan wakil presiden harus dicalonkan oleh partai politik atau gabungan Partai politik, dan masih menutup untuk calon perseorangan.6 Untuk itulah mengapa partai politik sangat urgen dalam menunjang tegaknya demokrasi.

Perekrutan ini melalui Pemilu karena Pemilihan umum merupakan mekanisme legitimasi kekuasaan, setiap negara yang demokratis pasti menginginkan kekuasaan pemerintahannya sah dan berdaulat, untuk itulah dilaksanakannya pemilihan umum. Setidaknya ada tiga alasan Pemilu dijadikan sebagai legitimasi kekuasaan. Pertama, melalui Pemilu pemerintah bisa meyakinkan atau setidaknya memperbaharui kesepakatan-kesepakatan politik dengan rakyat. Kedua, melalui pemilu pemerintah dapat pula mempengaruhi perilaku rakyat. Ketiga, dalam dunia modern penguasa dituntut untuk mengandalkan kesepakatan rakyat ketimbang melaksanakan pemaksaan untuk mempertahankan atau mendapatkan legitimasinya.7

Setiap pelaksanaan Pemilu di era modern, partai politik merupakan instrumen penting dalam demokrasi, hampir tidak ada negara di dunia yang memakai sistem pemilu tanpa kehadiran partai politik. Berkaitan dengan itu, partai politik dengan salah satu fungsinya sebagai sarana rekruitment politik,8 tidak bisa dipisahkan dengan pelaksanaan Pemilu dan proses demokrasi itu sendiri, karena melalui wadah inilah para sebagian besar calon pemimpin suatu negara diseleksi atau direkrut, baik di bidang legislatif maupun eksekutif.

Akibat penggunaan teori trias politika pemisahan kekuasaan dengan mekanisme check and balances maka harus ada keterkaitan serta saling kontrol wewenang antara lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya agar tidak terjadi kesewenang-wenangan. Begitupun dalam hal perekrutan orang-orang yang akan menduduki posisi di lembaga yudikatif, ada juga hubungannya dengan lembaga legislatif dan eksekutif. Mahkamah Agung misalnya, calon Hakim Agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya dilantik oleh Presiden.9

Begitu juga di Mahkamah Konstitusi, sembilan orang Hakim Konstitusi diajukan oleh Presiden, DPR dan MA masing-masing tiga orang.10 Perekrutan Hakim Konstitusi seperti ini, menurut Prof. Jimly Asshiddiqie, bermaksud untuk menjamin agar para hakim konstitusi dapat benar-benar bekerja secara independen dan tidak memihak.11 Bukan hanya itu, perekrutan Komisioner Komisi Yudisial, Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dan lembaga negara lainnya juga diatur mengenai perekrutannya harus melalui persetujuan DPR.

Melalui persetujuan DPR untuk setiap pengangkatan pejabat negara sebenarnya tidak menjadi masalah, sebab DPR yang merupakan wakil rakyat dan rakyat adalah pemegang kedaulatan yang sebenarnya, maka setiap orang yang akan menduduki posisi penting di negara ini harus mendapat persetujuan rakyat, yaitu melalui wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR. Dengan demikian, maka lembaga-lembaga tinggi negara menjalankan kekuasaannya bisa dikatakan berdasarkan amanat rakyat, baik secara langsung melalui pemilihan umum yang diberikan kepada DPR, DPD maupun Presiden dan wakil presiden ataupun para Hakim Agung dan Hakim Konstitusi, termasuk pimpinan lembaga negara lainnya, yang secara tidak langsung mendapat persetujuan rakyat melalui wakil-wakilnya di DPR.

Persoalan yang muncul selanjutnya adalah jika dilihat dari mekanisme perekrutannya melalui Pemilu dengan yang harus lewat Partai politik, khususnya hasil Pemilu tahun 2009. DPR dipilih melalui Partai politik begitupun dengan presiden, sehingga lembaga legislatif dan eksekutif diisi oleh orang-orang dari partai politik, keadaan ini berpotensi menimbulkan penggabungan kekuasaan legislatif dan eksekutif ke dalam satu tangan, dalam hal ini bukan satu tangan personal tapi satu tangan kelompok. Selanjutnya dapat juga berakibat penggabungan secara “paksa” kekuasaan yudikatif ke dalam satu lingkaran kekuasaan juga, sebab yang menentukan para Hakim Agung maupun Hakim Konstitusi adalah orang-orang Partai, yang duduk sebagai anggota DPR dan Pressiden, bisa jadi hal ini akan berakibat kekuasaan kehakiman terkooptasi oleh kekuasaan legislatif dan/atau kekuasaan eksekutif.12

Melihat fenomena politik dan ketatanegaraan di atas, maka timbul Permasalahan dalam tulisan ini, yaitu bagaimana pengaruh partai politik terhadap pemisahan kekuasaan dan pemerintahan Indonesia yang menganut sistem presidensiil?

  1. DEMOKRASI KONSTITUSIONAL DAN PARTAI POLITIK

  1. Demokrasi Konstitusional

Pada mulanya negara-negara yang ada di dunia belum mengenal pemisahan kekuasaan, raja menjadi satu-satunya pemegang kekuasaan. Monarki absolut terjadi di seluruh negara Eropa. Perang berkepanjangan di daratan Eropa, yang tentunya memakan biaya tinggi, menyebabkan pemerintah menarik pajak yang tinggi pula kepada rakyatnya dan meminta bantuan kepada para bangsawan, dan ini merupakan cikal bakal lahirnya parlemen di beberapa negara, khususnya Inggris dan Perancis.13 Sejak saat itu muncul ide kedaulatan rakyat atau demokrasi, dan selanjutnya berkembang menjadi demokrasi konstitusional.14

Demokrasi konstitusional memiliki ciri khas dengan gagasan bahwa pemerintahan yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Pembantasan-pembantasan atas kekuasaan pemerintah tercantum dalam konstitusi.15 Pembatasan atas kekuasaan negara sebaiknya diselenggarakan dengan suatu konstitusi yang tertulis, yang dengan tegas menjamin hak-hak asasi dari warga negara. Di samping itu, keuasaan dibagi sedemikian rupa sehingga kesempatan penyalahgunaan diperkecil, dan tidak boleh memusatkan kekuasaan pemerintah kepada satu orang atau satu badan.16

Pemikir pertama yang mengemukakan teori pemisahan kekuasaan adalah seorang pemikir Inggris yang bernama John Locke dalam bukunya Two Treaties on Civil Government (1690). Locke memisahkan kekuasaan suatu negara menjadi kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan federatif. Kekuasaan legislatif bertugas membuat Undag-Undang, kekuasaan eksekutif mempunyai fungsi melaksanakan Undang-Undang, sedangkan kekuasaan federatif adalah kekuasaan yang meliputi pengaturan tentang perang dan damai, perserikatan dan aliansi serta segala tindakan dengan semua orang dan badan-badan di luar negeri.17 Locke menekankan bahwa kekuasaan legislatif merupakan kekuasan yang dipilih dan disetujui oleh rakyat, berwenang membuat UU dan merupakan kekuasaan tertinggi dalam suatu negara.18

Mengikuti jejak John Locke, dengan sedikit pengembangan Montesquieu dalam bukunya The Spirit of Law memisahkan tiga jenis kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasan yudikatif. Kekuasan legislatif adalah kekuasaan membuat, mengganti atau menghapus UU. Kekuasaan eksekutif mempunyai kewenangan menyatakan perang atau damai, mengirim atau menerima duta, menjamin dan menjaga keamanan umum serta menghalau musuh masuk. Sedangkan kekuasaan yudikatif memiliki kekuasaan menghukum para penjahat atau memutuskan perselisihan yang timbul antara orang perseorang.19

Montesquieu mengatakan bahwa tiga cabang kekuasan tersebut harus dipisahkan untuk menjaga dan menjamin kebebasan dalam suatu negara, jika kekuasaan legislatif dan eksekutif bergabung, maka akan lahir produk hukum yang tiran dan pelaksanaannyapun tiran pula. Jika kekuasan yudikatif begrgabung dengan eksekutif, hakim akan menjadi keras layaknya seorang penindas. Begitupun kalau legislatif digabungkan dengan kekuasaan legislatif, maka kehidupan dan kebebasan warga negara akan rentan terhadap kesewenang-wenangan.20

Pada awalnya Indonesia menganut prinsip pembagian kekuasaan, karena kekuasaan yang sesuangguhnya ada di tangan rakyat selanjutnya diberikan kepada MPR sepenuhnya, kemudian dari MPR baru dibagi kepada DPR, Presiden dan Mahkamah Agung. MPR di sini merupakan lembaga tertinggi negara sedangkan yang lainnya adalah lembaga tinggi negara yang kedudukannya di bawah MPR.21 Selanjutnya setelah Reformasi 1998, atau lebih tepatnya pasca amandemen UUD 1945, konsep Trias Politica menggunakan prinsip pemisahan kekuasaan, yakni kekuasaan yang ada di tangan rakyat dipisah-pisah ke dalam fungsi-fungsi lembaga negara.22 Jadi, terjadi perubahan prinsip dari pembagian ke pemisahan kekuasaan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia karena perubahan pada UUD 1945.

Menurut UUD 1945 setelah diamandemen, kekuasaan legislatif dilaksanakan oleh DPR dan DPD. Kekuasaan eksekutif dilaksakan oleh Presiden, sedangkan kekuasaan yudikatif dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang juga “dibantu” oleh sebuah Komisi Yudisial. Berbeda dengan keadaan sebelum amandemen UUD 1945, MPR adalah pelaksana sepenuhnya kekuasaan rakyat, selanjutnya baru diserahkan kekuasaan eksekutif kepada presiden sebagai mandataris MPR. DPR yang seyogyanya sebagai pembuat UU tidak lebih sebagai pengawas saja, jauh dari fungsinya yang sebenarnya sebagai lembaga legislatif.

Pelaksanaan pemisahan kekuasaan di Indonesia bukanlah melaksanakannya dengan murni seperti yang ajaran Montesquieu, melainkan dengan konsep check and balances antar cabang kekuasaan. Misalkan dalam pembuatan UU, presiden bisa mengajukan rancangan RUU kepada DPR atau RUU tersebut lahir berdasarkan inisitif DPR sendiri, dalam persetujuan dan pengesahannya harus disahkan secara bersama DPR dan Presiden, jika RUU yag telah disetujui bersama namun Presiden tidak mengesahkannya dalam jangka waktu 30 hari maka UU tersebut sah dan wajib diundangkan.23 Di samping itu, presiden tidak dapat membubarkan parlemen dan sebaliknya DPR juga tidak bisa menjatuhkan presiden dengan alasan politik, pemakzulan presiden harus melalui mekanisme hukum terlebih dahulu di MK dan selanjutnya baru ada mekanisme politik.

Terdapat kontrol juga terhadap pembuatan maupun pelaksaaan sebuah UU, yakni apabila UU tersebut bertentangan dengan konstitusi maka UU tersebut bisa diuji ke MK tentang konstitusionalismenya, yang selanjutnya MK berwenang memutuskan apakah UU tersebut konstitusional atau inkonstitusional.24 Terkait dengan itu, MA juga mempunyai kewenangan dalam menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU ditambah lagi kontrol yudikatif terhadap eksekutif berupa adanya Peradilan Tata Usaha Negara yang bisa dijadikan tempat bagi rakyat dalam mencari keadilan yang berkaitan dengan Keputusan Pejabat tata Usaha Negara.

Setelah amandemen UUD 1945 barulah memang benar-benar terasa dan jelas pemisahan kekuasan di Indonesia, hal ini ditambah lagi pendirian Mahkamah Konstitusi yang menjamin pelaksanaan konstitusi, baik oleh presiden maupun dalam pembuatan UU oleh DPR sehingga antar ketiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif sama-sama sederajat dan saling kontrol. Dengan adanya check and balances ini maka kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi bahkan dikontrol dengan sebaik-baiknya sehingga penyalahgunaan kekuasaan dapat dicegah dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknya.

Berkaitan dengan pemisahan kekuasaan, khusus untuk pemegang kekuasaan eksekutif di dunia mengenal dua sitem pemerintahan, yaitu sistem pemerintahan presidensiil dan sistem pemerintahan parlementer. Suatu pemerintahan dapat dikatakan menggunakan Sistem parlementer apabila adanya penyatuan kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif, yakni kabinet yang dibentuk untuk menjalankan pemerintahan sekaligus menjadi anggota parlemen.25 Sistem pemerintahan parlementer pertama kali lahir di Inggris, kelahirannya dikaitkan dengan kekuasaan Partai Whigs era pemerintahan William Walpole (1721-1722).26

Berbeda dengan sistem parlementer yang lahir di Inggris, sistem presidensiil lahir di Amerika Serikat.27 sistem pemrintahan presidensiil merupakan sistem pemerintahan yang memfokuskan kekuasaan pemerintahannya hanya pada eksekutif,28 legislatif di sini hanya sebagai regulator dan pengontrol kinerja peksekutif dalam menjalan pemerintahan. Karakteristik utama sistem presidensiil adalah kekuasaan presiden langsung berasal dari rakyat, makanya dalam negara yang menganut sistem presidensiil presiden dipilih oleh rakyat secara langsung dan memiliki jabatan yang tetap.

Parlemen dalam presidensiil tidak dapat dibubarkan oleh presiden, karena berada pada posisi yang sejajar.29 Presiden dalam sistem presidensiil bertanggung jawab kepada rakyat, karena presiden dipilih langsung oleh rakyat, oleh karena itu dalam sistem presidensiil seorang presiden tidak mudah dijatuhkan oleh parlemen.30 Selain itu, karakter lain dari presidensiil adalah presiden berperan ganda, yaitu sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara sekaligus.31

Indonesia menurut UUD 1945 menganut sistem pemerintahan presidensiil, hal ini ditandai dengan pemilihan presiden secara langsung (pasal 6A ayat (1), syarat pemakzulan presiden yang begitu berat (pasal 7B), presiden tidak dapat membubarkan parlemen (pasal 7C) dan pengangkatan menteri merupakan hak preogratif Presiden (pasal 17 ayat (2).

  1. Partai Politik

Sebagai negara yang menamakan dirinya sebuah negara demokrasi, maka tidak dapat tidak negara tersebut harus mendasarkan pemerintahannya pada kedaulatan rakyat, karena itu pemerintahannya harus mendapat persetujuan dan legitimasi dari rakyat. Salah satu cara untuk mendapatkan pengakuan atau legitimasi dari rakyat adalah dengan jalan meminta pendapat rakyat mengenai siapa yang akan mewakilinya dalam menjalankan pemerintahan, jalan tersebut biasanya melalui mekanisme pemilihan umum.

Setiap pemilihan umum, baik memilih anggota legislatif maupun pemeilihan presiden, pada umumnya menggunakan sebuah kendaraan politik. Kendaraan politik inilah yang berjuang, bekerja dan secara simultan bergerak untuk mencari dan mendapatkan dukungan masyarakat, karena parta politik merupakan sarana bagi warga negara untuk ikut serta atau berpartisipasi dalam pengelolaan negara.

Miriam Budiardjo, partai politik adalah kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama.32 Tujuannya adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dengan cara konstitusional untuk melaksanakan programnya. Sedangkan menurut Mohammad Kusnardi dan Bintan R. Saragih mendefenisikan Partai Politik secara umum adalah sekelompok anggota masyarakat yang terorganisir secara teratur berdasarkan ideologi/program di mana ada keinginan para pemimpinnya untuk merebut kekuasaan negara terutama kekuasaan eksekutif melalui cara konstitusional dan ada seleksi kepemimpinan secara teratur dan berkala.33

Menurut jumlah dan fungsi anggotanya, partai politik dibedakan partai politik massa dan partai politik kader.34 Partai politik selalu mendasarkan kekuatannya pada jumlah anggotanya, biasanya ikatan sesama anggotanya longgar. Sedangkan partai kader lebih mementingkan loyalitas kadernya, ikatan keanggotaan partai ini sangat erat. Kalasifikasi partai politik berdasarkan sifat orientasinya dibedakan menjadi : pertama, partai lindungan (patronage party) yang lebih mementingkan dukungan dan kesetiaan anggotanya dalam Pemilu, lebih bersifat pragmatis dan ikatannya lemah. Kedua, partai azas/ideologi yang program-programnya berdasarkan pada azas atau ideologi tertentu, ikatan kepartaiannya sangat kuat.35

  1. PENGARUH PARPOL DALAM PRESIDENSIALISME INDONESIA

Peran partai politik di Indonesia setelah reformasi 1998 boleh dikatakan sangat sentral dan begitu pentingnya karena hampir semua rekruitmen pada lembaga-lembaga negara, baik langsung maupun tidak langsung, melibatkan partai politik. Menurut UUD 1945 setelah perubahan lembaga negara yang direkrut secara langsung melalui partai politik adalah keanggotaan DPR, DPRD dan lembaga keprissidenan serta kepala daerah. Sedangkan pencalonan ataupun penentuan keanggotaan lembaga negara seperti MA, MK, BPK, KPK, KY serta beberapa lembaga lainnya dipilih atau dijukan oleh presiden, yang juga dari partai politik lalu selanjutnya disetujui oleh DPR, di sini partai politik menjalankan fungsinya melalui wakil-wakilnya yang ada di fraksi-fraksi DPR. Sekian banyaknya lembaga negara yang diatur maupun diamanahkan konstitusi, hanya keanggotaan DPD saja yang secara yuridis-formil bukan dari partai politik.

Begitu besar dan berpengaruhnya partai politik di Indonesia kadang menimbulkan suatu gagasan agar yang paling utama diperbaiki itu adalah partai politik, jika kita memang ingin benar-benar mengubah Indonesia menjadi lebih baik.

Melihat klasifikasi partai berdasarkan sifatnya, partai politik yang hanya berorientasi kekuasaan tanpa ada pijakan ideologi yang kuat akan menggunakan segala cara untuk mendapatkan, menjalankan serta mempertahankan kekuasaan demi kepentingan pribadi maupun kelompoknya. Jika ini benar-benar (dan sekarang sudah benar-benar hampir) terjadi, alamat teori pemisahan kekuasaan hanya akan menjadi sebatas teori saja, sebab orang-orang yang ada dalam partai politik akan berbuat sesuai yang mereka inginkan dan kepentingan mereka terhadap negara ini, tanpa melihat kepentingan negara dan rakyat.

Sebagai contoh, dalam setiap pembahasan UU apa saja yang melibatkan kekuasaan eksekutif dan legislatif akan sarat dengan kepentingan kelompok atau pribadi. RUU diusulkan oleh Presiden, kita tahu Presiden sekarang merupakan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat (PD), sedangkan anggota DPR sekarang didominasi oleh kartel dari PD dan partai-partai koalisi sehingga apappun yang diusulkan oleh Presiden akan sedikit menemui kendala dalam pembahasannya karena PD dan konco-konco telah memiliki 50%+1 lebih dalam DPR. Berarti tidak ada lagi check and balances yang sebenar-benarnya dalam pemerintahan Indonesia, karena kekuasaan eksekutif dan legislatif telah dipegang oleh satu kelompok tertentu. Masih beruntung dalam hal UU yang telah jadi bisa dijudicil review ke MK tentang konstitusionalisme UU tersebut.

Mahkamah Konstitusi sebagai suatu lembaga yang sampai saat ini masih dianggap bersih masih juga harus berurusan dengan partai politik, sebab prosedur masing-masing tiga orang diajukan oleh DPR, Presiden dan MA membuka peluang partai untuk mempengaruhi. DPR dan Presiden dalam pengajuan orang yang duduk di MK tentunya mempunyai kepentingan, entah itu sudah terjadi atau belum tetap saja komposisi ini akan mempersulit posisi para Hakim Konstitusi, belum lagi dengan rencana memasukkan unsur DPR ke dewan pengawas MK dalam draft UU MK yang baru.

Pada perekrutan Hakim Agung tidak juga akan bisa lepas dari pengaruh dari partai politik karena Hakim Agung diusulkan oleh Komisi Yudisial harus mendapat persetujuan dari DPR, sehingga pada masa fit and proper test sangat dimungkinkan partai politik melalui fraksinya menanamkan pengaruhnya kepada para calon Hakim Agung, syukur-syukur para calon Hakim Agung tersebut mempunya integritas yang tinggi, lha kalau para calon tersebut bermoral rendah maka orang-orang seperti Nazarudin akan bermain dengan lincahnya dan MA maupun MK akan sebagai lembaga yudikatif yang seharusnya independent bisa bergabung juga dengan kekuasaan eksekutif maupun kekuasaan legislatif, sehingga semuanya berada di bawah genggaman satu kelompok saja.

Kalau semua hal tersebut benar-benar terjadi, maka jangan diharapkan keadilan akan ditegakkan, karena para Hakim Agung tersebut akan lebih mendahulukan kepentingan orang-orang yang ada di partai ketimbang menegakan keadilan dalam masyarakat, bisa disebabkan karena para hakim tersebut merasa punya budi ataupun intervensi politik dari para anggota partai.

Lebih parah lagi mengenai hal ini, bisa jadi partai atau orang-orang partai secara tidak langsung menjual negara dan aset yang terkandung ke pihak swasta baik dalam negeri maupun asing tanpa memikirkan kesejahteraan rakyat. Ketakutan ini bukan tanpa alasan, menurut Amien Rais, cara paling mudah bagi korporasi untuk menaklukkan kekuatan politik suatu negara adalah dengan memberikan biaya kampanye kepada calon presiden, ataupun partai politik tertentu, sehingga jika calon atau partai yang dibiayai tersebut akan balas budi jika telah memegang kekuasaan.36 Pada akhirnya setiap UU ataupun kebijakan yang digullirkan oleh pemerintah serta merta memihak pada kekuatan koorporasi, rakyat diabaikan, sumber daya alam diolah dan diberdayakan bukan demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tapi demi kepentingan kaum kapital.

Karena tujuannya yang pragmatis maka partai politik juga bisa menggunakan cara yang pragmatis pula, tidak peduli dengan mekanisme ketatanegaraan ataupun kemaslahatan rakyat, bangsa dan negara, yang diutamakan adalah menguasai negara, menjalankannya dan selanjutnya mempertahankannya demi kepentingan kelompoknya sendiri. Sudah menjadi adagium umum dalam ilmu politik bahwa politik adalah seni untuk mendapatkan kekuasaan, tidak peduli dengan cara dan jalan apapun, yang paling penting kekuasaan harus di dalam genggaman. Hal ini akan membuat Indonesia sebagai negara hukum akan jauh dari yang diharapkan, di mana konsep negara hukum menjamin kebebasan warga negara, memisahkan cabang-cabang kekuasaan dan ini akan sulit dilaksanakan karena semua cabang kekuasaan, baik langsung ataupun tidak langsung, sudah berasa dalam genggaman satu kelompok saja.

Ada satu hal yang mengacaukan sistem pemerintahan Indonesia yang menggunakan sistem presidensiil, yaitu fenomena koalisi dalam kekuasaan eksekutif maupun legislatif, padahal fenomena seperti ini hanya dikenal pada sistem parlementer agar kekuasaan kabinet tidak mudah jatuh oleh parlemen. Dengan keadaan ini presiden dalam hal pengangkatan menteri tidak lagi bebas layaknya presiden dalam sistem presidensiil, tapi tersandera oleh kekuatan partai politik anggota koalisi, dan dengan dalih keluar dari koalisi sebuah partai politik bisa saja mempunya daya tawar yang tinggi terhadap presiden dalam menempatkan anggotanya dalam kabinet. Bisa jadi keadaan ini juga disebabkan oleh sistem multipartai yang ada dalam pemilihan umum Indonesia. Sebab, dengan banyaknya partai politik, maka akan sulit mencari atau mendapatkan serta menemukan kekuatan dominan dalam parlemen, sehingga partai politik pengusung presdien akan mncari mitra koalisi dalam parlemen agar kekuatan presiden lebih kuat dari partai politik yang kalah dalam pemilihan presiden.

Kekeliruan lain dari sistem pemerintahan kita adalah diberikannya beberapa hak bagi anggota parlemen, seperti hak angket, hak interpeasi dan hak menyatakan pendapat, yang mana hak-hak ini secara teoritis kebanyakan digunakan dalam sistem parlementer. Dengan hak-hak ini anggota parlemen dapat kapan saja mengintervensi kabinet, memanggil menteri dan bahkan mengeluarkan mosi tidak percaya kepada presiden, yang berujuang pada pemakzulan. Beruntung konstitusi Indonesia mempunyai syarat yang berat dalam hal pemakzulan presiden, yakni selain melalui mekanisme politik, tapi juga melalui mekanisme hukum di Mahkamah Konstitusi.

  1. PENUTUP

Penerapan prinsip pemisahan kekuasaan di Indonesia dimulai sejak diamandemennya UUD 1945 pasaca jatuhnya reformasi, sebelum itu Indonesia memakai prinsip pembagian kekuasaan. Sebelum amandemen UUD 1945 kekuasaan rakyat dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, selanjutnya kekuasaan itu baru dipencarkan kepada Presiden/Mandataris MPR sebagai pemegang kekuasaan eksekutif. Kekuasaan legislatif diserahkan kepada DPR, sedangkan kekuasaan Yudikatif berada di tangan Mahkamah Agung. Di samping itu juga ada kekuasaan konsultatif yang diemban oleh Dewan Pertimbangan Agung dan ada BPK.

Setelah perubahan keempat UUD 1945 Indonesia menggunakan prinsip pemisahan kekuasaan, dimana kekuasaan yang ada di tangan rakyat dilaksanakan menurut UUD yang dipisahkan secara langsung ke dalam fungsi-fungsi kekuasaan masing-masing lembaga. Kekuasaan legislatif diserahkan kepada DPR dan DPD, Presiden bertindak sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, sedangkan kekuasaan yudikati dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi serta dibantu oleh Komisi Yudisial.

Pelaksanaan pemisahan kekuasaan dengan mekanisme check and balances di Indonesia secara formil sudah sangat bagus dan konstitusional, namun jika kita lihat dari begitu besarnya peran partai politik maka akan terlihat sebagai pemisahan pura-pura saja. Hal ini karena setiap perekrutan semua cabang kekuasaan, baik secara langsung maupun tidak langsung, akan melibatkan partai politik.

Pelibatan partai politik melalui fraksi-fraksinya di DPR dalam setiap urusan politik dan hukum di Indonesia akan berpotensi menumpuknya atau bergabungnya cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif ke dalam satu tangan saja, baik genggaman individu maupun kelompok tertentu.

Menyikapi hal ini perlu perubahan yang fundamental dalam sistem kepartaian kita, terutama menyangkut kader-kader partai yang sudah duduk di pemerintahan, baik di eksekutif maupun legislatif. Seharusnya elit-elit partai yang telah duduk di pemerintahan tidak lagi mengutamakan kepentingkan partai, tapi kepentingan negara, bangsa dan rakyat yang harus diutamakan. Seorang pemimpin bangsa hendaknya tidak lagi menjadi pemimpin partai, harus lepas baju kepartaian, karena dia dituntut untuk menjadi seorang negarawan. Di samping itu, penggunaan fraksi dalam parlemen sebenarnya memperkuat posisi partai itu sendiri di dalam pemerintahan, sehingga ego kepartaian lebih diutamakan oleh para legislator dibandingkan dengan kepentingan dan kemaslahatan umum, padahal partai hanya sebuah sarana menuju kursi itu, rakyatlah yang menggaji mereka.

Berkaitan dengan sistem pemerintahan, secara yuridis Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensiil, hal ini ditandai dengan pemilihan presiden secara langsung, syarat pemakzulan presiden yang begitu berat, presiden tidak dapat membubarkan parlemen dan pengangkatan menteri merupakan hak preogratif Presiden. Namun pada perjalanannya presidensiil ini mengalami perselingkuhan dengan sistem parlementer, yakni fenomena koalisi partai-partai yang mendukung presiden, multi partai perserta pemilu dan supremasi parlemen dengan segal haknya dalam UUD 1945.

Perselingkuhan paling jelas dalam sistem presidensiil Indonesia nampak pada multipartai peserta pemilu, multipartai akan melemahkan presidensiil itu sendiri. Hal ini lebih dikarenakana tidak adanya kekuatan mutlak dalam parlemen akan mengancam posisi presiden, sebab dengan dalih fungsi pengawasan, anggota parlemen yang dari partai politik bukan pendukung presiden akan berusaha menggagalkan segala sesuatu yang akan dilakukan oleh eksekutif atau presiden, sehingga keistimewaan presiden akan berkurang. Bukahkah ciri ekslusif sistem presidensiil adalah superipritas eksekutifnya.

  1. DAFTAR PUSTAKA

Anshori, Abdul Ghofur dan Sobirin Malian (edt.), Membangun Hukum Indonesia : Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum, Yogyakarta : Kreasi Total Media, 2008;

Asshiddiqie, Jimly, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, Yogyakarta : FH UII Press, cet. II, 2005;

…………….., Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta : Bhuana Ilmu Populer, 2007;

…………….., Konsilidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Jakarta : PSHTN UI, 2002;

Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, edisi revisi, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, cet. IV, 2010;

Cipto, Bambang , Politik dan Pemerintahan Amerika, Yogyakarta : Lingkar Buku, cet. II, 2007;

Fatmawati, Struktur dan Fungsi Legislasi Parlemen dengan Sistem Multikameral : Studi Perbandingan antara Indonesia dan Berbagai Negara, Jakarta : UI Press, 2010;

Hatta, Mohammad, Menuju Negara Hukum, Jakarta : Idayu Press, 1977;

Huda, Ni’matul, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2005;

Isra, Saldi, Pergeseran Fungsi Legislasi : Menguatnya Fungsi Legislasai Parlementer dalam Sistem Presidensiil Indonesia, cet. II, Jakarta : RajaGrafindo Paersada, 2010;

Kusnardi, M. dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2000;

Lijpart, Arend, Pattern of Majoritarian and Consesus Government in Twenty-One Democraties, New Heaven and London : Yale University Press, 1984;

Mahfud MD, Mohammad, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2010;

………………., Politik Hukum di Indonesia, Jakarta : RajaGrafindo Persada, cet. IV, 2011;

Manan, Bagir, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta : FH UII Press, cet. II, 2004;

Montesquieu, The Spirit of Law, alih bahasa oleh M. Khoirul Anam, Bandung : Nusa Media, 2007;

Nasution, Adnan Buyung, Demokrasi Konstitusional, Jakarta : Kompas Media Nusantara, 2011;

Pamungkas, Sigit, Perihal Pemilu, Yogyakarta : Lab. JIP dan JIP UGM, 2009;

Purnama, Eddy, Negara Kedaulatan Rakyat : Analisis terhadap Sistem Pemerintahan Indonesia dan Perbandingannya dengan Negara-negara Lain, Bandung dan Malang : Nusa Media dan Imagine Press, 2007;

Rais, Mohammad Amien, Agenda Mendesak Bangsa : Selamatkan Indonesia!, Yogyakarta : PPSK Press, 2008;

Ramses, Andi dan La Bakry (edt.), Politik dan Pemerintahan Indonesia, Jakarta : MIPI, 2009;

Strong, C. F., Konstitusi-konstitusi Politik Modern : Studi Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk, terj. Derta Sri Widowatie, Bandung : Nusa Media, cet. II, 2010;

Suleman, Zulkifli, Demokrasi untuk Indonesia : Pemikiran Politik Bung Hatta, Jakarta : Kompas Media Nusantara, 2010;

Yuda AR, Hanta, Presidensialisme Setengah Hati : dari Dilema ke Kompromi, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2010;

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

 

1 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, edisi revisi, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, cet. IV, 2010, hlm. 322.

2 Pasal 20A ayat (1) UUD tahun 1945.

3Miriam Budiardjo, Dasar-dasar…., Hlm. 397-398.

4 Bambang Cipto, Politik dan Pemerintahan Amerika, Yogyakarta : Lingkar Buku, cet. II, 2007, hlm. 62.

5 Pasal 22E ayat (3) UUD tahun 1945.

6 Pasal 6A ayat (2) UUD tahun 1945.

7 Sigit Pamungkas, Perihal Pemilu, Yogyakarta : Lab. JIP dan JIP UGM, 2009, hlm. 6.

8 Selain fungsinya sebagai komunikasi politik, sosialisasi politik dan pengatur konflik. Lihat : Miriam Budiardjo, Dasar-dasar…., hlm. 405-416.

9 Pasal 24A ayat (3) UUD tahun 1945.

10 Pasal 24C ayat (3) UUD tahun 1945.

11 Jimly Asshiddiqie, Konsilidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Jakarta : PSHTN UI, 2002, hlm. 44.

12 Kenyataan ini sebenarnya lebih kepada asumsi dan kekhawatiran penulis, sebab potensi kearah tersebut mungkin dan sangat mungkin terjadi, walaupun bukti yang konfrehensif belum ditemukan karena ini lebih merupakan fenomena demokrasi. Namun sebagai negara yang menyebutnya negara hukum, Indonesia harus konsisten dengan konsep negara hukum, jangan hanya sebatas formalitas saja, tapi memang secara substantif Indonesia harus melaksanakannya.

13 Lihat : C. F. Strong, Konstitusi-konstitusi Politik Modern : Studi Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk, terj. Derta Sri Widowatie, Bandung : Nusa Media, cet. II, 2010, hlm. 21-52.

14 Mohammmad Hatta sedikit menggambarkan tentang demokrasi konstitusional ini sebagai suatu demokrasi yang segala sesuatu yang menyangkut urusan kenegaraan serta kebijakan-kebijakan yang memberi beban kepada setiap warga negara (pengaturan hak dan kewajiban) harus diatur dengan hukum, termasuk hak-hak warga negara harus diatur dengan jelas dalam Konstitusi. Lihat : Mohammad Hatta, Menuju Negara Hukum, Jakarta : Idayu Press, 1977. Hlm. 12-14.

15 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar…., hlm. 107.

16Ibid., Miriam Budiardjo juga menamakan perumusan yuridis prinsip-prinsip ini dengan istilah negara hukum. Meski begitu, Mahfud MD dalam mengomentari penghilangan kata rechstaat dalam UUD 1945 berpendapat, bahwa apa yag tertulis dalam Konstitusi dapat dikesampingkan atau ditinggalkan asalkan dalam rangka menegakkan keadilan. Hal ini menegaskan bahwa konstitusi tidak selalu tertulis tapi juga ada yang tidak tertulis, meskipun tidak ada negara di dunia yang menggunakan konstitusi tertulis semuanya begitupun sebaliknya. Lihat juga : Mohammad Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2010, hlm. 52.

17 Fatmawati, Struktur dan Fungsi Legislasi Parlemen dengan Sistem Multikameral : Studi Perbandingan antara Indonesia dan Berbagai Negara, Jakarta : UI Press, 2010, hlm. 12.

18Ibid., hlm. 13. Lihat juga : Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, Yogyakarta : FH UII Press, cet. II, 2005. Hlm. 35-36.

19 Montesquieu, The Spirit of Law, alih bahasa oleh M. Khoirul Anam, Bandung : Nusa Media, 2007, hlm. 191-203.

20Ibid., hlm 192.

21 Mohammad Hatta, Menuju Negara…., hlm. 11.

22 Jimly Asshiddiqie membedakan prinsip pembagian kekuasaan dengan pemisahan kekuasaan. Pembagian kekuasaan mengenal lembaga super body yang melaksanakan kekuasaan rakyat, selanjutnya dari lembaga tersebut kekuasaan didistribusikan kepada lembaga yang ada di bawahnya. Sedangkan pemisahan kekuasaan bersifat horizontal dan kedaulatan rakyat dipisahkan ke dalam lembaga-lembaga negara yang dibentuk berdasarkan konstitusi. Lihat : Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan….., hlm. 35.

23 Walaupun sebenarnya dalam pembuatan UU tidak hanya sebatas check and balances antar cabang kekuasaan saja, namun juga diperlukan double check intra-parelemen, yakni saling kontrol dua kamar dalam parlemen tersebut. Lihat : Pidato pengukuhan guru besar Prof. Dr. Dahlan Thaib, SH., “Menuju Parlemen Bikameral (Studi Konstitusional Perbahan ketiga UUD 1945)”, disampaikan pada Rapat Senat Terbuka Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. dalam Abdul Ghofur Anshori dan Sobirin Malian (edt.), Membangun Hukum Indonesia : Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum, Yogyakarta : Kreasi Total Media, 2008, hlm. 196-197. Lebih lanjut mengenai check and balances secara ringkas juga dapat dilihat pada : Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2005, hlm. 97-107.

24 Pasal 24C UUD tahun 1945 juga memberikan kewenangan kepada MK untuk memutus dugaan pelanggaran oleh Presiden yang disangkakan oleh DPR. Lihat : Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta : Bhuana Ilmu Populer, 2007, hlm. 581-613.

25 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar…, hlm. 297.

26 Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi : Menguatnya Fungsi Legislasai Parlementer dalam Sistem Presidensiil Indonesia, cet. II (Jakarta : RajaGrafindo Paersada, 2010), hlm. 26.

27Ibid., hlm. 31.

28 Hanta Yudha, Presidensialisme Setengah Hati : Dari Dileme ke Kompromi, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm. 10.

29Ibid., hlm. 12.

30 Arend Lijpart, Pattern of Majoritarian and Consesus Government in Twenty-One Democraties, (New Heaven and London : Yale University Press, 1984), hlm. 72.

31 Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi.., hlm. 40.

32 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar…, hlm. 404.

33 Kusnardi, M. dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2000. Hlm. 267.

34Ibid., hlm. 268.

35 Pada awal perkembangannya ada yang dinamakan caucus party, yakni kelompok-kelompok politik dalam parlemen yang demi kepentingan politiknya ke luar dari parlemen ke masyarakat untuk mendapatkan dukungan politik untuk kelompok mereka. Lihat : Miriam Budiardjo, Dasar-dasar…, hlm. 398.

36 Amien Rais menyebut korporasi besar, pemerintah, perbankan dan lembaga keuangan internasional, militer, media massa, intelektual pengabdi dan elite inlander sebagai unsur pendukung korpotokrasi, yakni pemerintahan yang dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan besar, biasanya multinasional, demi kepentingan mereka sendiri. Lihat Mohammad Amien Rais, Agenda Mendesak Bangsa : Selamatkan Indonesia!, Yogyakarta : PPSK Press, 2008, hlm. 81-174.

 

Post a comment or leave a trackback: Trackback URL.

Tinggalkan komentar